Misdi: Halo, Om. Nanti sore kalau ke masjid aku bareng ya?
Sastro: Wah, bos. Aku gak puasa hari ini. Sungkan mau ikut makan di masjid.
Misdi: Wah, sakit apa bos?
Sastro: Nggak sakit-sakit apa gitu sih… Tadi pagi gak sahur.
Misdi: Lha kan tempo hari sudah–berapa hari?–dua hari gak sahur juga puasa?
Sastro: Iya, tapi hari ini tadi bangun kesiangan, jam 5, alarm nggak bunyi, terus gitu, perut agak sebah dan tenggorokan agak sakit.
Misdi: Oh?
Sastro: Kayaknya gara-gara tadi malam sebelum tidur makan pisang plaintain rebus terus minum jus teruk. Terus kayaknya jg tenggorokan juga nggak enak gara-gara kurang istirahat mungkin…
Misdi: Wah, ya sakit itu namanya, Om.
Sastro: Enggak juga sih. Soalnya ini tadi habis dikasih makan sama minum vitamin juga sekarang jadi kayak segar bugar. Hehehe…
Misdi: Lah? Kayaknya gejala kelaparan itu tadi.
Sastro: Hehehe… Jadi begitu, akhirnya, tadi habis makan vitamin aku langsung sikat gigi dan gak makan sampai sekarang.
Misdi: Mulai jam 5 tadi? Mirip puasa dong…
Sastro: Nggak sih, jam 8 hehehe…
Misdi: Halah!
Sastro: Tapi bos, kalau dipikir-pikir, sebenarnya puasa (Jarinya langsung membentuk sepasang kuping kelinci di samping telinga kanan, seolah-olah Misdi yang dia hubungi di telepon bisa melihat apa yang dia lakukan… sebelum akhirnya dia sadar), aku kutip dari orang-orang ya, “menahan makan, minum dan tidak berhubungan seksual” itu sebenarnya mudah sekali lho.
Misdi: Maksudnya?
Sastro: The kamsud is, sebenarnya puasa yang kita pahami sehari-hari itu sebenarnya terlalu sederhana untuk zaman sekarang. Justru itu pemikiran yang sempit. Kalau dipikir-pikir, apa sih sulitnya menahan diri untuk tidak makan (toh banyak orang yang tidak makan sehari lebih masih hidup), tidak minum (banyak orang yang lebih haus dari kita tapi tahan dan tetap hidup), tidak berhubungan seks (banyak orang yang belum kawin atau tidak lagi punya nafsu) tapi juga tetap bisa bertahan.
Misdi: Bentar, bos. Kok agak mbulet begini maksud sampean? Kan puasa tidak hanya menahan makan, minum dan …
Sastro: Ahak-ahak? Hahaha…
Misdi: Iya, sembarang lah… Iya kan?
Sastro: Iya, bos, maksudku tadi kan begini, banyak orang yang menganggap puasa itu cuman seperti itu, tidak makan, tidak minum, tidak ahak-ahak.
Misdi: Iya, kalau itu aku setuju. Toh, dari kecil guru ngaji juga sudah bilang, puasa itu menahan hawa nafsu, termasuk menahan tidak memelototi cewek cantik–
Sastro: Baik mata telanjang maupun di internet!
Misdi: –tidak mencuri, tidak ngakali, tidak bohong, tidak berkelahi.
Sastro: Nah, itu betul. Nah, gagasan yang lagi aku bentuk ini merupakan implikasi lebih jauh lagi bos. Implikasinya di zaman kita.
Misdi: Silakan disampaikan langsung kepada pendengar sekalian…
Sastro: Terima kasih, saudara Misdi. Jadi, inti dari puasa adalah menahan hawa nafsu. Apa ciri hawa nafsu itu? Hawa nafsu adalah sesuatu yang cenderung sulit kita kendalikan dan malah bisa mengendalikan kita.
Misdinya: Kongkritnya!
Sastro: Kongkritnya, pertama-tama, versi rasulullah, menahan makan, minum dan berhubungan seksual* (*bilamana berlaku). Karena kedua (ketiga, bilamana berlaku) hal itu merupakan kebutuhan pokok bagi manusia (konon, yang ketiga ini pokok bagi manusia laki-laki, bilamana berlaku).
Misdi: Peringatan pertama, jangan terlalu sering menggunakan bilamana berlaku.
Sastro: Sorry, bos, aku cuman mempraktikkan jargon hukum ae. Hahaha… Jadi tak teruskan, hal-hal itu adalah yang paling pokok. Dan bila dikembangkan implikasinya, kita bisa sampai pada puasa yang menahan hawa nafsu yang lebih besar, misalnya rasan-rasan, atau “bergunjing” dalam bahasa Indonesia–
Misdi: Iya ngerti
Sastro: Mencuri, memelototi cewek cantik (atau Robert Pattison dan Justin Bieber bilamana berlaku)
Misdi: Ampuuun!
