Jalannya pelan-pelan dan agak membungkuk. Posturnya terbilang pendek, bahkan mungkin sedikit lebih pendek dari saya. Dari wajahnya tampak bahwa usianya sudah di atas enam puluh tahunan. Sebagian besar rambutnya tertutup topi bisbol yg sangat melandai nyaris jadi seperti kabaret. Dari bagian yang tak tertutup topi, terlihat rambutnya keriting sangat tipis, terlihat juga sedikit uban.
“Permisi,” dia menyambut tatapan saya, suaranya parau. “Bis di sini jalan sampai jam berapa?”
“Bis?” memastikan yang saya dengar–bisa jadi saya salah dengar karena volume suaranya tidak cukup tinggi, ada sedikit cita rasa unik dalam bahasa Inggrisnya. “Kalau di minggu final seperti sekarang, sepertinya sampai jam enam.”
“Begitu?” tanyanya seperti melamun.
“Anda mau naik bus yang apa?”
“Bis secara umum saja,” katanya.
“Tunggu sebentar, biar saya lihat dulu di situsnya bis kampus,” kata saya langsung menghunus handphone dan mencari jadwal bis.
“Saya cari tempat nge-charge HP dulu ya,” kata bapak.
“Pakai yang itu saja, Pak,” saya menunjuk colokan listrik di bagian dinding langsung bertemu dengan lantai.
“Itu bisa dipakai?” dia agak ragu. Memang colokan itu terlihat agak kurang terawat.
“Iya, Pak. Sedari pagi saya ngetik di sini, pakai colokan itu,” kata saya sambil menggulung kabel laptop biar rapi saat masuk kantong samping tas. “Silakan duduk, Pak. Eh, ini dia.”
“Apa?”
“Beberapa bis jalan sampai jam 10 malam ini,” kata saya. “Bis Biru, Merah, Hijau, Ungu.”
“Terima kasih,” si bapak mulai meletakkan tas plastik putih bergambar celeng merah, maskot universitas. Biasanya tas plastik seperti itu berisi barang belian dari toko buku yang juga jual cinderamata kampus.
“Anda berkunjung dari mana?” kata saya sambil memasukkan handphone ke saku. Dari aksennya, saya mendapat kesan dia berasal dari Afrika Barat, tapi saya tidak yakin. Bisa saja dia orang Afro-Amerika yang karena satu lain hal artikulasi bahasa Inggrisnya jadi terkesan beraksen asing.
“Saya dulu lulus program doktoral dari kampus sini tahun 85,” kata dia sambil tersenyum bangga. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi masih sibuk mencari sesuatu dari tas plastik putihnya–mungkin mencari charger.
Dia keluarkan kain hitam, seragam wisuda, jubah wisuda. Dia tarik satu tinggi-tinggi seperti memastikan panjangnya.
“Tapi waktu mau upacara wisuda, saya sakit, sakit kepala parah sekali, akhirnya saya tidak bisa ikut wisuda.”
“Sayang, ya, Pak?”
“Makanya ini saya kembali lagi setelah 31 tahun, mau ikut wisuda,” kata dia, senyumnya lebih lebar lagi. “Ya, buat memori lah, sebelum mati, biar orang-orang di tempat saya tahu kalau saya pernah kuliah. Hehehe.”
“Hehehe,” saya nyengir. Beberapa hari sebelumnya saya sudah sempat membatalkan ikut wisuda. Semacam ada beban ikut upacara wisuda sementara skripsi saya belum selesai. Tapi akhirnya saya hubungi kembali kantor yang mengurusi wisuda untuk membatalkan pembatalan saya. Memang, bagi saya tidak ada yang terlalu penting dari upacara wisuda. Bagi saya. Kalau pun ada artinya, mungkin hanya sebagai bukti bahwa saya termasuk orang yang kebetulan beruntung bisa sekolah terus. Tapi di sisi lain saya ingin juga berfoto dengan anak saya dan memberinya memori tentang bapaknya yang pernah pontang-panting kuliah sampai wisuda. Siapa tahu dengan begitu dia kelak ikut tergerak untuk terus belajar. Seperti sekarang dia tergerak ingin diulangtahuni seperti teman-temannya yang suka mengundang dia–padahal sejak awal saya mencoba menghindarkan keinginan berpesta yg seperti itu.
“Asal saya dari Nigeria,” katanya. Saya langsung bersorak, tidak salah-salah betul. “Saya dulu kuliah jurusan Matematika di sini.”
“Tahun 85 ya lulusnya?” sekadar mengisi kekosongan. “Jadi Bapak sekarang datang langsung dari Nigeria buat ikut wisuda?”
“Tidak, saya tinggal di St. Paul, Minnesota,” katanya, sambil mengeluarkan kabel charger dari tas sampingnya. “Tiga puluh satu tahun.”
“Pasti sudah sangat banyak ya perubahannya ya di kampus ini?” sulit saya bayangkan kampus ini sebelum ada handphone. Sebelum ada internet.
“Anda dari Taiwan?” tanya dia ke saya, dan bukan pertama kalinya saya mendapat pertanyaan seperti itu.
“Dari Indonesia, Pak,” jawab saya bangga.
“Saya dulu punya teman dari Taiwan tahun 85 itu,” katanya. “Orangnya baik, tapi dia didepak dari kampus.”
“Kenapa?” tidak mudah membayangkan rasanya datang jauh-jauh untuk kuliah tapi kemudian mengalami seperti itu, meskipun saya sendiri tahu satu-dua orang yang mengalaminya.
“Saya tidak tahu,” katanya. “Dia kuliah jurusan Matematika, terus didepak dari kampus…”
Tidak bisa tidak, saya teringat seorang kawan, mahasiswa doktoral sebuah jurusan di bidang humaniora yang dipersulit profesornya saat mempersiapkan proposal riset, padahal saya tahu pasti dia pekerja dan pemikir keras, yang beberapa tahun saja di sini ubannya sudah semakin rata. Teringat juga seorang kawan lain yang jauh-jauh datang dari negaranya untuk program doktoral, kuliah di sebuah kampus di Utara, terus pindah ke kampus ini mengikuti dosennya, dan kemudian keterlibatannya dalam riset profesornya bermasalah, hingga akhirnya dia terpaksa meminta diluluskan. Kedua teman itu harus rela lulus dengan program master, yang sebenarnya sudah mereka miliki dulu-dulu, padahal niatnya ke mari untuk mengambil gelar doktoral. Memang, kalau dipikir-pikir masih gelar magister pun masih harus disyukuri. Tapi kalau membayangkan menghabiskan waktu tiga tahun untuk sesuatu yang tidak kita inginkan, tidak sampai hati rasanya.
Tapi saya juga ingat seorang kawan yang sama-sama pekerja kerasnya, sama-sama mahasiswa asingnya, dicintai dan dipermudah urusannnya oleh profesornya, dan lulus cepat, tiga tahun setengah sudah dapat gelar doktor. Ah–
“Terima kasih, ya?” kata bapak tersebut membuyarkan lamunan saya.
“Mari, Pak?” saya segera undur diri, berjalan sedikit, dan menoleh dramatis ala Dian Sastro. “Selamat, Pak, atas wisudnya yang tertunda, 31 tahun.”
Dan saya kembali berjalan menapak dunia, optimis, tapi murung ala Nicholas Saputra.