#ulasfilmkemdikbud
Cinta Brontosaurus, film kedua Raditya Dika, mendapat sambutan cukup besar. Ia ditonton 150 ribu orang di 200 layar bioskop dalam dua hari pertama penayangannya. Banyak ulasannya di berbagai media. Sebagian pengulas menganggap komedi romantik ini berhasil dengan humor-humornya. Pengulas lain menganggapnya gagal mengembangkan cerita tapi berhasil menyajikan humor dan sindiran penting atas sinema Indonesia yang mabuk hantu. Secara umum, film ini dirayakan dan berhasil memikat perhatian publik sinema Indonesia. Namun, ada satu elemen film ini yang cukup mengganggu tapi terabaikan pengulas dan penikmat, yaitu ketimpangan peran sosial antara tokoh-tokoh pria dan wanitanya.
Sebelum menyoroti ketimpangan itu, perlu kita tilik sedikit cerita film ini. Cinta Brontosaurus berkisah tentang Raditya Dika, seorang penulis buku yang dalam bukunya berpandangan bahwa cinta bisa kadaluwarsa. Dia sendiri sulit menjalin hubungan cinta yang langgeng. Dia bertemu Jessica dan awalnya mereka merasa cocok. Namun, hubungan merasa kemudian terasa seperti hubungan yang lain: kadaluwarsa. Setelah melalui berbagai konflik, akhirnya dia setuju bahwa sebuah hubungan bisa langgeng meskipun tidak sempurna.
Ketimpangan film ini justru terletak pada aspek pendukung cerita, yaitu para tokoh pendukung dan penyajiannya. Nyaris semua tokoh pria memainkan peran di ruang publik. Persoalan mereka pun tak jauh-jauh dari pekerjaan. Kosasih adalah kawan sekaligus agen Dika yang, meskipun sempat tergoda oleh pesona keberhasilan finansial, akhirnya menyadari perlunya menjaga orisinalitas karya Dika. Sebaliknya, Mr. Soe Lim adalah produser film berorientasi pasar yang hanya membuat film yang sedang laku. Tokoh-tokoh pria pendukung lain juga ada, misalnya penata busana dan chef restoran Perancis yang sok Perancis. Nyaris semua tokoh pria di film ini hadir bersama profesinya.
Sementara itu, nyaris semua tokoh perempuan di film ini disajikan sedang bersantai. Mereka nyaris selalu berbusana siap nongkrong atau pesta, bahkan saat di rumah. Jessica selalu tampil modis dan dalam keadaan bersantai di akhir pekan (misalnya sambil membaca majalah). Dia memang memiliki pekerjaan, tapi hal itu hanya dibahas sambil lalu di awal pertemuannya dengan Dika. Ibu Dika adalah seorang ibu rumah tangga yang kebanyakan digambarkan sebagai pendamping suami ayah Dika dan sebagai seorang pemasak yang pandai. Bunda Jessica adalah seorang perempuan yang digambarkan selalu berbusana pesta dengan terus-menerus bersama monyet yang dia perlakukan sebagai anak bayinya. Contoh paling karikatural ada pada Wanda, istri Kosasih, yang digambarkan suka belanja dan terus meminta dibelikan barang—dan menggunakan seks sebagai cara menaklukkan suaminya, seperti ketika menghentikan Kosasih dari membuat guci. Satu-satunya wanita yang bekerja adalah pegawai minimarket—yang digambarkan agak konyol juga. Kebanyakan tokoh perempuan digambarkan tidak memiliki agensi atau peran sosial penting.
Ketimpangan ini begitu konsisten hingga tampak sistematis. Maka, terasa sangat mengganggu ketika ketimpangan sistematis seperti ini terabaikan. Seperti disampaikan di awal tulisan ini, para pengulas tampaknya lebih terfokus kepada humor dan cerita dari film ini. Hal ini mengindikasikan bahwa ketimpangan tersebut tidak terasa mengganggu penonton.
Apakah ini berarti kita tidak terlalu terganggu pemandangan yang menormalisasi ketimpangan peran sosial laki-laki dan perempuan semacam ini? Padahal, tidakkah normalisasi ini hanya akan melestarikan ketimpangan? Padahal, bukankah lebih mengasyikkan bila penonton bisa mendapatkan contoh tokoh perempuan pekerja fisik yang terampil, pekerja intelektual yang tajam, atau pekerja seni yang unggul?
[…] Tautan: https://timbalaning.wordpress.com/2020/06/12/ketimpangan-sistematis-cinta-brontosaurus/ […]
[…] buat ikut lomba (postingan ini menang lomba tahun lalu, begitu juga dengan ini, yang menang lomba tahun […]