Berikut ini adalah blogisasi dari serentetan twit saya tentang novel If I Should Speak karya Umm Zakiyyah yang cukup populer di kalangan tertentu di antara para Muslim Amerika:
Tiba saatnya nulis catatan untuk novel If I Should Speak karya Umm Zakiyyah (aka Ruby Moore). Novel ini sukses dan cukup dihormati. Novel berkisah ttg 3 mhasiswi yg berbagi aprtmen: 1 kristen dan 2 muslim (1 hijabi taat dan 1 “longgar”). Diskusi lintas agama sgt kental. Argumen saya: tema Islam relatif aman2 saja tapi eksplorasi tema dan karakter cukup bernuansa dan “dialogis/novelistis” (scr Bakhtinian).
Si mahasiswi Kristen taat (afro-amerika) kena masalah krn rasisme dan kemalasan mantan teman sekamarnya (kulit putih). Lihat roommate barunya sholat, dia tertarik & tergerak utk nulis ttg Islam (dlm kelas world religion). Buntutnya: konflik spiritual. Saat wawancara roommate-nya, dia mulai banding2kan spiritualitas si Muslim dan spiritualitas keluarganya sendiri yg sangat taat. Pemahaman awalnya tentang Islam (yg sekadar opresif thd perempuan dan teroris) pun berubah sedikit demi sedikit.
Menurut Bakhtin, sastra pasca-epik memiliki kualitas yg dia sebut “kenovelan” atau “kebaruan” (atau “novelistis”) yg dicirikan dg adanya berbagai suara, berbeda dg epik di mn hanya ada satu kebenaran (pengagungan pahlawan/bangsa). Sastra pasca-epik memberi suara kpd berbagai versi kebenaran (meski srkl ujungnya mendukung 1 kebenaran trtentu). Tp,plg tidak, ada usaha mewakili berbagai kebenaran. Novel, mnrt Bakhtin, adalah jenre sastra yg paling “novelistis” (yg plg bukan epik). Maka, saat novel yg dahsyat adalah novel yg menggunakan segenap potensinya utk mengeksplorasi bbg kebenaran (mis. Dostoevsky, yg Kristiani tp ampuh mengeksplorasi penyimpangan2).
If I Should Speak menggunakan potensi ini dlm mengeksplorasi kebenaran versi Kristen dan Islam. Tdk cuma itu, novel ini jg melihat dr sudut pandang “muslim longgar” (lapsed muslim) dan “muslim ekstrimis.” Masing2 mendapatkan suaranya. Yg kontraproduktif thd “dialogisme” novel ini adalah, sayangnya, adanya satu keputusan akhir yg terasa sangat menyodorkan 1 kebenaran.
Bagaimanapun, utk konteks Amerika, di mana landasan budaya Islami blm benar2 terbangun, novel ini bs menyumbang dlm konteks pedagogi. Dan, dari perspektif pasca-9/11, di mana muslim sering menjadi sasaran sah xenophobia, novel ini bs dihargai sbg sastra perlawanan.
Dr sudut pandang sastra sbg bagian dr ilmu humaniora/liberal arts, sayangnya, novel ini “bertentangan” dg gagasan “novel” itu sendiri yg sejak awalnya adalah satu genre yg benar-benar sekuler, dilandasi spirit pemisahan antara gereja dan negara, umum dan pribadi. Makanya, akhir2 ini muncul kritikan yg memarjinalisasi karya sastra spt ini sbg “halal literature,” dlm konteks Indonesia: sastra Islami.
Sekian catatan hari ini. Semoga tidak lupa. Silakan baca dan nilai sendiri If I should Speak karya Umm Zakiyyah.