Ungkapan bahasa Jawa di atas artinya “Jangan mudah heran, kaget atau sombong.” Semestinya, ungkapan itu berpotensi untuk membimbing manusia (Jawa) untuk tetap eling, waspada dan kritis. Menakjubkan sebenarnya bagaimana ungkapan yang seolah disampaikan oleh sekelas Immanuel Kant ini muncul dari manusia yang tinggalnya di tempat yang adem ayem. Apa mungkin ujaran ini disiapkan untuk orang Jawa yang kedatangan orang-orang yang penuh kecemerlangan baik fisik maupun inovasi (misalnya saat menghadapi utusan dari sebuah kerajaan di Cina yang memakai sutera atau prajurit Portugis yang membawa senapan)?
Tentu pertanyaan retorika saya di atas hanya pertanyaan ngawur.
Saya sendiri mencoba mengartikan ungkapan ojo gumunan ini sebagai pegangan saat menghadapi hal-hal yang mungkin terlalu mempesona dan ganjil untuk dinalar pada saat itu juga. Seringkali saya gagal. Seringkali saya mudah terpesona dan tertipu gemerlap duniawi di depan mata, sebagaimana lazimnya orang yang mengalami kompleks inferioritas. Tapi, seperti halnya selalu ada hikmah di balik musibah, tak ada pula gading yang tak retak. Dengan semangat itu, didukung oleh keinginan yang luhur untuk tidak mudah heran, kaget dan sombong, mari kita selalu rayakan kekritisan.