You Never Ride Alone: Ketinggalan Tren Sepeda Gunung

Ternyata, sudah cukup lama saya tidak mengikuti perkembangan budaya sepeda pancal. Hari-hari ini, di tengah pandemi yang salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya orang bersepeda dan kembali populernya hobi bersepeda, saya menyadari bahwa ada banyak hal tentang sepeda pada masa kini yang tidak saya ketahui. Tapi, alih-alih merasa ketinggalan, kali ini saya merasa begitu merdeka.

Sekadar ringkasan: selama 12 tahun terakhir ini persentuhan saya dengan sepeda pernah cukup intensif. Tahun 2008 saya beli sepeda gunung full suspension Mongoose XR-200 (entry level tapi asyik lah) waktu di Arkansas. Saya maksimalkan full-suspensionnya untuk bersepeda ke gunung-gunung. Tahun 2010, kembali ke Indonesia, saya langsung beli sepeda gunung Polygon Premier yang nyaman sekali meski terbilang murah (entry level tapi lebih asyik dibandingkan sepeda sebelumnya). Kembali ke Arkansas, tahun 2011 saya pakai Mongoose lagi. Tahun 2012 saya beli sepeda balap vintage bekas warna pink dari tetangga Meksiko saya. tahun 2013/2014 saya dapat hibah sepeda balap Raleigh klasik warna hitam yang super nyaman (tahun 2015 seorang maling mencuri sepeda yang sudah jadi indah itu). Tahun 2015 saya memakai sepeda gunung vintage Schwinn sampai saya balik ke Indonesia dan kembali menemui Polygon Premier yang sudah saya tinggal 5 tahun itu.

Memang, dalam urusan beli-beli, saya tidak mengikuti tren sepeda. Kebanyakan sepeda yang saya dapatkan saya beli second karena memang itu yang ada di depan mata. Mongoose saya beli karena itu sepeda yang ditinggalkan mahasiswa Indonesia yang pulang tepat sebelum saya pergi. Begitu juga Polygon Premier itu. Saya beli dia karena sepeda itu yang paling tampak menggairahkan ketika saya ke toko sepeda (rumahan) di dekat rumah orang tua saya di Krembung–tapi pemilik pertama Polygon Premier ini adalah seorang kepala desa di kecamatan Krembung. Sepeda vintage warna pink saya beli karena sudah beberapa lama saya lihat sepeda itu menganggur dalam kondisi butuh perbaikan tapi saya tertarik mencoba hal baru. Sementara sepeda Schwinn warna merah itu, itu adalah sepeda yang ditinggalkan oleh seorang tetangga di apartemen saya dan dia ada ketika saya bersedih kehilangan Raleigh vintage warna hitam itu. Sekarang, saya memakai Polygon Premier lagi karena … buat apa beli baru kalau yang ini masih nyaman?

Nyervis sepeda di dalam apartemen

Tapi, memakai apa yang ada bukan berarti saya tidak pernah mengikuti tren atau seluk-beluk sepeda. Saya sempat menulis postingan sejarah sepeda gunung di sini. Memang cuma postingan blog, tapi tetap saya butuh nonton film dokumenter, baca wawancara, membaca buku-buku, dan lain sebagainya. Dari situ saya jadi tahu tren sepeda gunung saat itu. Saat itu sepeda gunung dengan roda 29 inchi baru “ditemukan” oleh Gary Fisher. Saya juga tahu kalau ternyata ada berbagai ukuran sepeda balap dan ukuran tersebut harus disesuaikan dengan ukuran pengguna. Ini saya ketahui ketika kawan kerja saya Molly membeli sepeda balap seharga 1500 dollar–sepeda paling cantik yang pernah saya lihat seumur hidup.

Tapi, karena sudah agak lama tidak berurusan dengan sepeda, saya jadi belajar lagi hal-hal baru tentang sepeda hari-hari ini. Hal pertama adalah tentang ukuran ban. Ternyata, di Indonesia saat ini sedang populer ukuran ban 27,5 inchi, bukan lagi 26 inchi. Saya pikir, kita bakal kena tren 29 inchi juga mengikuti “temuan” Gary Fisher. Ternyata tidak, kawan. Mungkin, buat postur orang Indonesia, sepeda gunung 29 inchi akan terlalu besar. Seperti naik sepeda kumbang rasa gunung. Kedua, ternyata sekarang United tampak lebih populer (di sekitar saya) dibandingkan Polygon. Tapi ada juga merek-merek lain semacam Thrill yang bersliweran di mana-mana. Ketiga, ternyata harga sepeda gunung saat ini lumayan mahal. memang masih ada yang harganya 1,5 juta atau 2 juta. Tapi, lebih banyak lagi yang harganya 5 jutaan. Dan, sepeda gunung seharga 10 juta itu bukan barang langka saat ini. Keempat, saat ini pesepeda gunung lebih menyukai ban yang besar, yang katanya enak dipakai untuk menanjak.

Oke, fixed sudah. Saya memang ketinggalan tren sepeda. Ya sudah. Semoga semua orang bahagia. Saya akan tetap bahagia menikmati Polygon Premier saya ini selama dia masih indah. Bagaimana lagi, saya sudah terlanjur memilih meneladani etos anak-anak Marin County dalam hal sepeda dan sepeda gunung daripada mengikuti tren sepeda. Etos yang saya maksud di sini bisa ditemukan di postingan lain. Modifikasi dan kustomisasi sepeda untuk keperluan kita–syukur-syukur dilakukan sendiri–tetap menjadi satu hal yang bisa terus dipegang. Untuk itu, saya akan nikmati ban luar gunung (beli baru) ukuran lebar 1,75 inchi untuk saat ini. Sejauh ini, ukuran ini yang paling pas buat saya: ringan di aspal, nyaman di tanah/kerikil. Kita mungkin beda, lurds, tapi kita sama-sama bersepeda. You never ride alone, meskipun berangkatnya nggak pernah bareng atau jalurnya sering berbeda.

Sepedaan santai keliling pinggiran Malang kok nyasar ke Taj Mahal?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *