(Ini materi eksplorasi tema yang saya sampaikan dalam acara Pelatihan Penulisan Esai Tingkat SLTA yang diadakan oleh Balai Bahasa Jawa Timur bekerja sama dengan Pelangi Sastra Malang. Saya posting di sini saja, siapa tahu berguna buat siapa saja yang kesasar :D.)
Satu hal yang seringkali membuat orang takut atau malas menulis adalah pikiran “tidak tahu apa yang harus dituliskan” atau “terlalu banyak yang ingin dituliskan tapi tidak tahu bagaimana mulai menuliskannya.” Inilah uniknya urusan menulis, kekurangan bahan maupun kelebihan bahan bisa mengakibatkan orang malas menulis. Tentunya banyak hal lain juga yang membuat orang tidak jadi menulis, misalnya terlalu sibuk membalas pesan WA dari teman, atau terlalu resah karena cowok/cewek sasaran belum memberikan jempol atau hati untuk postingan Facebook, atau karena repot membersihkan sepeda gunung. Tapi mari kita lupakan soal hambatan menulis karena factor-faktor lain itu, dan mari kita fokuskan perhatian ke strategi mengatasi kekurangan bahan atau kelebihan bahan dalam menulis. Kata kuncinya kali ini adalah “heuristik.”
Seperti disinggung di atas, hambatan menulis yang pertama adalah kurangnya bahan. Hal ini sangat wajar, karena menulis bukan hanya soal menuangkan gagasan ke atas kertas atau mengetikkan gagasan ke aplikasi pengolah kata. Menulis juga soal mencari bahan untuk dituliskan. Richard M. Coe, ahli ilmu kepenulisan asal Amerika Serikat, mengatakan bahwa bagi penulis berpengelaman pun waktu yang dibutuhkan untuk mencari data bisa sebanyak waktu menuangkan gagasan. Jadi, kalau kita malas atau takut menulis karena “tidak tahu apa yang harus dituliskan” atau “tidak tahu bagaimana mengawalinya,” maka itu wajar saja. Penulis berpengalaman pun mengalaminya. Mungkin bedanya mereka punya strategi yang selalu bisa diandalkan untuk mengatasinya. Dan heuristik adalah adalah solusi terukur untuk masalah yang wajar ini.
Begitu juga dengan masalah lain, yaitu ketika kita sudah punya terlalu banyak bahan sampai-sampai tidak tahu bagaimana harus memulainya? Ini juga hal yang lazim terjadi, terutama bila pencarian bahan dilakukan ketika si penulis belum benar-benar tahu tulisan seperti apa yang ingin dia hasilkan. Di sinilah dibutuhkan heuristik yang bisa membantu kita memilah bahan-bahan yang sudah menggunung itu untuk mendapatkan yang paling relevan untuk dituliskan. Nah, bila heuristik ini dipakai sejak awal, bahkan penulis bisa lebih mengefektifkan waktunya dan bisa menghindari penumpukan bahan yang nantinya tidak akan digunakan.
Terus, binatang macam apa “heuristik” ini? Dalam ilmu eksakta, “heuristik” adalah serangkaian langkah-langkah pemecahan masalah yang bisa dipakai secara berulang-ulang. Istilah lain dari “heuristik” adalah algoritma. Buat yang tertarik dengan sejarah Islam, asal usul dari algoritma ini bisa dirunut sampai ke matematikawan bernama Muhammad Ibn Musa Al-Khawarizmi. Di dalam ilmu kepenulisan, gagasan yang serupa dengan algoritma ini lebih dikenal dengan istilah “heuristik” yang berasal dari bahasa Yunani “heurisken” yang berarti “menemukan, menggagas, memperoleh, mendapatkan, dsj.”[1] Di sini, heuristik mengacu pada strategi-strategi yang bisa dipakai penulis secara berulang-ulang setiap kali mendapat “masalah,” yang dalam hal ini adalah tugas menulis. Sebagian dari heuristik ini sudah dikenal luas, meskipun tidak dengan nama “heuristik.” Misalnya adalah “strategi 5W+1H” yang sudah masuk dalam kurikulum Bahasa Indonesia di sekolah menengah. Di bawah akan saya singgung bahwa “strategi 5W+1H” ini hanya satu perwujudan dari sebuah heuristic yang lazim.
Untuk kebutuhan menulis esai bertema “kearifan lokal,” ada dua heuristik yang bisa membuat proses pencarian data kita lebih efektif: Heuristik Pertanyaan dan Pentad Burke. Kedua strategi ini memiliki keunggulannya sendiri-sendiri. Heuristik Pertanyaan bersifat lebih luwes dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan penulisan, sementara Pentad Burke bisa membuat eksplorasi topik kita lebih mendalam. Untuk lebih memaksimalkan penggunaannya, akan sangat bagus bila sejak awal kita sudah bisa memutuskan (meski secara kasar) bentuk tulisan seperti apa yang akan kita buat: argumentasi, definisi, komparasi, deskripsi, deskripsi proses, dsb. Selanjutnya, mari kita eksplorasi kedua heuristik itu secara singkat, padat, dan penuh semangat.
Heuristik Pertanyaan
Sesuai namanya, heuristik ini berkutat pada pembuatan pertanyaan-pertanyaan yang paling wajar diajukan sesuai dengan kebutuhan penulisan. Untuk lebih menekankan, setiap tujuan penulisan membutuhan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Saat kita ingin menulis sebuah esai yang bersifat deskriptif, maka si penulis perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti a) apa, b) siapa, c) di mana, d) kapan, e) bagaimana. Atau, untuk topik-topik tertentu, deskripsi mengharuskan si penulis bertanya menambahkan pertanyaan f) mengapa. Mengapa si penulis mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini? Jawabnya sederhana: karena hal-hal itulah yang akan ditanyakan oleh seorang pembaca saat menghadapi sebuah teks yang ingin mendeskripsikan sesuatu.
Tapi, daftar pertanyaannya tidak terbatas pada enam contoh pertanyaan di atas. Penulis bisa mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain tergantung tujuan atau topik yang ingin dia kerjakan. Mari kita eksplorasi lebih jauh. Bila kita ingin menulis tentang sebuah pertunjukan, misalnya kuda lumping, untuk tujuan mengapresiasi/mengkritiknya, maka pertanyaan-pertanyaan yang bisa kita ajukan antara lain adalah
- siapa pemainnya,
- di mana ditampilkan,
- apa ceritanya,
- apa kelebihannya,
- apa kekurangannya,
Atau, bila yang ingin membuat esai perjalanan tentang sebuah tempat rekreasi, misalnya Coban Glotak, kita bisa mengajukan pertanyaan seperti:
- apa namanya,
- apa fasilitasnya,
- di mana lokasinya,
- bagaimana mencapainya,
- berapa bayarnya,
Daftar pertanyaan ini tak terbatas, sekali lagi, sesuai dengan tujuan penulisan dan topik yang ingin dieksplorasi. Tapi, intinya adalah, kita perlu menyusun pertanyaan-pertanyaan mengenai hal-hal yang ingin diketahui orang tentang topik-topik kita. Dengan berbekal pertanyaan ini, bahkan kita bisa menggiring pembaca sejak awal, misalnya dengan cara mengindikasikan sejak paragraf-paragraf awal bahwa yang akan kita bahas dalam esai kita adalah hal-hal tertentu saja.
Bagaimana bila kita sudah memiliki banyak bahan? Dalam keadaan tersebut, yang harus kita lakukan adalah menentukan daftar pertanyaannya dan selanjutnya kita mulai memilah bahan-bahan yang ada untuk menjawab daftar pertanyaan tersebut. Setelah itu, kita bisa melanjutkan penulisan dengan berbekal daftar pertanyaan dan jawaban-jawaban yang kita dapatkan tersebut. Kita akan sejenak melupakan (atau menganggap tidak ada) bahan-bahan lain yang sudah menggunung. Biasanya yang seperti itu bisa disebut data mentah, dan seperti halnya bahan makanan yang bisa membusuk, data mentah juga bisa basi dan tidak relevan lagi kalau dibiarkan terlalu lama. Idealnya, begitu ada kesempatan, data mentah itu bisa diolah untuk menjadi bahan tulisan yang lain.
Sebelum kita lanjutkan ke heuristik yang kedua, silakan Anda coba buat daftar pertanyaan bila ingin mengulas tentang 1) situs Watu Gong, 2) Abah Anton, 3) Hutan Kota Malabar, 4) Taman Bugar Merjosari, dll.
Pentad Burke
Pentad Burke adalah strategi pencarian bahan untuk tulisan yang digagas oleh filsuf dan retorikawan Kenneth Burke (1897-1993). Sesuai namanya (“pentad” berarti “lima bagian”), strategi Burke ini terdiri atas lima bagian, yaitu a) aksi, b) latar, c) agen, d) agensi/peranan, dan e) tujuan. Masing-masing bagian ini pada gilirannya akan menghasilkan poin-poin yang perlu dicari seorang penulis. Tujuan akhir dari penelusuran atas kelima elemen ini adalah memahami motivasi di balik sebuah peristiwa—dan motivasi ini tentunya berbeda dengan niat pelaku peristiwa, yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah. Meskipun pada awalnya banyak dipakai untuk menganalisis karya sastra, terutama teater, Pentad ini bisa menjadi strategi yang sangat tangguh untuk berbagai fenomena, terutama bila hasil akhir yang diinginkan adalah penjelasan mengenai motivasi yang menggerakkan terjadi sesuatu. Untuk lebih jelasnya, mari kita telaah kelima bagian ini satu per satu.
Elemen pertama, yaitu aksi, harus diidentifikasi terdahulu sebelum kita mencari informasi mengenai yang lain-lain. Di sini, aksi menyoroti sebuah kejadian, gagasan, atau fenomena. Fenomena ini tidak hanya menyangkut apa yang tersirat dan tersurat, tapi juga apa pendapat si penulis sendiri tentang fenomena tersebut. Dengan perkataan lain, di bagian ini penulis menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti a) apa yang terjadi? b) apa makna di balik kejadian ini? dan c) apa pendapat saya tentang kejadian ini? Apakah ini baik, membosankan, asyik, melenakan, dll.?
Selanjutnya, di bagian latar, si penulis perlu menelusuri segala hal yang ada di sekeliling kejadian tersebut, baik secara ruang maupun waktu. Di sini penulis diharap menelusuri pertanyaan-pertanyaan seperti a) di mana kejadian ini, b) kapan terjadinya, c) seperti apa lingkungan sosialnya, d) apa yang terjadi sebelum atau sesudahnya, dsb.
Untuk elemen ketiga, yaitu agen, seorang penulis akan mencari informasi yang relevan mengenai individu-individu yang ada di sekitar kejadian itu. Penulis perlu mengetahui a) siapa pelaku kejadian tersebut, b) siapa orang-orang yang membantu si pelaku dalam mengerjakan ini, c) siapa orang yang menjadi lawan atau saingan si pelaku, d) untuk siapa pelaku melakukan sesuatu, dll. Bila topik yang ingin ditulis adalah misalnya terjadinya kampung warna-warni, maka penulis perlu mengetahui siapa penggagasnya, siapa saja yang membantu si penggagas mewujudkannya, siapa orang yang mempengaruhi si penggagas, siapa masyarakat yang kampungnya dijadikan kampung warna-warni ini, dsj.
Terkait bagian keempat, yaitu agensi atau peranan, penulis perlu menelusuri proses terjadinya sesuatu tersebut. Di sini, penulis hendaknya menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana sesuatu terjadi, apa saja sarana-prasana yang memungkinnya terjadi. Agensi bisa juga mencakup sarana tersampaikannya kejadian tersebut, seperti misalnya majalah, televisi, internet, WA bisa menjadi bagian dari agensi ini. Pendeknya, untuk mendapatkan agensi, penulis perlu menjawab pertanyaan seputar “bagaimana.”
Terakhir, yaitu tujuan, bertujuan untuk mengetahui niat dan fungsi dari sebuah kejadian. Bila seorang penulis tertarik untuk menelusuri tentang motivasi di balik kerajinan wayang suket oleh Mbah Jo, maka si penulis harus melakukan wawancara dengan Mbah Jo dan menanyakan apa yang dia niatkan dengan membuat wayang suket tersebut. Di sini, perlu ditekankan bahwa tujuan atau niat berbeda dengan motivasi. Tujuan hanya mencakup maksud dari satu orang atau satu kelompok yang memungkinkan terjadinya sesuatu.
Apapun jawaban yang kita dapatkan dari satu orang atau satu kelompok tersebut hanyalah salah satu elemen untuk memahami motivasi di balik sebuah kejadian. Bukan tidak mungkin seseorang tidak bisa benar-benar bisa menjelaskan mengapa dia melakukan sesuatu, dan bisa saja seseorang itu melakukan sesuatu sebagai sebuah respon atas kejadian lain tanpa benar-benar dia sadari. Di sinilah salah satu seni menulis esai: penulisan ini terkadang bisa berupa usaha kita sendiri untuk memahami sesuatu lebih dari usaha kita untuk menginformasikan sesuatu kepada orang lain.
Sebelum menutup bagian ini, silakan mencoba menjawab motif di balik kejadian-kejadian penting di kota Malang seperti a) Festival Malang Tempo Doeloe, b) Festival Film Malang, c) Demo Angkot, d) berubahnya Coban Rais menjadi wahana selfie, e) dst.
Heuristik Pertanyaan dan Pentad Burke ini hanyalah salah dua dari berbagai strategi pencarian data yang bisa kita latih dan praktikkan. Mestinya, bila kita sudah menginternalisasi strategi ini, eksplorasi bahan tidak akan menjadi monster dalam penulisan esai. Kita tidak perlu terlalu resah saat memulai menulis karena tidak ada bahan atau karena sudah terlanjut banyak bahan. Bila kita sudah menyadari bahwa ada banyak strategi eksplorasi data, maka menulis itu tinggal soal waktu saja: berapa jam waktu yang kita punya untuk menulis? Berapa banyak pesan di WA yang bisa kita abaikan sejenak? Berapa jam waktu ber-Facebook yang bisa kita korbankan? Dan sejenisnya.
Semoga sukses!
Sumber pustaka:
Coe, R.M., 1990. Process, Form, and Substance: A Rhetoric for Advanced Writers. Prentice-Hall.
[1] Dari Process, Form, and Substance: A Rhetoric for Advanced Writers karya Richard M. Coe. Hal. 78.