Di antara banyak istilah yang telah menjadi klise dalam kehidupan sehari-hari adalah ungkapan “di zaman internet ini, dunia terasa menyempit* dan batas-batas semakin melebur.” Saking klisenya, metafor ini terasa seperti kalimat sederhana dengan makna denotatif yang tak bisa diganggu gugat. Dalam kesempatan ini, saya pingin berbagi satu kutipan dari cerpen apik Bharati Mukherjee yang berjudul “The Tenant” dari buku The Middleman and Other Stories.** Cerpen ini berkisah tentang seorang mahasiswi S3 asal India bernama Maya yang sudah cukup lama tinggal di Amerika dan telah menjadi warga negara Amerika, pernah menikahi lelaki Amerika, dan pandangannya dengan kasta sudah “tidak lagi India.”

Di satu kesempatan, Maya pergi ke perpustakaan dan masuk ke bagian periodikal dan menemukan beberapa mahasiswa asing yang sedang mengikuti berita tentang negara-negara asal mereka melalui koran-koran asing yang tersedia di bagian itu. Di masa itu, di masa pra-internet, menjaga hubungan dengan kampung halaman membutuhkan banyak usaha. Makanya, banyak sekali orang yang kerja di luar negeri dan benar-benar gegar budaya ketika kembali ke kampung halamannya. Merantau bisa-bisa membuat orang putus hubungan dengan kampung halaman. Banyak yang tidak bisa melewati batas itu.

Nah, bandingkan dengan sekarang: kalau ingin mendengar berita tentang kampung halaman, kita tinggal buka komputer dan bisa baca berita tentang pemain bola idaman yang keseleo di kampung halaman kita di seberang samudera sana. Bisa dibilang, tidak ada lagi batas yang signifikan selain batas geografis. Kini, perantau bisa menjadi makhluk amfibi yang secara fisik tinggal di Amerika dan secara mental tinggal di Indonesia (meskipun dalam hal ini “Indonesia” berarti Indonesia versi teman-teman facebook, versi Kompas, versi Detik.com, atau bahkan versi Jonru). Inilah makna yang terkandung di balik ungkapan menyempitnya dunia dan meleburnya batas-batas. 

Nah, sebelum saya keterusan ngobras, saya bagi saya dengan Anda sekalian satu bagian yang menggambarkan dunia pra-peleburan batas itu: 

The next day, Monday, instead of getting a ride home with Fran–Fran says she likes to give rides, she needs the chance to talk, and she won’t share gas expenses, absolutely not–Maya goes to the periodicals room of the library. There are newspapers from everywhere, even from Madagascar and New Caledonia. She thinks of the periodicals room as an asylum for homesick aliens. There are two aliens already in the room, both Orientals, both absorbed in the politics and gossip of their far off homes.

She goes straight to the newspapers from India. She bunches her raincoat like a bolster to make herself more comfortable. There’s so much to catch up on. A village headman, a known Congress-Indira party worker, has been shot at by scooter-riding snipers. An Indian pugilist has won an international medal–in Nepal. A child drawing well water–the reporter calls the child “a neo-Buddhist, a convert from the now-outlawed untouchable caste”–has been stoned. An editorial explains that the story about stoning is not a story about caste but about failed idealism; a story about promises of green fields and clean, potable water broken, a story about bribes paid and wells not dug. But no, thinks Maya, it’s about caste.

Out here, in the heartland of the new world, the India of serious newspapers unsettles. Maya longs again to feel what she had felt in the Chatterjis’ living room: virtues made physical. It is a familiar feeling, a longing. Had a suitable man presented himself in the reading room at that instant, she would have seduced him. She goes on to the stack of India Abroads, reads through matrimonial columns, and steals an issue to take home.

* lebih klise lagi kalau pakai ungkapan lawas “dunia selebar daun kelor”

** btw, buku ini adalah buku penting karya Mukherjee, dan bagi saya buku ini penting karena berkat Amazon saya bisa mendapatkan versi hard cover-nya dari cetakan pertama 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *