Saya tidak akan membuat resensi tentang New York karena saya sadar tidaklah bijaksana menggarami Samudera Hindia. Tapi, alangkah baiknya kalau saya sampaikan di bawah ini poin-poin yang patut dicatat oleh Wong nDeso in New York (nyanyikan dengan nada dan warna vokal Sting dalam “Englishman in New York”):
- Jalannya gampang ditebak dan enak, jalan yang membujur barat-timur disebut “street” dan namanya adalah nomor, mulai 1st Street sampai, misalnya, 120th Street, semakin ke utara semakin tinggi nomernya; jalan yang membujur utara-selatan disebut “avenue” dan namanya bisa nomer (seperti 5th Avenue, tempat belanjanya wong sugeh) ataupun nama Lexington Avenue (tempatnya Empire State Building). Saya tinggal di hotel di perempatan Lexington Avenue dan 51st Street.
- Transportasi super gampang (tapi mengerikan kalau dipikir), kebanyakan adalah subway (kereta api bawah tanah) dan daerah yang tidak dijangkau Subway bisa dijangkau dengan bus. Enaknya, semuanya diatur oleh perusahaan MTA dan karcisnya sama. Sekali naik 2.50 dolar. Setiap 6-10 blok ada satu stasiun subway. Karena keretanya bawah tanah, jadi ya stasiunnya tidak kelihatan. Yang kelihatan cuman seperti lubang masuk ke tanah dengan payung warna hijau; kalau ketemu ini, artinya di bawah ada stasiun subway. Suasana di stasiun subway biasa saja, dengan ketinggian atap seperti di dalam rumah pribadi, berbeda dengan stasiun subway di Singapura yang cenderung megah dan dalaaaam sekali.
- Karena keretanya bawah tanah jadi sebentar-sebentar kalau jalan di trotoar kita akan dengar suara gemrodok dari dalam tanah. Itu artinya ada kereta lewat. Tapi ya, tentu posisinya cukup dalam di tanah. Kira-kira secara umur strukturnya begini 1) jalan raya, 2) gorong-gorong (yang biasanya bisa dilihat melalui jeruji di beberapa bagian jalan, 3) subway.
- Saat menjelang sore, di kawasan-kawasan yang super padat, seperti di East River Village atau Greenwich Village (kawasan yang dalam novel-novel Amerika pertengahan abad ke-20 dikenal sebagai tempatnya seniman dan mahasiswa), terlihat kantong-kantong plastik berisi sampah di trotoar. Kantong-kantong sampah ini menunggu diambil truk pengangkut sampah. Karena dikantongi, tidak tercium bau tak enak.
- Banyaaaak sekali manusia. Di toko, di kampus, di jalan, di trotar, di kereta, di stasiun, di mana2. Tidak perlu lagi komentar.
- Mobil-mobil cenderung bergerak lambat, jadi kalau di film-film itu banyak kejar-kejaran di New York, hmmm… mungkin itu bukan New York yang saya kunjungi akhir pekan lalu. 😀
- Begitu banyak bangunan, begitu sedikit lahan. Sangat terbatasnya lahan ini tercermin dalam berbagai segi kehidupan. Kafe-kafe atau toko-toko tidak punya toilet yang bisa dipakai umum. Di dalam bangunan (misalnya bangunan kampus New York University di kawasan Alun-alun Washington yang saya kunjungi) tidak punya toilet di setiap lantai. Toko kebab Lebanon yang saya kunjungi memiliki struktur seperti gua, hanya ada pintu masuk, tidak ada pintu keluar, karena belakang langsung mepet bangunan orang lain. Dampaknya, suplai tomat dan sayur untuk tabbuleh harus masuk dari pintu tempat masuknya pengunjung. Ini tentu tidak biasa–alaminya, pintu masuk dan keluarnya bahan makanan tidak sama.
- Pasangan gay menurut saya cukup banyak dan tampak jelas–mungkin ini karena saya berasal dari Arkansas, yang cenderung orang-orangnya lebih relijius dan cenderung memandang homoseksualitas sebagai dosa. Di Fayetteville, AR, mungkin lebih mudah (meskipun mudah di sini masih terbilang sulit) melihat pasangan lesbian daripada pasangan gay di tempat umum. Di New York City, pasangan gay bisa berjalan bergandengan tangan dengan mesra baik di taman maupun di jalan. Ah, jadi ingat episode pilot Sex in the City, di mana disebutkan bahwa hubungan seksual heteroseksual cenderung terjadi cukup kasual, tanpa melibatkan perasaan cinta yang mendalam, sementara di komunitas gay cinta masih menjadi satu elemen utama dalam hubungan.
- Banyak sekali orang merokok, jadi kalau ada bule mengeluhkan soal banyaknya orang merokok saat berada di Indonesia, sepertinya dia harus introspeksi dulu. Tentu, saya sebagai non perokok lebih senang kalau tidak banyak orang merokok. 😀
- Bahasa cenderung kayak film-filmnya Tarantino :D. Kalau ngomong fokang-faking terus. Kayaknya seperti arek jawa timuran yang kalimatnya dibumbui “cuk” secara dermawan, meskipun tidak untuk meluapkan emosi. Sepertinya gaya bahasa mereka sudah begini. Saat makan di sebuah kafe yang sesak, seorang cewek di sebelah saya selalu menyelipkan “faking” di setiap kalimatnya. Ini cuman contoh ekstrim. Makanya, kalau nonton film Premium Rush oknum polisinya mengeluhkan kecenderungan anak muda yang suka bahasa-bahasa kasar dalam kehidupan sehari-hari, seperti “douchebag” yang dipakai karakter Wilie dan kata “suck it” yang dipakai dalam acara-acara TV masa jam-jam tayang utama yang bisa ditonton anak-anak.
Sementara begitu dulu catatan dari Wong nDeso in New York. Kalau ada yang perlu, pasti akan ditambahkan.