Sastro: Dan, idealnya, daftar hal-hal yang harus dihindari saat berpuasa ini berlanjut hingga ke semua bentuk tindakan berdosa atau, kalau boleh pakai istilah modern, tindakan kriminal!
Misdi: Betul! Tentu saja itu mencakup tindak korupsi, kolusi, akal bulus, menampik tuduhan, dll
Sastro: Oke, tapi aku pingin membawa diskusi kita ke jalur yang lain. Yaitu jalur pengendalian diri pribadi. Jangan politis dulu.
Misdi: Lha aslinya dari Rasulullah Sallallahualaihiwasallam kan jalur pribadi, bos?
Sastro: Iya, tapi yang mau aku sodorkan ini adalah pengendalian hawa nafsu di era dua titik nol, atau 2.0 ini. Yaitu hawa nafsu untuk berfacebook dan lain-lain.
Misdi: ???
Sastro: Misalnya, akhir-akhir ini aku facebookan kalau ada kesempatan, karena facebookan itu sangat mudah, murah dan santai. Atau memotret-motret dan berinstagram. Dua hal itu sangat menghabiskan, atau membuang-buang, waktu. Padahal membuang-buang waktu adalah termasuk hal yang tidak dianjurkan dalam Islam. Ingat kan surat al-Asr. Pokoknya menghabiskan waktu selain untuk berbuat dan berdiskusi kebaikan itu adalah merugikan. Padahal, aku sendiri tahu aku nggak berbakat-bakat amat untuk jadi fotografer. Aku juga sampai sekarang belum menemukan kegunaan langsung dari facebook yang sangat positif dan kongkrit untuk diriku sendiri …
Misdi: ???
Sastro: Makdarit, maka dari itu, aku putuskan untuk meningkatkan level puasaku dengan menahan hawa hafsu berfacebook dan berinsgram, dan lebih memfokuskan pada pekerjaan yang sudah semestinya aku lakukan dan memang bermanfaat, misalnya nerjemah. Dan karena ini puasa, maka nanti setelah buka baru aku mulai buka-buka facebook dan ngotak-atik foto buat instagram lagi. Tadi pagi aku sudah facebookan dan instagraman, aku anggap itu sahur, dan sekarang aku tidak akan bukak facebook.com dan buka app instagram di hp-ku lagi.
Misdi: ???
Sastro: Begitulah… Eh, kamu kok melongo saja? Terpesona ya?
Misdi: Iya, kamu gak facebookan dan instagram-an, tapi ini kan kamu jadi tumblr-an?
Sastro: ??? …. *** Eh, tapi kan…
Misdi: Tapi apa, pak ustadz?
Sastro: Tapi kan ini bukan … Ini bukan sesuatu yang bikin aku kecanduan? Lagian…
Misdi: Halah, kamu itu Sas, Sas, lagi nggak puasa saja omonganmu kemoncolen.
Sastro: Begini, Mis, anggap saja aku membalas ketidakberpuasaanku hari ini dengan ini. Tapi kamu setuju kan secara umum dengan gagasanku tadi?
Misdi: Iya, iya…
Sastro: Lho, yang ikhlas dong kalau ‘iya.’ Toh tujuan dari ekstensi puasa versiku iki juga untuk menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang tidak dikendalikan oleh hawa nafsu, manusia yang tidak diperhamba oleh hal-ihwal duniawi yang tidak penting dan merugikan, yang mengalienasi kemanusiaan kita, yang memiskinkan potensi diri yang kita punyai…
Misdi: Iya, bos… iya. Asal…?
Sastro: Asal apa?
Misdi: Asal jangan sampai ‘melik nggendong lali.’
Sastro: Betul, betul, jangan sampai mikir kemoncolen tapi lu–
Misdi: …lupa kesalahan diri sendiri.
Sastro: Asem! Apa salahku? Aku cuman khilaf terlanjur gak puasa. Lagian, puasa kan bukan untuk menyakiti diri. Kalau aku tadi gak ma– (suara Sastro memudar)
Misdi: Demikian saudara-saudara, liputan kami dari tempat kejadian orang tidak berpuasa hari ini… Oke lah bos, pokoknya nanti kalau kami berubah pikiran mau ke masjid aku bareng ya? Tak tutup dulu telponnya, aku harus ke kampus.
Sastro: Oke, tapi bos, kalau aku gak berangkat, sampean pake saja lah mobilnya.
Misdi: Lha nanti kalau ditanya orang-orang ‘Where is brother Sastro, why is his car here but he’s not?’ aku kan harus jawab jujur, lha wong ini ramadhan.
Sastro: Aseeeeeem!!!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *