Novel Melati dalam Kegelapan karya Sidik Nugroho ini merupakan fusion cerita horor dan kriminal yang cukup menghibur. Kita mendapat kenikmatan dari irisan genre sekaligus dapat bonus gambaran sebuah “dunia” yang bisa dibilang sedikit digarap, khususnya dalam budaya pop. Seperti apa sih?
Sebagai sebuah novel horor, dia cukup bisa memberikan desir rasa takut (yang memang diharapkan dari karya horor) bagi pembaca. Dia hadirkan setting yang efektif mencekam: rumah paling ujung di komplkes perumahan, pohon rambutan malam hari, dan ruko yang sepi. Saya yg biasa membaca novel menjelang tengah malam atau sekitar jam 3 pagi jadi harus mengubah jadwal baca. Sensasi horornya lebih dari yang saya inginkan untuk bacaan dini hari.
Sebagai cerita kriminal, kita juga digelitik dengan penasaran dan harap-harap cemas. Kematian melati dihadirkan dan membuat kita penasaran dengan motifnya, sementara teror dari salah seorang tokoh membuat kita harap-harap cemas dengan apa yang akan terjadi. Dan, seperti cerita kriminal yang genit, ada kalanya pembaca mendapat sajian humor yang melibatkan para tokoh. Ada adegan humor yang cukup signifikan setelah melewati tengah buku.
Secara alur, pembaca mungkin akan merasakan kurang eratnya jalinan antara horor dan kriminalitas dalam novel ini. Mestinya tidak mudah menggabungkan dua elemen dari dua tradisi yang berbeda spt itu. Mari kita tunggu karya Sidik Nugroho selanjutnya. Siapa tahu dia akhirnya temukan zat pengikat yang pas. Romansa dan kriminalitas mungkin mudah dipadukan, tapi horor dan kriminalitas itu lain…
Tapi, khusus untuk aspek kriminalitasnya, sebagian pembaca juga mendapatkan bonus “pengalaman penemuan.” Kisah terjadi di kawasan Kalimantan Barat, antara Pontianak, Singkawang, Mempawah, Sekadau, dan kota-kota kabupaten di sana. Saya pribadi yang kurang banyak membaca cerita atau menonton film berlatar Kalimantan Barat (dan belum sekali pun ke Kalimantan) jadi cukup menikmati “penemuan” ini. Sidik Nugroho perlu dapat apresiasi karena memperkenalkan Kalimantan Barat lewat novel-novelnya (termasuk trilogi novel kriminalnya yang diawali dengan “Tewasnya Gagak Hitam”).
Oh ya, ada satu hal yang konsisten dengan trilogi misteri Sidik, yaitu bagaimana tokoh utamanya dihadirkan. Si tokoh utama di novel ini dan trilogi misteri sama-sama tokoh yang mudah jatuh cinta dan sulit memutuskan akan memilih mana di antara pacar-pacarnya yang akan dia pilih. Kenapa sesulit itu sih, Ton? Para pembaca feminis mungkin akan punya banyak bahan untuk disoroti dari trilogi misteri Sidik dan novel ini. Tapi ya, bisa jadi tokoh-tokoh playboy ini bentuk fiksi dari gejala yang ada di berita-berita yang kita dengar tentang kasus perselingkuhan yang tidak pernah ada habisnya itu.
Terakhir, mengingat novel kriminal/detektif lokal untuk dewasa tidak banyak–apalagi yang dipadu dengan horor–maka kita perlu memberikan apresiasi dan mengundang lebih banyak karya serupa. Asyik kok menikmati hiburan dengan membaca novel ini sebagai alternatif untuk nonton film. Dan, karena sekarang bukunya sudah hadir di Google Books, kayaknya kita perlu menyambutnya.