Motif Literasi dalam Film Superhero

Beberapa orang yang berkawan dengan saya di IG mungkin tahu bahwa beberapa waktu yang lalu saya menulis di Omong-Omong tentang bagaimana film Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) adalah sebuah film literasi. Tapi, karena satu dan lain hal, artikel tersebut tidak mendudukkan secara rinci bagaimana literasi sudah banyak muncul dalam film-film superhero. Mari kita bicarakan soal itu di sini. Sebut saja ini “prequel” untuk artikel di Omong-Omong itu.

Yang pertama perlu dipastikan sebelum membahas literasi adalah istilah “motif.” Di sini, motif saya gunakan seperti yang digunakan oleh para formalis Rusia, yaitu satu bagian dalam cerita yang penting dalam menentukan alur dan muncul di banyak cerita. Sebagai contoh, dalam banyak folklore, ada motif “penemuan yang mengubah.” Penemuan ini bisa berupa menemukan cincin yang membuat orang jadi kuat dan mengalahkan musuh, atau menemukan kuda yang membuat seseorang bisa melakukan pengejaran, atau menemukan baju ajaib yang membuat orang tidak bisa dilihat dan akhirnya memenangkan pertarungan. Itulah motif. Kita akan lihat bagaimana literasi muncul sebagai motif dalam film-film superhero kita.

Banyak kisah pahlawan super (dalam Marvel Cinematic Universe atau MCU maupun DC Extended Universe atau DCEU) memiliki motif literasi. Yang dimaksud motif literasi di sini adalah pencarian, pemahaman, dan berbagi informasi. Dalam film-film MCU dan DCEU ini kita mendapat cerita pencarian informasi yang membutuhkan kegiatan baca teks, menyampaikan pesan, dan menggunakan pengetahuan yang didapatkan untuk bertahan hidup. Pada titik tertentu, kita bisa menyebut kisah-kisah itu sebagai kisah literasi.

Diam-diam blio-blio ini aktivis literasi

Mari kita tilik contoh pertama. Lihatlah film The Avengers (2012) yang mengisahkan mulai berdirinya tim Avengers itu. Dalam kisah ini, dunia dikejutkan oleh datangnya Loki yang mencuri Tesseract. Hal itu membuat semua orang bertanya-tanya ada apa ini sebenarnya–kenapa ada orang dari galaksi lain memiliki pesawat angkasa yang tidak umum. Di situ, ternyata Tony Stark memahami teknologi “thermonuclear astrophysics” yang dipakai dalam pesawat para alien. Setelah ditanya sejak kapan dia jadi ahli bidang itu, Tony Stark menjawab bahwa dia sudah jadi ahli sejak malam sebelumnya (bayangkan saja dia googling artikel jurnal pada malam sebelumnya).

Di DCEU, kita tahu bahwa konflik utama dalam film Man of Steal (2013) berkisar pada keinginan Jendral Zod untuk mendapatkan kodeks dari planet Kripton yang berisi seluruh catatan genetik untuk membangun kembali kejayaan planet Kripton dari awal. Kodeks itu ternyata sudah “dilebur” Jor El ke dalam diri Superman. Jenderal Zod setengah mati ingin menaklukkan Superman agar bisa mendapatkan kembali kodeks itu.

Kalau The Avengers menunjukkan bagaimana baca tulis adalah bagian dari pencarian solusi untuk masalah Loki, Man of Steal menunjukkan bagaimana informasi adalah tujuan utama dari konflik di film ini. Ini hanya dua saja contoh. Film-film lainnya kaya dengan yang semacam ini.

Yang menjadi tulang punggung motif literasi itu adalah bahwa: menyelesaikan persoalan membutuhkan kegiatan membaca, dan kegiatan membaca-menulis juga punya tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Tony Stark membaca artikel-artikel jurnal dalam Avengers (2012) itu untuk tujuan menyelamatkan diri dari ancaman Loki dan teknologi anehnya. Bruce Banner juga begitu. Dia belajar lagi ketika sudah jadi hulk agar bisa menyatukan kekuatan Hulk dan kepandaian Dr. Bruce Banner sehingga menjadi Professor Hulk dalam Avengers: End Game.

Film-film pahlawan super ini mestinya sudah benar: persoalan diselesaikan dengan belajar dan mencari pengetahuan dan pencarian pengetahuan juga berujung pada penyelesaian persoalan atau peningkatan hajat hidup.

Kalau kita agak ngotot menafsirkan, mungkin juga kita katakan bahwa film-film pahlawan super ini bisa menjadi teman refleksi. Bagi siapa? Kayaknya bagi kita semua yang hidupnya tak lepas dari permasalahan atau dari pencarian pengetahuan. Sebagai orang yang tak lepas dari masalah, mungkin kita bisa bertanya pada diri kita sendiri: kalau kita ada masalah, apa yang kita lakukan? Apakah kita galau? Apakah kita pergi “healing”? Ataukah kita justru mengkonfrontasi masalah itu untuk mengetahui seluk-beluknya dan kemudian mencari informasi baca ini-itu untuk sampai pada pengetahuan yang hakiki? Tentunya contoh-contoh sederhana dari film-film pahlawan super ini menganjurkan yang terakhir.

Selain adegan Tony Stark menjawab soal “thermonuclear astrophysics tadi,” ada lagi contoh yang bagus. Adegan ketiga Scott Lang dan Steve Rogers mencari Dr. Banner/Hulk adalah contohnya. Di situ, Bruce Banner menjelaskan: dia membuat Hulk belajar dan bereksperimen. Kata Banner, “Eighteen months in the gamma lab. I put the brawn and the brain together. The best of both worlds.” Nah, di sini Dr. Banner mencoba melakukan rekonsiliasi atas Dr. Banner yang punya 7 Ph.D. dan hulk yang punya otot segede ekskavator. Apa yang dia lakukan, di laboratorium, ya mungkin membaca, bereksperimen, gagal, baca lagi, dan seterusnya.

Tokoh literasi: Professor Hulk

Bahkan si penyihir yang egois dalam Doctor Strange in the Multiverse of Madness pun mencari kitab dan menguasainya agar bisa membantu mencapai cita-citanya.

Di sisi lain, film-film pahlawan super ini menunjukkan kepada kita bahwa usaha pencarian pengetahuan itu perlu berorientasi pada pemecahan persoalan. Tony Stark belajar semalam suntuk itu karena memang ada persoalan ganjil yang tak bisa dengan mudah dia jelaskan. Ada orang yang mengejar sebuah benda unik (gaib?) yang tidak seorang pun bisa menjelaskan.

Nah, kalau kita kembali ke Doctor Strange in the Multiverse of Madness, kita akan menemukan contoh yang sudah saya bahas di artikel Omong-omong itu. America Chavez mencari Kitab Vishanti karena kitab itu adalah bagian dari usahanya untuk mengamankan diri dari kejaran makhluk-makhluk ganjil yang dikirimkan seorang penyihir. Kita bisa membaca ini kurang lebih sebagai berikut: berbagai upaya mencari tahu yang kita lakukan hendaknya memiliki orientasi problem solving, tidak sekadar berasyik masyuk dengan pengetahuan.

Semua hal ini menunjukkan bagaimana motif literasi banyak muncul dalam film-film superhero. Tentu saya tidak bilang bahwa di film-film lain motif ini tidak ada. Yang justru ingin saya ajukan adalah bahwa motif literasi bahkan ada dalam film-film superhero yang kita anggap murni sebagai film hiburan. Dengan kata lain, bahkan untuk urusan hiburan, logika yang kukuh kita butuhkan. Dan asyiknya adalah, logika yang kukuh itu diwakili oleh proses membaca, melakukan, dan mencatat.

Jangan remehkan pembaca dengan logika yang buruk. Untuk itu, perkenankan saya akhiri postingan ini dengan kutipan dari Natalie Goldberg.

Never underestimate people. They desire the cut of truth.

Natalie Goldberg dalam Writing down the Bones

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *