Spirit Sepeda Gunung: Dari California ke Pinggir Kali

Sepulang dari mengurus KTP di kantor pelayanan terpadu kota Malang yang letaknya di luar kota, di Kedungkandang, saya melihat sebuah sepeda gunung Federal tersandar pada sebatang pohon pinggir kali irigasi. Frame dan roda-nya benar-benar MTB. Tapi tidak ada lagi rem maupun gir tumpuknya. Hanya sepeda gunung butut dan berundul. Minimalitasnya itu, ditambah sadelnya yang dibungkus tas kresek, boncengan yang ditambahkan kemungkinan untuk memudahkan pemiliknya mengangkut barang—ada sebuah karung pupuk tersandar di sepeda itu—sontak mengingatkan saya tentang sejarah panjang sepeda gunung yang diawali di Marin County, California. Langsung terlintas di pikiran saya: spirit anak-anak California itu sepertinya ada di pinggir kali ini.

Sepeda gunung di pinggir kali
Sepeda gunung di pinggir sawah dan kali irigasi di Malang

Sejarah Sepeda Gunung

Menurut sumber-sumber yang tercecer di situs-situs web pribadi, film dokumenter berjudul Klunkerz, buklet berjudul The Pioneers of Mountain Biking, buku The Birth of Dirt dan wawancara-wawancara dari berbagai majalah sepeda gunung ternama, saya menemukan bahwa cikal bakal sepeda gunung sebagaimana kita kenal sekarang ada di Marin County, California. Di akhir 60-an dan awal 70-an, ada segerombolan remaja menggunakan sepeda peninggalan zaman Perang Dunia II untuk menuruni Mount Tamalpais dengan kecepatan tinggi, di jalan setapak, di antara pepohonan, melewati batu-batu dan akar pohon. Setelah beranjak dewasa, kelompok ini pun bubar dengan sendirinya. Salah seorang mantan anggota kelompok ini kemudian bergaul dengan para pembalap muda di kawasan yang sama.

Para pembalap muda ini belakangan juga suka berkumpul-kumpul santai dengan sepeda butut pada akhir pekan. Setelah menempuh ratusan mil latihan dengan sepeda balap pada pagi hingga siang, para pembalap itu berkumpul di sore hari membawa sepeda butut, dengan memakai jins (bukan lagi kostum jersey wajib buat balap), sambil menuruni bukit dengan kecepatan tinggi pun menjadi hobi yang semakin mereka gemari. Setelah semakin sering berkumpul, mereka pun akhirnya memutuskan mengadakan lomba off-road dengan sepeda butut dan mengundang para peserta dari kota-kota sekitar. Salah satu kelompok yang ikut event tersebut adalah Morrow Dirt Club, yang termasuk unik, karena sepeda butut yang mereka pakai untuk lomba tersebut sudah memakai banyak gir lengkap dengan pemindah gigi, yang waktu itu hanya ada pada sepeda-sepeda balap.

Mari kita tonton trailer film Klunkerz:

Beberapa saat setelah perlombaan ini, salah satu pembalap muda Marin County ini mulai menggunakan banyak gir sehingga sepeda ini tidak hanya enak untuk dipakai di turunan, tapi juga bisa dipakai untuk menanjak gunung. Para pembalap muda ini pun mulai mengadakan event untuk kegemaran mereka turun bukit ini. Kali ini mereka mengadakan lomba adu cepat menuruni bukit yang sangat curam. Mereka menyebutnya “Repack” yang artinya kira-kira “pasang lagi.” Asal nama ini adalah karena jalur yang sangat curam dan tidak adanya rem, sehingga as roda menjadi terlalu panas hingga sten ped terbakar dan menghasilkan asap, sehingga akhirnya mereka harus membongkar as, memberi sten ped, dan selanjutnya dipasang lagi.

Di lomba-lomba “Repack” yang berlangsung antara 1978 sampai 1984 inilah MTB mulai mendapatkan bentuk dan komponennya menyerupai yang kini kita kenal sebagai sepeda gunung. Seorang anggota mulai menggunakan rem depan (yang sebelumnya belum lazim). Yang lain mulai menggunakan gir rendah untuk bisa menanjak. Ada yang membuat kunci cepat untuk menaikkan dan menurunkan sadel, karena sadel sangat perlu diturunkan demi keseimbangan saat kita turun. Selanjutnya, Joe Breeze, seorang pembalap yang juga suka membuat kerangka untuk sepeda turun gunung yang kuat. Maka, sepeda baru inilah yang akhirnya dikenal sebagai mountain bike pertama. Selanjutnya, Gary Fisher meminta Tom Ritchey untuk membuat kerangka sepeda untuknya.

Ini ada video singkat tentang “Repack“:

Joe Breeze selanjutnya memproduksi terus mountain bike yang telah dia rancang, yang dia jual dengan produk-produknya yang lain. Sementara itu, Gary Fisher dan Charlie Kelly membuat perusahaan dan toko yang mereka sebuah MountainBikes dengan pasokan kerangka sepeda dari Tom Ritchey. Kelak, Gary Fisher dan Charles Kelly berpencar, dan memutuskan memproduksi kerangkanya tidak dari Tom Ritchey, tapi dari Jepang. Tom Ritchey terus merancang komponen sepeda berkualitas tinggi. Sementara itu, Mike Sinyard, seorang importir sepeda, akhirnya menjual sepeda gunung pertama yang diproduksi secara massal yang, sebagaimana dia akui sendiri, desainnya banyak terinspirasi oleh sepeda gunung rancangan Tom Ritchey. Perusahaan Sinyard, yang sejak dulu bernama Specialized, akhirnya memproduksi sepeda gunung secara massal untuk pertama kalinya: Stumpjumper. Dengan promosi yang gencar, sepeda gunung pun akhirnya merebak di seluruh Amerika. Dan tentu, di Indonesia sepeda gunung juga kemudian merebak.

Sepeda Gunung di Indonesia

Di Indonesia, merebaknya sepeda gunung tak lepas dari peran PT. Federal Cycle Mustika yang memproduksi sepeda gunung dengan label Federal. Mungkin karena orang belum akrab dengan spesies baru sepeda yang memakai setir lurus ini, akhirnya orang jadi mengenal MTB awal di Indonesia dengan sebutan “sepeda Federal.” Baru belakangan orang mulai akrab dengan sebutan “sepeda gunung,” “Mountain bike,” “MTB” atau di kampung saya “sepeda setir kenceng (setir lurus).” Ketika saya SD kelas 6, teman saya yang tinggalnya di desa lain suka datang ke sekolah dengan memakai sepeda federal, namanya Aprilia Budiarti. Dengan promosi yang cukup gencar, menguras sekitar 1 milyar dalam setahun, PT. Federal Cycle Mustika berhasil mewabahkan MTB di Indonesia dan memancing banyak perusahaan lain memproduksi sepeda setir kenceng pertama, meskipun tetap saja banyak orang yang ketika itu tetap menyebut sepeda gunung sebagai “sepeda Federal.”

Dampak yang jelas terasa dari menjamurnya sepeda jenis ini pada paruh awal dekade 90-an itu adalah super seringnya diadakan yang namanya event fun bike atau sepeda santai pada hari Minggu. Selain itu, di sana-sini mulai bermunculan klub MTB yang sering mengadakan acara sepeda bareng. Di desa saya dulu, seingat saya ada dua klub yang terlihat mencolok. Klub pertama adalah Delta Saccharida yang anggotanya adalah para karyawan Pabrik Gula Krembung atau keluarga mereka dan sebuah klub lainnya adalah klub yang anggotanya adalah warga umum (sayang, saya lupa nama klub tersebut). Sementara itu, di kecamatan lain, ada sebuah klub yang mengadakan event rutin yang disebut Randegan Cycling. Saya sangat ingat bahwa setiap klub dulu mengenakan baju lengan panjang dengan bagian di punggung yang diberi kolor—entah apa gunanya.

Pada fenomena menjamurnya MTB inilah olahraga sepeda memasyarakat. Sebelumnya, sebagian besar anggota masyarakat berhubungan dengan sepeda secara sangat pragmatis. Mereka menggunakan sepeda untuk berangkat sekolah, berangkat kerja, atau bahkan menggunakannya untuk bekerja. Tapi, ketika jenis sepeda baru yang harganya tidak semahal sepeda balap itu mulai muncul, dan banyak orang yang mampu membelinya, event olahraga sepeda menjadi sangat menjamur. Dan sebagai efek samping, dalam even-even sepeda santai itu peserta tidak hanya dibatasi pada pemilik sepeda gunung atau sepeda yang pada saat itu modelnya paling baru. Tidak sedikit peserta yang menggunakan sepeda BMX, mini, atau jengki yang sebelumnya tak lebih dari sekadar sarana transportasi. Di desa saya sendiri, acara jantung sehat yang rutin diadakan setiap enam bulan sekali pada hari minggu itu pernah beberapa kali sampai diganti dengan event sepeda gunung. Pesertanya tidak harus menggunakan sepeda gunung. Bapak saya sendiri, yang sudah harus menyisikan uangnya untuk membeli sepeda gunung dua kali buat saya (yang pertama dicuri orang waktu belum genap dua minggu dimiliki), ikut acara sepeda santai itu dengan menunggang sepeda jengki (sepeda Phonenix). Tentu saja sepeda ini enak dan kuat, tapi yang jelas sepeda jenis ini sangat berisik karena semua elemennya dari kaleng (slebor, tutup rantai, dll).

Mike Sinyard, pimpinan Specialized yang bermarkas di California itu, mengatakan bahwa pada awal peluncuran sepeda gunung, dia bercita-cita menghadirkan olahraga sepeda baru yang lebih terjangkau oleh sebagian besar orang. Tentu saja, dia membandingkan harga sepeda gunung dengan sepeda balap, yang waktu itu relatif mahal. Sepeda gunung yang jauh lebih murah itu pun benar-benar menjanjikan olahraga baru. Di promosi pertamanya, Specialized menyebutkan “Not only is it a new bike, but it’s a whole new sport.” Charlie Cunningham, salah seorang dari “para sahabat” sepeda gunung mengatakan bahwa hebatnya sepeda gunung ini adalah dia bisa mengajak banyak orang berkumpul bersama untuk bersepeda. Tidak jelas apa yang dia acu, tapi yang pasti kalimat itu sangat bisa menjelaskan fenomena yang pernah menggejala di Indonesia: orang-orang berkumpul dengan sepeda mereka dan mulai menggunakan sepeda untuk sarana olahraga. Selanjutnya, sedikit demi sedikit orang juga mulai meninggalkan sepeda gunung dan tinggal sedikit yang tetap aktif dengan sepeda gunung.

Spirit Dulu Vs Kini

Baru sekitar tahun 2005, sepeda gunung mulai populer kembali. Kali ini, ada kelompok-kelompok yang mengikrarkan “bike to work.” Dan seiring perkembangan baru ini, di Indonesia pun mulai ramai orang berbicara tentang satu sub-spesies sepeda gunung, yaitu sepeda “downhill” yang khusus untuk olahraga turun bukit. Kalau melihat sejarah sepeda gunung lagi, sepertinya ini adalah terusan langsung dari olahraga sepeda gunung yang dilakukan oleh anak-anak Marin County. Yang membedakan adalah, kalau anak-anak Marin County itu menggunakan sepeda-sepeda kuat yang butut agar tidak sayang kalau rusak dan banyak menggunakan kerja sama dan inovasi demi agar bisa saling mengalahkan, yang namanya “downhill” saat ini menggunakan sepeda-sepeda model terbaru yang kuat, canggih, dan tentu saja mahal. Melirik sedikit di Malang Olympic Garden tempo hari, saya melihat harga salah satu sepeda untuk downhill yang shock depannya menyerupai motor trail itu adalah 20 juta rupiah. Padahal, sebagian besar sepeda motor yang dipakai orang Indonesia saja harganya masih di bawah 15 juta. Soal inovasi di kalangan peserta downhill, saya sendiri tidak terlalu tahu, tapi yang pasti banyak orang yang tinggal membeli jadi sepeda-sepeda downhill semacam ini.

Bagaimana dengan “para sahabat” sepeda gunung dari Marin County, California itu? Dulu, kebanyakan mereka begitu inovatif, cinta sepeda, dan memiliki spirit yang bisa dibilang menerabas tatanan mapan. Apakah mereka sekarang tetap begitu? Sepertinya iya. Gary Fisher, yang telah menjual perusahaannya, kini “hanya” menjadi salah satu perancang dan mengepalai divisi olahraga untuk perusahaan Trek-Gary Fisher. Dia terus melakukan inovasi yang tetap menjadi acuan olahraga sepeda gunung dan turun bukit: merancang sepeda dengan suspensi depan dan belakang, mengubah geometri sepeda gunung demi kenyamanan yang meningkat, mengawali tren sepeda gunung 29-er (yang ukuran rodanya tidak lagi 26 inchi seperti kebanyakan sepeda gunung) dan merancang sepeda gunung untuk free-style. Tom Ritchey terus menjadi perancang komponen sepeda gunung berkualitas tinggi yang banyak dipakai perusahaan-perusahaan sepeda besar. Salah satu temuannya yang sangat dihargai adalah Ritchey CPR-9 yaitu sebuah perangkat kecil yang terdiri dari kunci-kunci yang paling banyak dipakai untuk sepeda gunung, khususnya untuk pertolongan pertama, misalnya mengganti ban. Ritchey juga merancang sepeda khusus yang dia peruntukkan untuk proyeknya “Bikes to Rwanda” yang bertujuan menyediakan kredit sepeda untuk alat angkut dan transportasi bagi para pekebun kopi di Rwanda. Joe Breeze terus memproduksi sepeda berkualitas tinggi yang nyaman.

Mari kita dengar cerita Ritchey tentang projek sepeda untuk para pengangkut kopi di Rwanda:

Di sebuah majalah, saya menemukan sebuah liputan khusus tentang “setelan unik sepeda gunung Ritchey.” Di sini, ditunjukkan bagaimana Ritchey bersepeda dengan frame hasil rancangannya yang dipakai seorang pesepeda gunung saat menjuarai sebuah event. Tapi bukan itu yang dianggap unik oleh si penulis laporan. Yang unik adalah bagaimana Tom Ritchey memasang CPR-9 (tool serbaguna rancangannya sendiri) di garpu depan, ban dalam dan pompa di bagian vertikal rangka sepedanya, semuanya dengan direkatkan lakban. Menurut si penulis hal tersebut unik untuk seorang Tom Ritchey. Tentu “unik” di sini dalam artian olok-olok. Menurut saya, justru di situlah terletak spirit Marin County, yaitu berimprovisasi dengan apa yang ada dan praktis, asal sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan. Sepertinya si penulis membandingkan Tom Ritchey dengan para atlit sepeda jaman sekarang yang bisa menemukan semua perkakasnya di toko.

Dengan melihat keunikan Tom Ritchey di atas, saya jadi curiga, jangan-jangan sepeda Federal yang diparkir di pinggir kali, dengan tambahan boncengan untuk mengangkut pupuk dan membungkus sadelnya dengan tas kresek agar tidak basah kalau kehujanan itu memiliki spirit yang lebih menyerupai anak-anak Marin County ketimbang kami yang pakai MTB pabrikan yang beli baru atau kami yang suka menuruni bukit dengan sepeda berharga 20 jutaan rupiah itu? Kalau melihat tingka Tom Ritchey yang kini bahkan merancang sepeda untuk digunakan para pekebun kopi di Rwanda sana, sepertinya kita memang hanya mengonsumsi apa yang telah dibuat oleh pabrik dan melupakan semangat yang mungkin akan lebih memperkaya hidup kita. Kita para pembeli sepeda dengan harga tinggi tapi dengan kegunaan yang kurang jelas ini mungkin hanya menjadi alat-alat para kapitalis, menjadi putra teladan kapitalisme yang ketika mendengar iklan “ini lho ada barang bagus, cobak deh!” langsung yakin bahwa kita perlu membelinya dan melupakan guna sebenarnya. Ah. Maaf, kalimat barusan sangat tidak aerodinamis dan ergonomis, terlalu panjang dan melelahkan. Anyway, begitulah ceritanya bagaimana pinggir kali mengingatkan pada California.

NB: Silakan baca postingan tentang bersepeda di sini atau postingan populer tentang sabuk velg ini.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *