Ajakan Menilai Sampul tanpa (Harus) Mendengar Isinya

(Jadi, ini postingan terkait diskusi tentang sampul album musik yang diadakan di Kafe Pustaka UM sore ini, Kamis 6 Maret 2017. Diskusi ini disertai pameran sampul-sampul album. Uniknya, selain sampul album ada juga karya-karya dari perupa tersebut yang bukan dibuat untuk tujuan sampul album. Karya-karya non cover itu disebut “karya bebas”–setidaknya itu yang saya tangkap dari penamaan file-file JPG yang saya terima dari Novan Tani Maju. Akhirnya, kesan yang ditimbulkan adalah ajakan untuk–kasarnya–membandingkan antara sampul-sampul album itu dengan “karya bebas” oleh perupa yang sama, atau antara seni terapan dan seni murni. Selanjutnya saya persilakan sidang jamaah blog sekalian membaca, dan kalau bisa hadir di diskusinya nanti sore.)

Peka_KelasKeliling

Saat berhadapan dengan sampul album CD atau kaset, orang yang penasaran akan tertantang untuk memaknainya, menyingkap konotasi di balik tanda-tandanya, dan bahkan menghubungkannya dengan track-track yang ada di album tersebut. Begitulah sepantasnya. Tapi, dalam pameran ini, ketika sampul-sampul album itu disandingkan dengan “karya bebas” oleh perupa yang sama, kita seperti mendapat tugas baru: membayangkan apa yang telah dinegosiasikan oleh si perupa dalam pembuatan sampul album itu. Di sini, kita bahkan boleh menilai sampul sambil melupakan “bukunya.”

Sampul album (yang dalam bahasa Inggris disebut “album art/artwork”) masuk dalam wilayah seni terapan, atau lebih tepatnya desain grafis. Di wilayah ini, karya seni mengemban tugas yang lain, sebagai sarana visual untuk mengkomunikasikan ide. Lazimnya, ide yang ingin disampaikan ada sebelum karya visual itu dibuat. Tapi bukan tidak mungkin juga karya visual itu sendiri sudah ada dan kemudian diakuisisi oleh musisi karena dirasa memiliki makna yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan si musisi. Mana pun yang ada lebih dulu, yang pasti ketika sudah menjadi sampul album, yang kita dapatkan adalah karya seni yang menyampaikan sebuah pesan (dan hampir 100% disertai teks tertulis). Di sini, elemen komunikasi karya tersebut jadi lebih besar ketimbang elemen reflektif, puitik, atau performatif (bermakna karena keberadaannya sendiri) yang biasanya ada pada karya seni murni. Ekstrimnya, banyak yang akhirnya menyamakan kedua hal ini sebagai pragmatisme vs idealisme.

Uniknya, ketika karya seni murni dari si perupa ini juga dihadirkan bersama karya-karya terapannya, ada beberapa hal yang terjadi. Di satu sisi kita jadi bisa membandingkan sejauh mana si perupa melenturkan idealismenya untuk kemudian menjangkau kepada audiens. Berapa banyak dari idealisme perupa yang harus ditanggalkan saat dia dia menciptakan sesuatu yang lebih berorientasi kepada komunikasi daripada meditasi. Atau, bila kita sudah benar-benar bisa melepaskan diri dari pemeringkatan seni murni vs seni terapan, kita mungkin juga bertanya: usaha apa saja yang telah ditempuh oleh si perupa untuk bisa membantu mengkomunikasikan gagasan para musisi? Tentu bidang ini juga membutuhkan ketrampilan mental–atau “seni”–tersendiri.

Mungkin, pertimbangan atas negosiasi antara desain grafis dan seni murni seperti ini bisa menjelaskan kenapa istilah “album art” atau “album artwork” kian lazim digunakan dalam konteks Indonesia, yang sebenarnya sudah lama kenal istilah “sampul album.” Hal itu bisa dimaklumi, karena istilah “sampul” tidak menawarkan terlalu banyak konotasi positif sebagaimana halnya kata “artwork.” Secara tak sadar, ada afirmasi atas nilai seni pada kata “artwork.”

Maka, dalam pameran ini, mari kita coba merekonstruksi: Apa yang kiranya dikorbankan si seniman untuk membuat sampul-sampul album ini? Atau, kalau dibalik, usaha ekstra apa yang harus dikeluarkan oleh si perupa dalam menciptakan semua album art ini? Yang seperti ini kiranya lebih bisa dilakukan oleh pengunjung yang mungkin belum cukup mendengar album-album itu sendiri untuk menilai keberhasilan sampul-sampul ini mewakili isinya. Tapi, karena mendengarkan musik (apapun itu!) selalu memperkaya, tentu akan lebih baik lagi bila apresiasi atas album artwork ini juga disertai dengan apresiasi atas musiknya. Atau, kalau kita pelintir petuah klise: jangan menilai album dari sampulnya. Tapi, kalau di sini Anda sudah terlanjur menilai sampulnya, jangan lupa juga menilai isi albumnya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *