Bahkan Berfoto Pun Kini Berpotensi Merusak

Satu ujaran yang sangat lazim terkait naik gunung dan mencintai alam adalah “Leave nothing but footprints. Take Nothing but pictures.” Maksud dari ujaran ini tentu saja sudah jelas, bahwa saat mengunjungi alam, kita tidak semestinya meninggalkan sampah atau mengambil apapun dari sana. Tapi–seperti biasanya, ada tapi–bahkan ungkapan ini pun saat ini harus kita pertanyakan lagi, khususnya di zaman medsos ini: mengambil foto pun bisa berpotensi merusak alam.

Ternyata, hasrat berfoto kita begitu tak terbendung. Satu hal yang sangat mengagetkan saya ketika pertama kali menyempatkan berwisata mainstream adalah begitu seriusnya keinginan kita untuk befoto. Tempat wisata pertama yang saya kunjungi setelah lima tahun absen dari Indonesia adalah Batu Secret Zoo, yang saya kunjungi tepat pada Tahun Baru Imlek beberapa bulan lalu. Sejak di pintu depan, saya takjub melihat banyak sekali orang memegang tongkat selfie. Begitu memasuki Batu Secret Zoo, di bagian tikus air raksasa (yang dalam bahasa Jawa disebut “wergul”), mulailah terlihat seberapa besar hasrat berfoto kita. Di bagian agak dalam, pengelola Batu Secret Zoo ternyata menyambut hangat hasrat berfoto itu dengan menyediakan sejumlah binatang yang bisa diajak berfoto bareng atau berselfie–tentu dengan membayar.

Apa yang terlihat di Batu Secret Zoo ini sementara saya pakai sebagai penegasan atas maraknya instagram serta banyaknya foto (selfie, pemandangan, binatang, dll) yang diposting di sana. Kalau melihat instagram saja, saya hanya bisa menyadari betapa banyaknya foto dan betapa gemarnya foto di sana. Tapi, saat menyaksikan dengan kepala sendiri bagaimana kejadian sebenarnya di luar, bagaimana bergairahnya orang-orang mengambil foto, saya jadi tahu bahwa ada yang sebenarnya lebih dahsyat dari maraknya instagram itu. Orang bisa mengambil sepuluh foto yang hanya satu di antaranya diposting di instagram atau facebook. Artinya, kegiatan berfoto orang bisa sangat besar.

Yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa hasrat mencari spot yang tak biasa. Tentu orang tidak suka kalau dia hanya mengambil foto dari tempat-tempat yang biasa saja seperti Batu Secret Zoo, sebuah tempat yang bisa dijangkau siapa saja (yang tidak kesulitan mengeluarkan minimal Rp120.000). Hasrat untuk agak berbeda (atau tidak tampil terlalu mainstream) membuat orang mencari tempat-tempat baru yang tidak banyak diketahui orang, atau yang tak biasa. Satu dampak berbahayanya adalah apa yang terjadi di Taman Bunga Mekarsari beberapa tahun yang lalu. Karena hasrat berfoto di tempat yang tidak biasa (yang mirip ladang tulip di Belanda!), akhirnya berduyun-duyun orang mendatangi Taman Bunga Mekarsari, hingga taman bunga itu sendiri menjadi Taman Selfie Mekarsari, yang bunganya rusak terinjak-injak. Hasrat ingin tampil berfoto di tempat berbeda ini ternyata berujung pada kerusakan. Tampil beda ternyata hanya menguntungkan bagi yang tampil, tapi tidak bagi yang lain.

Bagaimana kalau tempat yang tidak mainstream untuk berfoto itu adalah alam yang semestinya dibiarkan liar? Itulah yang akhirnya bisa menghawatirkan. Dan yang lebih membuat kuatir adalah karena kekhawatiran itu sangat masuk akal, dan sudah di depan mata. Hasrat orang untuk berfoto di tempat yang tidak standar ini ternyata direspons oleh mereka yang ingin meraup untung dengan menggunakan alam untuk berfoto. Satu contohnya adalah Coban Rais di Kecamatan Dau, Kota Wisata Batu. Sejumlah bukit di kawasan yang dulunya wana wisata dan bumi perkemahan ini kini telah dan tengah dikembangkan menjadi taman-taman bunga. Meskipun nama resminya taman bunga, tempat ini lebih menyerupai taman foto, karena tampak sekali bahwa orang-orang ke sana lebih untuk berfoto ketimbang menikmati dan mempelajari bunga-bunga. Wana Wisata dan Bumi Perkemahan yang dulunya sangat suwung dan bahkan tidak punya tempat parkir yang permanen itu kini menjadi begitu ramai dengan ratusan sepeda motor datang tiap hari libur. Di sini, orang bisa berfoto pada platform-platform kayu dengan latar belakang perbukitan, persawahan, dan kota Malang di kejauhan. Pendeknya, sejauh ini masih belum mainstream.

Yang semakin menjadikan urusan ini dilematis adalah ketika orang-orang yang datang untuk berfoto itu akhirnya juga ingin ke air terjun Coban Rais di kawasan hutan basah alami itu. Banyak juga pengunjung taman bunga itu yang akhirnya juga pergi ke air terjun Coban Air. Sebagian di antara mereka mungkin memang penggemar naik gunung atau jelajah hutan yang memang suka mengunjungi tempat-tempat alami yang tidak mainstream seperti itu. Tapi, tidak sedikit juga yang sebenarnya mungkin tidak akan ada niat ke sana kecuali memang ingin berfoto tidak biasa. Orang-orang yang berpenampilan lebih mirip untuk berfoto ketimbang naik gunung (baju non olahraga, sepatu jalan ke mal, dan sejenisnya). Orang-orang ini ikut memasuki hutan demi berfoto, melewati jalan yang semestinya harus dijaga tetap alami. Pada jam-jam paling sibuk, ada 10 orang per menit, yang ikut masuk ke dalam hutan. Bila sebuah tempat yang mestinya harus tetap alami demi kelestariannya akhirnya harus didatangi orang sebanyak itu tanpa ada usaha untuk menjaga mana yang harus dilewati dan mana yang bisa dibiarkan, maka yang bisa diharapkan adalah kerusakan. Dan ini benar-benar tidak bisa dilepaskan dari hasrat untuk berfoto.

Bagaimanapun, tentu kita masih perlu mengakui bahwa ini merupakan persoalan yang terbilang kecil. Di banyak tempat, banyak korporasi (baik milik negara maupun swasta) yang mengeksploitasi alam yang berpotensi menyebabkan kerusakna lebih besar. Perusahaan Semen yang saat ini sudah memulai pendirian pabrik di Kendeng dan kawasan perbukitan karst di Rembang dan cekungan air berpotensi menyebabkan kerugian lebih besar buat penduduk kawasan tersebut. Ini masalah yang lebih besar dan perlu diperjuangkan bersama-sama. Tapi, pada tataran yang lebih kecil, pada tataran perseorangan, kesadaran akan hal-hal semacam ini sifatnya wajib. Tanpa kesadaran mendasar bahwa ada hal-hal yang kita lakukan yang berpotensi merusak alam, memperjuangkan hal-hal yang besar akan seperti tindakan kemunafikan.

Jadi, begitulah kiranya, saat ini, bahkan urusan berfoto di alam pun tidak bisa seenaknya kita lakukan. Dan ini bukan persoalan sepele. Di satu sisi hal ini sangat pribadi, tapi di sisi lain hal ini juga berhubungan dengan persoalan yang lebih besar. Tumbuhnya tempat-tempat wisata yang mengeksploitasi hasrat berfoto ini juga sangat dibutuhkan. Untuk kasus Taman Bunga Coban Rais, misalnya, kita lihat bagaimana tempat wisata itu memberikan banyak lapangan pekerjaan. Banyak sekali tukang parkir, tukang ojek, penjual makanan, atau yang lain-lain yang pastinya bisa mendapat berkah dari ramainya Taman Bunga ini. Tapi, kalau yang dipertimbangkan cuma urusan mencari makanan, pastinya alam yang tidak bisa langsung protes itu yang akan kita nomor sekiankan. Masih ada yang belum selesai dipikirkan di sini, sesuatu yang juga mempertimbangkan tidak hanya manusia dan ekonomi, tapi juga alam. Dan dengan hal yang belum selesai ini pula saya akan menutup postingan kali ini.

 

 

 

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *