Selamat Jalan Cak San, Kawan Anak Malam

Cerita ini pendek saja, tapi saya pikir perlu untuk sekadar mengabadikan sesuatu yang kelak retak, yang harus segera diabadikan mumpung belum retak. Cerita ini tentang seorang lelaki yang menjaga malam tetap malam, yang menjaga inspirasi tetap inspirasi, dan menjaga pekerjaan yang mestinya selesai tetap selesai. Dia merawat mereka yang skripsinya masih baru berupa mimpi. Dia melakukannya dengan membuka warung nasi bantingan murah dengan segala pernak-perniknya. Belum genap seminggu ini beliau pergi, mangkat, meninggalkan warungnya dan dunia.

Tokoh kita ini, namanya Cak San (sekarang almarhum), adalah seorang pemilik warung yang unik. Warungnya berada di depan rektorat lama Universitas Negeri Malang. Posisi warungnya adalah di pertigaan bertemunya Jl. Surabaya, Jl. Terusan Surabaya, dan Jl. Jombang. Warungnya baru buka sekitar jam 11 atau 12 malam. Di warung itu dia menjual nasi bantingan (yang waktu itu sangat ultra uber murah, kalau tidak salah Rp. 500), gorengan, dan minuman (kopi, teh, dan segala macam minuman kustom–tapi halal). Oh ya, ada yang lupa, dia juga menjual kedamaian dan kenyamanan. Selain menu-menu itu, dia juga menawarkan episode-episode ludruk komedi Kartolo pada pukul 24.00-1.00 WIB (yang diambil dari Radio TT 77, sebuah stasiun Radio AM di Malang).

Saya kenal Cak San pertama-tama karena saya pernah tinggal di Jalan Jombang (tepatnya Jombang Ia) ketika kuliah. Cak San sendiri punya rumah di Jalan Jombang I, di sebuah gang (yang bisa ditemui di video YouTube dari Nex Carlos ini). Karena tinggal tak jauh dari situ, dan karena Cak San sudah buka di rumahnya mulai jam 9 – 11 malam sebelum buka di warungnya, saya pun awalnya diajak kawan-kawan kost ke sana kalau lapar dan ingin yang murah-murah.

Tapi, perkenalan dengan Cak San ini semakin intens ketika saya aktif di organisasi kampus. Ketika aktif di UKM dan Himpunan Mahasiswa Jurusan, saya sering di kampus malam-malam untuk menyelesaikan persiapan acara. Nah, pada saat itulah, ketika kami butuh tenaga untuk bekerja, kami suka ke Cak San. Kadang kami beli nasi tapi terkadang juga untuk beli kopi dan teh. Kalau dibawa pulang, tentu kopi dan teh ini dibungkus plastik, jadi ada campuran mikro plastiknya. Kira-kira, mikro plastik dalam minuman itulah yang kelak menjadikan kami anak-anak UKM ini pribadi yang luwes dan fleksibel–dan hangat. Saya beli nasi Cak San untuk konsumsi panitia di acara UKM OPUS 275 (Organisasi Pecinta Musik).

Apa sih isi nasi bantingannya Cak San ini sebenarnya? Jawabannya simpel: nasi, oseng-oseng tahu dan taoge manis, bihun, terkadang ada variasi oseng-oseng buncis, dan tentu saja telor dengan banyak tepung (ini yg paling legendaris). Hanya dengan bahan-bahan ini, kita sudah mendapat karbohidrat, protein, dan serat. Dan porsinya yang secukupnya (sangat secukupnya, mendekati sedikit) itu seperti sangat paham tentang kesehatan. Saya pernah dengar katanya tidak baik makan karbohidrat banyak-banyak waktu malam.

Yang paling unik adalah minumannya. Sebenarnya, yang dilakukan Cak San sepanjang malam mulai jam 11 sampai jam 3 pagi itu sebenarnya adalah membuatkan orang-orang minuman. Nasinya sudah dibungkusi dari rumah (oleh istri Cak San), jadi di sana pembeli praktis tinggal ambil dan makan di tempat atau dibawa pulang. Tapi bukan berarti Cak San bersantai. Sepanjang malam dia sibuk menerima pesanan minuman (seingat saya tanpa asisten) dan membuatkan minuman di gelas-gelas kecil di atas baki. Sekali menggarap pesanan, dia membuat lebih dari sepuluh gelas kopi, semuanya disiapkan satu per satu. Tidak ada yang namanya membuat kopi langsung satu teko. Every drink is a custom-made drink for Cak San. Dan ini terus-terusan ada sampai jam 1 dini hari, dan berangsur-angsur berkurang hingga jam 3 pagi–padahal nasinya biasanya nasinya sudah habis sejak jam 1.

Tapi, saya pernah mengalami sesuatu yang ganjil: Cak San salah menerima pesanan. Karena kebiasaan Cak San yang menerima minuman custom (teh campur jeruk atau kopi campur jahe), suatu saat Cak San salah menerima pesanan kami. Saya dan kawan kost memesan teh jeruk dan wedang jahe. Tapi, yang kami dapatkan ternyata teh dan jahe jeruk. Jahe jeruk tidak pernah ada dalam sejarah minuman yang saya minum dan sukai. Tapi, karena saya sudah terlanjur pesan itu, akhirnya saya pun membawanya pulang dan kesulitan meminumnya. Namun oh namun oh namun, kelak saya suka dengan jahe jeruk setiap ada kesempatan. Itulah salah satu legacy Cak San di rumah saya.

Selain makanan, ada dua objek khas yang tidak akan pernah terlewat: pisau dan sendok. Pertama, untuk pisau, Cak San punya pisau yang setiap malam dipakai untuk mengiris jahe dan jeruk. Ketika saya berlangganan Cak San antara 1998 sampai 2004 itu, pisau yang beliau pakai sudah tinggal seukuran kelingking. Saya menduga itu karena asam yang ada pada jeruk menggerus besi pisaunya. Objek lainnya adalah sendoknya. Cak San menggunakan sendok yang sama untuk mengaduk semua pesanan, dan yang unik adalah sendoknya itu selalu digerakkan dengan cara yang unik. Cak San tidak mengaduk dengan gerakan memutar membentuk pusaran, tapi menggerakkan sendok seperti orang memakai kapak: bibir sendok dihajarkan berulang-ulang ke dinding gelas, sehingga menghasilkan suara: teng-enteng-enteng-enteng-enteng. Hidup terasa enteng saat mendengar suara sendok Cak San mengaduk. Saat ini, saya sering mengaduk dengan gaya Cak San di rumah, dan istri dan anak saya sering berkomentar: “Ayah gaya thok.”

Hal terakhir yang perlu saya ceritakan tentang Cak San adalah bahwa beliau ini seorang haji beberapa kali. Saya cukup beruntung karena saya menangi atau mengetahui masa ketika Cak San naik haji pertama kali. Saya kesulitan membayangkan seorang pemilik warung pojok malam hari bisa naik haji. Ada yang bilang bahwa itu berkat jasa baik seorang adiknya, paling tidak untuk haji yang pertama. Tapi, sedikit pun saya tidak pernah meragukan kelayakan Cak San untuk naik haji. Selain menjadi pemilik warung, Cak San adalah juga seorang guru ngaji di masjid dekat rumahnya. Di poster-poster elektronik yang tersebar tentang Cak San ketika beliau meninggal kemarin, disebutkan di situ KH Ichsan. Ternyata beliau di akhir masa hidupnya mengajar ngaji di sebuah pondok pesantren.

Sekarang, perkenankan saya menutup postingan ini berdoa dengan cara orang Islam. Semoga Cak San damai di sana. Dia yang memberi kedamaian, kehangatan, dan gelak tawa selama di dunia layak mendapatkan yang terindah setelah dunia.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

You right, Bro.
May Allah bless & put him on the side of His greatness…aamiin…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *