Ghibah soal Ghibli, Apresiasi Awal

Hari ini, untuk pertama kalinya saya akan ngobrol serius di depan publik tentang film-film Studio Ghibli. Oh ya, ini “serius” dalam ukuran saya lho ya. Jangan marah kalau agak beda sama “serius” di kamus. Sebelum dianggap sok tahu tentang film-film animasi itu, saya perlu menjelaskan bahwa ini adalah upaya saya untuk menghormati karya-karya Studio Ghibli sebagai sebuah tradisi yang solid.

Sekadar mengingatkan saja, saya berkenalan dengan Studio Ghibli baru dua tahun yang lalu. Seorang mahasiswa saya di di Universitas Ma Chung setengah mati ingin lulus dengan menulis skripsi tentang film Howl’s Moving Castle. Sebagai dosen saya hanya bisa memastikan agar dia melakukan penelitiannya itu dengan runtut dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Eh, dalam prosesnya, saya mulai menemukan kualitas-kualitas dalam film Howl’s Moving Castle itu yang tidak lazim saya temui dalam film-film animasi 2D (yang awalnya saya pikir tradisional dan begitu-begitu saja).

Selain itu, film-film Studio Ghibli adalah film-film yang memiliki keutuhan bentuk dan isi. Dalam hal bentuk atau sajian visual, mungkin saya tidak akan bicara lebih banyak dari yang telah saya ceritakan di awal seri tulisan ini. Penggambarannya atas alam imajiner tidak terkekang oleh batas-batas lazim. Detail penggambaran masing-masing adegan mulai dari yang sekecil membuka pintu sampai yang sebesar pergerakan kerumunan di pasar mudah membuat kita tercengang. Saya pikir butuh seorang animator atau seniman visual untuk mengapresiasi ini. Sebagai penikmat, saya hanya bisa menunjukkan kekaguman dan merasakan kenikmatan dari sajian visual yang bisa menjadi rekreasi mata buat saya itu. Lebih jauh dari itu–seperti tidak banyak yang bisa saya katakan. Mestinya, dalam diskusi hari ini, Mas Sultan Arief Rahmadianto, dosen desain komunikasi visual yang sehari-hari bergelut di bidang ini lebih bisa mengapresiasi ihwal visual dari Studio Ghibli.

Dan, buat sebagian kalangan, penggarapan imajinasi Studio Ghibli adalah bentuk kecil dari imajinasi tanpa batas. Buat banyak dari kita, istilah “imajinasi tanpa batas” atau “to think outside the box” sudah menjadi klise saking terlalu seringnya dipakai. Dan, yang paling parah, berpikir bebas semacam yang dijanjikan oleh “imajinasi tanpa kotak” itu tidak benar-benar bisa dijalankan. Lihat saja, ketika dihadapkan kepada sebuah masalah, sangat lazim kita terbawa untuk memandangnya dari dikotomi baik-buruk, kawan-musuh, pria-wanita, kaumku-kaummu, dan sebagainya. Tapi, dalam film-film Studio Ghibli, imajinasi tanpa batas itu bisa menemukan berbagai bentuk. Lihatlah jenis alam yang dijanjikan dalam Nausicaa and the Valley of the Wind, atau banjir bandang dalam Ponyo on the Cliff yang tidak hanya masif dalam skala tapi juga masif dalam dampaknya (mendatangkan makhluk-makhluk purba), atau silang-sengkarut perang dalam Howl’s Moving Castle. Bahwa kita masih mudah terkejut saat menyaksikan yang seperti ini–itu sebuah bukti bahwa Studio Ghibli mampu memberikan apa yang tidak lazimnya ada di imajinasi kita. Berpikir di luar kotak tidak hanya menjadi klise bagi Studio Ghibli, tapi dia adalah nadi.

Tentu masih banyak yang bisa didiskusikan dan film-film Studio Ghibli. Sebut saja visi feminisnya, visi ekologisnya, dan tensi antara nilai-nilai tradisi dan modernnya. Semoga waktu yang sangat singkat ini bisa sedikit menyentuh soal-soal itu. Kalau tidak, harapan saya perbincangan hari ini bisa membuka saja upaya kita bertungkus-lumus dengan film-film Studio Ghibli. Saya masih punya obsesi untuk membuat acara-acara disusi lagi tentang film-film Studio Ghibli melibatkan mahasiswa-mahasiswa di Sastra Inggris Universitas Ma Chung. Banyak dari mereka yang sudah lama menonton film-film ini (jauh sebelum saya). Dan baru semester kemarin mereka belajar tentang Sastra Populer, di mana mereka mengenali dan mendalami elemen-elemen yang menjadikan genre-genre karya tertentu populer–selain juga tentang potensi-potensi ideologis dan politis dalam karya-karya sastra populer–yang justru seringnya dianggap apolitis itu. Saya yakin dengan itu mereka bisa melakukan apresiasi yang pantas untuk karya-karya Studio Ghibli yang telah berhasil membuat kita terbawa, tersentuh, terbius, dan harapannya tergerak.

Maka, anggaplah acara diskusi hari ini sebagai sapaan awal dan ya itikad baik saya (dan harapannya kami semua para pendukung acara ini) untuk memberikan penghargaan yang semestinya atas karya-karya yang telah memberi kita hiburan itu.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *