Tentang Kutipan dan Mendukung Argumentasi

Misdi: Sas, kemarin itu aku diskusi sama temanku tentang sst ssst sst ssst (dia membisikkannya ke telinga Sastro, sehingga tidak ada yang bisa mendengarnya, termasuk kita)

Sastro: Menarik juga itu pendapatnya. Aku juga pernah dengar soal–

Misdi: Jangan keras-keras. Jangan sampai didengar orang.

Sastro: Oke-oke. Aku pernah dengar soal itu.

Misdi: Tapi ada juga yang membalas, Ustadz sst ssst. Katanya sst ssst sst ssst…

Sastro: Dasarnya apa?

Misdi: Beliau mengutip dari sini katanya begini, terus dari situ katanya begitu.

Sastro: Sebentar-sebentar. Pertama-tama, aku hanya bisa bilang kalau aku tidak akan membahas esensi diskusinya. Aku tertarik dengan gayanya mendukung argumentasinya dengan kutipan sst ssst sst ssst itu.

Misdi: Kenapa? Sumbernya ndak kredibel ya?

Sastro: Bukan begitu. Kalau menurut pelajaran menulis di kampus kita, kutipan itu gunanya bukan untuk mendukung argumentasi. Hmm… gimana ya? Sori kebalik. Maksudku, mendukung argumentasi itu tidak hanya dengan kutipan saja. Iya, begitu. Aku ulangi lagi: mendukung argumentasi itu semestinya tidak hanya dilakukan dengan kutipan.

Misdi: Lha terus?

Sastro: Iya, kutipan itu bisa mendukung argumentasi, tapi bukan berarti setelah diberi kutipan sebuah argumentasi itu dengan serta-merta solid dan tidak bisa disangkal lagi. Argumentasi itu didukung dengan ide yang disampaikan secara logis. Nah, kutipan itu kadang-kadang bisa kalau dia bisa menangkap ide dan keseluruhan logika yang dibutuhkan untuk sebuah argumentasi.

Misdi: Oke-oke. Terus.

Sastro: Nah, kutipan itu sendiri–Begini, menurut buku menulis yang aku pelajari, kutipan itu salah satu cara menyampaikan omongan orang kepada audiens kita. Cara satunya lagi adalah parafrase. Nah, kutipan itu sendiri sangat dianjurkan kalau memang ucapan sumber kita itu sangat khas, layak diingat, kuat, dan efektif. Argumentasinya sendiri tidak dengan serta-merta langsung kuat begitu ada kutipan. Dia akan kuat bila ide dari sumber bisa disampaikan dengan logikanya yang jelas.

Misdi: Oke-oke. Kira-kira aku tahu ke mana arahnya.

Sastro: Jadi, kalau kutipan itu langsung saja dilemparkan tanpa didukung dengan konteks ide dari mana kutipan itu diambil, kalau kutipan itu tidak disertai garis besar dan konteks tulisan atau sumber asal kutipan tadi, maka itu bisa dibilang “tebang pilih.” Namanya tebang pilih, bisa jadi bagus atau jelek. Yang pasti kita yang tidak ikut menebang–atau audiens sebuah tulisan–tidak akan pernah tahu apakah itu bagus atau jelek.

Misdi: Jadi apa gampangannya begini: Tak cuma kata-katanya yang penting, tapi juga konteks yang melingkupi kata-kata itu, bagaimana penulis/pembuat sumber kita itu akhirnya bisa sampai ke kata-kata tersebut. Iya, kan?

Sastro: Wah, malah lebih gampang kamu kalau menyampaikan.

Misdi: ?

Sastro: Iya. Omong-omong, gaya seperti itu juga yang sebenarnya dipakai Islamofob untuk memojokkan Islam. Mereka suka mengambil satu ayat dalam Alquran yang kalau dibaca sekilas bisa berarti menyuruh Muslim melakukan hal-hal negatif ini atau itu.

Misdi: Menggunakan ayat di luar konteksnya.

Sastro: Ya, padahal kalau kita lihat runtutan ayat-ayat yang sebelumnya dan sesudahnya, dan mungkin konteks turunnya ayat itu berdasarkan sumber-sumber hadits, sebenarnya perintah itu bisa dijustifikasi pada masa yg diacu dalam ayat tersebut.

Misdi: Hm… Lho?

Sastro: Ya, Mis. Di situlah uniknya, seringnya tanpa sadar orang-orang Islam sendiri menggunakan kutipan tidak dengan semestinya untuk menyampaikan argumentasi yang menyudutkan orang mempraktikkan agama Islam dengan cara berbeda dengan dia.

Misdi: Wah. Jadi?

Sastro: Ya, Mis. Jadi–

Misdi: Jadi–

Sastro: Jadi begitulah…

Misdi: Kalau soal jawaban atas isu sst ssst sst ssst ini tadi?

Sastro: Lha, ya itu. Aku coba kita periksa apakah argumentasinya didukung dengan semestinya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *