Akhirnya datanglah kesempatan untuk jalan-jalan ke satu lagi tempat baru di Indonesia. Kali ini perjalanannya ke Lombok, berkat kebaikan Transbahasa dan jajaran pimpinannya. Lebih tepatnya, tujuan utama dari kunjungan kali ini adalah Gili Nanggu, sebuah pulau kecil di dekat kawasan Sekotong Barat, Lombok Barat. Saya akan coba menuliskan sebanyak mungkin tentang perjalanan ini, tapi kali ini saya pingin cerita satu hal dulu, tentang “bagar” untuk menjaring ikan teri.
Etape terakhir kami sebelum mencapai pulai Gili Nanggu adalah perjalanan perahu motor dari kawasan Sekotong Barat di dekat Pantai Tawun Berugak. Sebelum menyeberang, ketika selesai urusan tawar-menawar perahu, Kiki dan Ella, anggota rombongan yang berperan sebagai panitia perjalanan, membeli beberapa ekor ikan bakar berekor hijau. Ibu penjualnya menyebut ikan-ikan ini “ikan ayam-ayam.” Kami membeli beberapa ekor untuk makan kami malam itu. Dan kami juga membeli degan, kelapa muda, mungkin dengan harapan melengkapi “adegan pantai” kami.
Selanjutnya rombongan kami naik tiga perahu motor, satu perahu kayu dan dua lagi perahu fiber. Saya naik perahu yang dari kayu, namanya Sunset. Sopir kami adalah pemuda yang usianya saya perkirakan tak lebih dari dua puluh tahun, namanya Rian. Belakangan, Rian mengatakan kepada kami bahwa Sunset adalah satu-satunya perahu kayu milik perusahaan wisata tempatnya bekerja–perahu ini yang paling tua. Tapi, perahu yang paling tua ini dilengkapi dengan mesin Suzuki yang paling muda.
Perjalanan menuju pulau Gili Nanggu memakan waktu kurang lebih 15 menit di atas laut dangkal yang ketika itu gelombangnya tenang. Laut berangsur-angsur meningkat dari biru terang ke biru gelap dan kehijauan. Ketika belum terlalu jauh perahu berjalan, saya memperhatikan semacam konstruksi bambu di atas air. Konstruksi bambu itu sekilas mirip wahana pendaratan di bulan atau Mars. Di puncaknya ada bendera Indonesia, yang dari kejauhan terlihat robek. Sekadar mengingatkan, saya dibesarkan di masyarakat agraris yang sangat tidak akrab dengan kehidupan nelayan dan budaya pesisir. Saya sama sekali tidak tahu apa itu. Untungnya saya sudah membuka perkenalan dengan Rian, sopir perahu kami.
Sependengaran saya, Rian mengatakan bangunan itu bernama “bagar.” Katanya, bangunan itu dipakai untuk mencari ikan-ikan kecil. Kalau hari sudah gelap, jaring yang ada di tengah-tengah bangunan itu akan diturunkan. Dan di atasnya akan dinyalakan lampu besar untuk mengundang ikan-ikan. Esok paginya, jaring akan diangkat dan ikan-ikan kecil pun akan tertangkap.
Awalnya, saya mengira ikan-ikan kecil yang dimaksud Rian adalah ikan-ikan semacam pindang, atau istilahnya di Banyuwangi “lemuru.” Mestinya, kalau dibandingkan dengan ikan “ayam-ayam” (atau juga disebut ikan “jago-jago”) yang seukuran lengan bawah saya, ikan pindang pasti terbilang kecil. Tapi, dalam kesempatan lain memakai kapal Sunset, saya berbincang dengan Pak Raili, seorang bapak yang bertugas menemani Rian dalam perjalanan ke pulau-pulau lain dengan rombongan kami. Pak Raili menjelaskan bahwa “bagar” itu dipakai untuk menangkap ikan teri! Ah, ini dia ikan kecil-kecil yang dimaksud. Dan ternyata jauh lebih kecil dari ikan pindang yang ada di pikiran saya.
Dari Pak Raili, saya tahu lebih banyak tentang “bagar.” Ternyata, bagar di Sekotong ini tidak terpancang ke dasar laut. Konstruksi bambu ini mengapung-apung dan hanya distabilkan dengan jangkar. Pada waktu-waktu tertentu, “bagar” akan dipindah ke lokasi lain yang lebih banyak ikannya.
Meskipun bagi saya terlihat besar, ternyata “bagar” di perairan Sekotong ini sebenarnya kecil. Kata Pak Raili, “bagar” di Sumbawa lebih besar. Kalau “bagar” di Sekotong ini biasanya dibuat dengan biaya sebesar 26-30 juta, bagar di Sumbawa bisa membutuhkan biaya pembuatan ratusan juga. Tapi tentu saja dengan hasil yang lebih banyak.
Saya langsung teringat film Didi Petet berjudul Jermal yang saya tonton beberapa tahun lalu. Di situ, karakter yang diperankan Didi Petet tinggal di jermal dan tidak pernah ke darat karena satu masalah di masa lampau. Awalnya si tokoh tinggal sendirian di jermal itu, tapi kemudian dia ditemani seorang anak kecil yang ternyata adalah … (silakan tonton sendiri film tersebut untuk lebih jelasnya). Apakah yang dimaksud Pak Raili dengan “bagar Sumbawa” itu konstruksi sebesar jermal di film Didi Petet itu?
Belakangan, ketika bisa lagi konsultasi dengan Google, saya kesulitan mencari informasi tentang “bagar” untuk menjaring teri. Yang ada justru “bagar ikan hiu,” yang adalah sejenis kuliner. Setelah melebarkan istilah pencarian dan lebar-lebar membuka hati, akhirnya saya temukan bahwa dalam bahasa Indonesia, konstruksi bambu ini disebut “bagan.” Sekarang, saya agak ragu, apakah “bagar” itu istilah wahana ini dalam bahasa Sasak, ataukah waktu itu saya salah dengar (karena dikacaukan oleh kecipak ombak dan deru mesin tempel Suzuki)?. Tapi, apapun namanya, yang jelas saya yang sejak kecil sudah kenal ikan teri ini akhirnya jadi bahagia bisa tahu dari mana asalnya teri.
Dari mana asalnya teri? Dari bagan/”bagar” naik ke botok.