Tidak banyak waktu, tapi sayang kalau sensasi yang kuat dibiarkan begitu saja menghilang tanpa tertulis. Maka saya sajikan kepada Anda sekalian, resensi The Raid: Redemption.
Pembuka: film ini dibuka dengan satu kalimat/seruan/ucapan “Allahu Akbar” ketika Rama (Iko Uwais) sholat subuh. Saya nggak tahu kenapa menyoroti pembukaan film ini dengan “allahu akbar.” Entah kebetulan saja atau apa. Yang pasti, film penuh gebukan ini dibuka oleh seorang tokoh utama yang—kalau sholat memang boleh dianggap memberikan kesan ‘ketulusan’, ‘kepatuhan’—melakukan tugasnya dengan niat baik.
Sorotan: Satu hal yang menarik dari film ini adalah penggunaan kamera dan efek bunyi yang banyak mengikuti sudut pandang tokoh yang disorot. Sudut pandang di sini adalah sudut pandang “mental” bukan sudut pandang “visual” yang biasana disebut POV (point of view). Kongkretnya begini: saat salah seorang prajurit tertembak, kita langsung mendengar suasana menjadi samar-samar dengan bunyi dengingan, belakangan ketahuan bahwa si tokoh tertembak di dekat kuping, yang menyebabkannya tidak dapat mendengar sekelilingnya dengan baik dan terus dihantui dengingan. Satu lagi, ketika Rama sempoyongan dan seperti pusing, kamera bergoyang-goyang dan musik memberikan sensasi meliuk-liuk dan seperti mengandung ketidaksadaransepenuhnya. Dan yang pasti, untuk bagian-bagian pertarungan, seingat saya tidak ada satu pun bagian gerak lambat, dan dampaknya adalah saya merasakan sensasi pertarungan yang sesungguh, cepat, bak-buk-bak-buk, beberapa pukulan tidak terlihat dengan detil, dan saya hanya tahu dampaknya saja.
Konsistensi: Ada sejumlah hal yang muncul berulang-ulang dalam film ini, yaitu adegan menutup pintu. Film yang berlatarkan gedung apartemen dengan berbagai pintu dan lorong ini memang membutuhkan buka pintu berulang-ulang. Dan setiap kali ada pintu dibuka, selalu saja diakhiri dengan adegan menutup pintu yang mantap dan semi teatrikal (atau istilah inggrisnya histrionik—saya kasih istilah Inggrisnya biar saya kayak reviewer film). Bahkan film inipun diakhiri dengan adegan menutup pintu. Entah, apa signifikansinya adegan menutup pintu ini. Mungkin kalau ada kesempatan lagi saya akan lebih perhatikan urusan menutup pintu ini.
Dialog: Saya merasakan ada beberapa kenanggungan dalam dialog di film ini. Di satu sisi, para karakternya banyak yang menggunakan umpatan secara liberal, dermawan dan non-diskriminatif :D. Anjing! Babi! Bangsat! dll Semuanya merata. Sebagian besar dialog juga diucapkan dalam bahasa yang sangat kasual. Sayangnya, tetap saja ada di banyak bagian ketika tokoh-tokoh di film ini bicara dengan bahasa yang, piye ya… agak terlalu baku untuk digunakan di latar keras ini. Semoga suatu saat ada kesempatan nonton dari DVD-nya di rumah sendiri dan menggaris bawahi bagian-bagian yang bahasanya perlu dikasualkan itu. Ini kritik buat penulis skripnya. Dalam terjemahannya, kita juga menemukan penggunaan “fuck” dan “motherfucker” yang sangat dermawan. Tentu saja penggunaan kedua umpatan ini secara kontinyu mengingat kita kepada film-film Hollywood yang berani agak menyimpang, contoh terbaiknya mungkin Pulp Fiction atau film-film Quentin Tarantino lainnya, terutama yang menggunakan jasa keaktoran Samuel L. Jackson. Tapi ya, sayangnya dalam bahasa Indonesia masih banyak bagian yang terjerumus ke dalam bahasa Indonesia yang kaku dan benar tapi tidak baik untuk konteksnya (saya tidak menyuruh orang pakai bahasa Indonesia yang tidak benar, tapi untuk konteks film The Raid ini, mau tak mau yang dibutuhkan adalah bahasa Indonesia yang kasar dan baik [baik untuk konteksnya]).
Terjemahan: Karena saya sendiri nontonnya di Arkansas, jadi saya pun berkesempatan baca terjemahannya juga. Perlu saya jelaskan sejak awal: saya tidak akan mengkritik terjemahan karena kurang akurat atau salah. No, no, no. Saya percaya seratus persen para penginggrisnya sangat mahir bahasa inggris, bahkan kemungkinan besar lebih bagus dari bahasa Inggris saya, atau bahkan penutur asli bahasa Inggris. Yang saya soroti adalah, adanya penerjemahan di sana-sini yang tidak berhasil memberikan padanan “nuansa tengil/lucu/humor” dari dialog asli di bahasa Indonesianya. Tentu saya tidak perlu baca subtitle waktu nonton. Tapi, secara tidak sadar, saya otomatis melihat terjemahannya pada bagian-bagian yang tengil, kayak misalnya ketika Rama (Ray Sahetapy) memberi pengumuman kepada penghuni gedung tentang kehadiran para prajurit penyerbu. Mungkin saya mengintip subtitle karena saya penerjemah yang tentu juga ingin belajar dari situ. Sayangnya bagian-bagian ketika tokoh-tokoh, terutama Tama, berlagak histrionik dan tengil itu diterjemahkan dengan terlalu ringkas (yg sebenarnya sangat bagus kalau hanya sekadar ingin menyampaikan maksud), dan mengabaikan ‘ketengilannya.’ Akibatnya, seingat saya hanya ada beberapa kali saja bagian yang membuat penonton Amerika ketawa (btw, di studio Malco Razorback sore tadi, ada 9 penonton: 6 orang Amerika & 3 orang Indonesia).
Dialog: Saya merasa Iko Uwais perlu latihan akting lagi deh. Ucapan-ucapannya di banyak bagian (seperti misalnya saya ngomong dengan Andi [Doni Alamsyah]) terkesan sekadar menggugurkan kewajiban menyampaikan informasi saja. Ya, Iko Uwais perlu belajar ngomong dengan maksimal. Apa ini ya yang dimaksudkan Slamet Pramono saat dia bilang “aktor indonesia sekarang ngomongnya patah-patah.” Sebenarnya memang nggak cuma Iko Uwais yang ngomongnya kurang “terlibat” (seolah-olah dia ngomong tentang sesuatu yang tidak dia alami sendiri).
Musik: Sepertinya keputusan pembuat film untuk memesan score tanpa lirik memang cocok. Yang pasti, dengan score (yang pas dan memberikan pacuan jantung dan, dalam bahasanya Mad Dog [Yayan Ruhian], “greget”) tanpa lirik, saya hanya mendapatkan sensasi dada dan kuping, tanpa kepala (maksudnya tanpa harus terpicu memikirkan liriknya).
Kayaknya begitu saja deh. All in all, it’s a great treat to see this movie. It fits me just fine (terjemahan buat bagian “ini pas buat gue”).
Bye, tutup pintu dulu ah…