(Akhirnya, tibalah kembali masa-masa ketika menulis saja adalah sorga–kalau menggunakan istilah andalan Natalie Goldberg. Inilah masa ketika blogger Anda ini bahkan tidak punya waktu yang bisa diluangkan untuk sekadar selonjor dari kehidupan yang melipat-lipat. Tapi, akhirnya datanglah kesempatan itu. Saya ada waktu 15 menit malam ini, dan saya akan menjumpai Anda di sini.)
Banyak orang yang bilang bahwa idealnya, sebuah perjalanan dilakukan tanpa repot-repot dengan tujuan, karena yang berarti adalah perjalanan itu sendiri. Saya bahkan pernah membaca buku yang premisnya begitu, buku Indonesia. Katanya, inti dari sebuah perjalanan adalah perjalanan itu sendiri, dan buahnya adalah penemuan. Begitulah kata buku tersebut. Tapi apakah bisa begitu? Ikhlaskah kita begitu? Melakukan perjalanan dengan mengabaikan tujuan dan memfokuskan pada perjalanan dan penemuan dalam perjalanan tersebut? Jawabannya bisa iya dan tidak. Saya pribadi tidak terlalu memikirkan itu saat berjalan. Tapi, setelah sebuah perjalanan selesai dan mencoba memaknainya, saya menemukan bahwa mungkin saja saya pernah melakukannya. Contoh yang bisa saya ceritakan kali ini adalah perjalanan saya ke Coban Glotak minggu lalu. Ternyata saya benar-benar menjadikan perjalanan itu sendiri sebagai tujuannya, dan saya puas dengannya.
Awalnya, saya tidak benar-benar punya rencana ke Coban Glotak. Saya hanya tahu bahwa saya dan anak saya harus ke luar rumah hari Minggu itu. Saya perlu beli bensin dan dia perlu beli lem Uhu dan plaster luka. Kami pun pergi sekitar jam 11:30. Setelah Lem Uhu dan bensin terbeli, saya dan anak masih malas pulang. Akhirnya saya menyarankan hiking, meskipun terlalu panas. Satu tempat hiking yang sudah cukup lama ingin saya tunjukkan ke anak saya adalah Coban Glotak, yaitu sebuah air terjun di Kecamatan Wagir. “Coban” dalam bahasa Jawa di kawasan Malang ini berarti “air terjun” (saya tidak tahu pasti etimologinya).
Sekali-kalinya saya mengunjungi Coban Glotak adalah dengan Widi, seorang sahabat sejak jaman kuliah, belasan tahun yang lalu. Antara tahun 2001-2004 (saya benar-benar tidak ingat pastinya). Seingat saya, kami ke sana naik motornya Widi (Honda Tiger 2000), menitipkan motor di rumah penduduk, terus berjalan menyusuri kebun kopi, tegal, dan berpapasan dengan anjing petani yang mengagetkan kami, menyusuri kali, dan akhirnya tiba di air terjun yang cukup tinggi. Pendeknya, Coban Glotak ketika itu “hanya” sebuah air terjun yang ada di ujung peradaban di lereng Gunung Kawi.
Setelah menempuh perjalanan lewat kawasan Mergan dan Bandulan, masuklah saya ke kawasan kecamatan Wagir. Kami terus menempuh jalan naik melewat desa Jedong dan sebagainya, hingga akhirnya tiba di desa Dalisodo, di mana jalan meliuk ke kiri dan sedikit demi sedikit mulai berlubang-lubang dan penuh batu meringis tertata. Sejauh itu, saya sangat puas dengan kinerja Belalang Tempur saya (Honda Win 100). Pada tanjakan yang medium, dia dengan gagah mendaki dengan gigi tiga. Pada saat-saat tertentu, ketika saya harus menanjak setelah mengurangi kecepatan karena satu dan lain hal, Belalang Tempur dengan santai mendaki pada gigi dua.
Ketika mulai masuk jalanan yang semakin banyak berlobang dan semakin menanjak, permainan gigi dua semakin menjadi. Ada saat-saat ketika saya benar-benar harus turun ke gigi satu. Kami berpapasan dengan penduduk lokal yang banyak di antaranya memodifikasi motor bebek mereka menjadi semacam trail, dengan spakbor depan mendongak dan roda trail yang mirip seperti tahu seukuran dadu untuk sambal goreng itu. Banyak di antara motor penduduk lokal ini yang tidak berplat, dan mungkin motor-motor ini memang hanya digunakan untuk keperluan ke ladang. Dengan mengendarai Honda Win 100, saya yakin saya cukup bisa melebur dengan penduduk lokal. Paling tidak, saya lebih melebur dibandingkan orang-orang yang datang dengan motor gede semacam CB150R atau bahkan motor trail pabrikan macam KLX dan Viar Cross. Ketika sudah semakin mendekati lokasi, semakin diperlukan persneling satu dan bahkan ditambah permainan kopling untuk meningkatkan RPM. Saya tidak ingat apakah dulu, ketika bersama Widi, jalurnya seberat itu. Mungkin waktu itu beratnya medan tidak terasa karena saya dibonceng Widi naik Honda Tiger 2000–yang kapasitas mesinnya 200% Belalang Tempur.
Sejak jauh dari tujuan, eksistensi Coban Glotak sudah terasa. Berbeda dengan dulu, ketika Widi hanya mengandalkan ingatan pernah diajak lintas alam waktu SMP ke daerah itu, kali ini banyak penunjuk arah menuju Coban Glotak yang membimbing kita hingga ke lokasi. Ada kesan bahwa Coban Glotak sekarang sudah disiapkan untuk dikunjungi orang. Atau mungkin orang lokal ingin Coban Glotak ditemukan orang.
Akhirnya, setelah mengikuti penunjuk arah dan tanya satu kali ke anak-anak lokal (ketika mulai masuk kawasan tegalan), akhirnya tibalah saya ke titik terakhir. Benarlah: ternyata sekarang Coban Glotak sudah mempunyai semacam pintu gerbang dan loket tiket masuk. Ada beberapa bangunan di tengah tegalan yang seingat saya dulu tidak ada. Ada sebuah pos, kawasan parkir mini (mungkin tidak akan muat lebih dari 20 sepeda motor), sebuah toilet, dan bahkan musholla mini. Untuk parkir dan masuk saya dan anak, saya hanya perlu membayar Rp6000. Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30-an, dan anak saya belum makan siang. Saya pun bertanya apakah mereka menjual snack.
“Di bawah nanti ada, Mas,” kata salah seorang petugas parkir.
“Suwun, Pak,” saya separuh tidak percaya. Seingat saya, Coban Glotak dulu ada di tengah hutan dan bukan tempat wisata.
Anak saya berbincang-bincang dengan para petugas parkir yang merokok. Karena merasa kami sudah terlalu jauh dari rumah di Malang, anak saya heran apakah kami masih di Jawa.
“Pak, apa Anda bicara bahasa Jawa?” tanya anak saya.
“Iya, dik. Di sini kita hanya bicara bahasa Jawa dan Inggris,” kata seorang bapak bertopi dan merokok.
“Oh yeah?” seru anak saya.
“Yes, tapi bisanya cuma ‘I love you’ dan ‘No smoking’ saja,” kata bapak itu sambil tertawa. Asap rokoknya kalang kabut di depan wajah ditendang-tendang tawanya.
“Hahaha… Mungkin bapak ngomong ‘I love smoking’,” kata anak saya sambil ngakak.
Setelah cukup guyonan, akhirnya kami pun mulai menuruni jalan setapak. Di situ terlihat bahwa bangunan yang tadinya saya pikir warung itu ternyata toilet, dijaga beberapa perempuan. Saya dan anak terus berjalan, dan anak saya bilang bahwa sepertinya kami pernah ke situ. Saya tidak pernah ke tempat itu selain dengan Widi belasan tahun yang lalu. Ah, mungkin anak saya ingat waktu saya ajak dia dan istri saya (waktu itu langsung setelah menjemput istri saya dari mengajar) ke Coban Pelangi. Pola jalurnya mirip ini. Ada tempat parkir di pinggir jalan, terus kami menuruni ngarai. Agak mirip ini. Bedanya, jalur menuruni ngarai di lembah pelangi terasa hijau pekat karena sedikitnya sinar matahari. Sementara di Coban Glotak ini, jalurnya hijau terang karena vegetasinya bisa dibilang hanya alang-alang, tegalan dan semak.
Tak berapa lama menuruni ngarai, terlihat lah air terjun di kejauhan, di ujung ngarai. Saya dan anak saya langsung berhenti dan memotret-motret karena takjub.
“Untuk apa kita ke sini?” tanya anak saya.
“Hmm,” saya tidak menyangkan mendapat pertanyaan begitu. “Ya, buat melihat air terjunnya, biar melihat alam, mengenali alam.”
“Tapi, kan, ini bukan Angel’s Falls, air terjun tertinggi di dunia yang ada di Venezuela,” katanya.
“Iya, sih, tapi kan ini yang ada di Malang, di dekat tempat kita,” kata saya, masih bingung. “Dan ini juga bagus, dan ayah yakin pasti ada yang kita pelajari di sana nanti.”
Saya jadi terpikir, mungkin semua orang harus mengalami pertanyaan seperti ini. Kenapa kita harus melihat sesuatu? Kenapa kita pergi ke satu tempat? Kenapa? Apakah hanya karena orang lain juga mengunjungi dan memotretnya? Apakah karena kita juga ingin berpoto di tempat itu? Dan seterusnya.
Tak berapa lama kemudian, saya melihat sebuah gubuk. Di sini saya mulai percaya bahwa pak tukang parkir tadi tidak hanya bercanda. Ternyata gubuk itu adalah sebuah warung yang menjual makanan ringan. Penjaganya seorang ibu. Di sebelah warung, yang lokasinya seperti bagian tebing tanah yang dikorek itu, terdapat teduhan dan beberap bangku dan meja. Ternyata warung ini juga menyediakan kopi dan gorengan hangat. Saya beli Nabati buat anak dan “weci” atau “ote-ote” buat saya. Nabati cuma tiga ribu dan weci seribu sepotong. Warung itu terlihat di bagian di mana kita masih bisa melihat air terjun di kejauhan.
Setelah warung itu, kami melanjutkan perjalanan menuruni ngarai, dan kali ini air terjun sudah tidak lagi terlihat. Dia sudah ada di balik lereng bukit. Sementara itu, karena kami sudah semakin menuruni ngarai, mulailah terdengar gemuruh lirih aliran kali yang berasal dari air terjun itu. Perjalanan semakin terasa seperti hiking yang membahagiakan.
Di sini saya mulai terpikir bahwa ada perbedaan antara tempat hiking di Arkansas dan di Malang. Di Arkansas, tempat-tempat tertentu lebih dikenal sebagai tempat hiking, misalnya “Yellow Rock Trail” atau “Fossil Flat Trail” atau “Lost Valley Trail.” Tapi, kalau kita hiking di sana, di satu titik kita pasti akan menemukan sebuah obyek yang menarik, entah itu air terjun, goa, bebatuan, ladang fosil, atau bahkan air terjun di dalam goa. Nah, kalau di Malang beda lagi, kita akan mengenal tempat-tempat seperti Coban Rais, Coban Talun, Coban Pelangi, Coban Glotak dan sebagainya. Kita mengenal tempat-tempat ini sebagai air terjun, tapi pada kenyataannya untuk mencapai ke air terjun yang dimaksud kita masih harus hikin, kadang lebih dari 1 kilometer. Jadi ya, pada intinya sama saja, baik di Arkansas maupun di Malang, semuanya punya sebuah obyek alam yang bagus yang harus ditempuh dengan hiking.
Sejauh ini kita belum sampai di tujuan, yaitu air terjun Coban Glotak, tapi sayangnya waktu menulis saya sudah habis. Saya mungkin akan melanjutkannya kalau waktu menulis itu datang lagi. Tapi, kalau pun tidak, toh saya sudah gugur kewajiban membahas tentang bagaimana sebuah perjalanan itu idealnya tidak perlu terlalu dihantui oleh ambisi mencapai tujuan, tapi justru menjadi perjalanan itu sendiri sebagai tujuan. Bagi saya, perjalanan menuju Coban Glotak itu sendiri sudah membuat saya menemukan banyak hal, tentang perubahan Coban Glotak dari sebuah air terjun tersembunyi menjadi sebuah “obyek wisata” semi mapan, tentang pertanyaan-pertanyaan yang harus saya jawab tentang kenapa kita pergi ke sebuah obyek wisata, dan tentang perbedaan antara tempat-tempat hiking di Arkansas dan Malang. Tapi, pastinya akan tetap menarik juga kalau saya bisa menambahkan apa yang saya temukan di ujung perjalanan saya menuruni Glotak Canyon ini.
Sementara menunggu, silakan berjalan-jalan.