Batu Sandung (Mbak Ratna): Perjuangan Tanpa Pungkasan

(Resensi atas buku Batu Sandung karya Mbak Ratna Indraswari Ibrahim ini saya tulis pada tahun 2007. Saya tidak ingat apakah tulisan ini pernah saya kirim ke koran atau tidak.)

Penulis            : Ratna Indraswari Ibrahim
Editor              : Retno Suffatni
Penerbit           : LKiS
Tebal               : x + 134 halaman
Cetakan           : I, 2007
ISBN               : 979-8451-21-X

Batu Sandung karya Ratna Indraswari Ibrahim diambil dari Goodreads

Seorang penulis perempuan mendapat penghargaan Perempuan Berprestasi dari Menteri Negara Urusan Perawan Wanita pada tahun 1999, tapi dia menolaknya. Ya, penulis itu adalah Ratna Indraswari Ibrahim (lebih akrab dipanggil Mbak Ratna). Dan saya tidak tahan untuk mengulang kembali insiden penolakan itu di sini. Rasanya seperti mengingat Rabindranath Tagore yang menolak gelar Sir dari kerajaan Inggris. Juga mengingatkan pada penulis Boris Pasternak yang menolak anugerah nobel (bedanya, Boris Pasternak menolak penghargaan karena ada tekanan dari pemerintah Kremlin, Rusia). Mbak Ratna seolah memperjuangkan kepentingan kaum tertindas (termasuk perempuan) dalam karya-karyanya. Mungkin, hanya mungkin, dia merasa belum tiba saatnya menerima penghargaan, sementara perjuangannya masih jauh dari akhir.

Mbak Ratna, penulis ekstra-produktif itu, meluncurkan sebuah buku lagi, kali ini bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-48. Buku itu berjudul Batu Sandung, sebuah buku mungil kumpulan tiga novelet yang ditulisnya sekira tahun 80-an. ‘Batu Sandung’ sendiri adalah judul novelet yang pertama disajikan di sini. Dua novelet lainnya adalah ‘Garis Ibu’ dan ‘Hari-hari yang Tercecer’.

Melihat dari sekira 400 cerpen yang telah dibuahkannya, orang-orang memandang Mbak Ratna sebagai penulis berwawasan feminis. Bisa jadi benar. Namun, Mbak Ratna sendiri mengakui dalam peluncuran bukunya bahwa sebenarnya dia tidak hanya berjuang demi perempuan, sebagaimana layaknya kaum feminis; dia lebih memperjuangkan siapa saja yang terpinggirkan. Ada kalanya, dalam sebuah budaya tertentu kaum yang termarginalisasi itu disebut perempuan, tetapi di tempat lain kaum itu disebut penyandang cacat, atau yang lebih netralnya kini lazim disebut diffable (differently able). 

Mari kita buktikan pernyataannya itu dalam Batu Sandung. Dalam cerita pertama, ‘Batu Sandung’, kita bisa melihat bagaimana Irina yang terpaksa memakai kruk berjuang melawan egonya dan jungkir balik membuktikan bahwa dia sebenarnya tak kalah normal ketimbang orang lain. Irina yakin dirinya bukan model gadis yang harus dikasihani dan dibantu-bantu dalam ini-itu. Dia benar-benar sebal ketika ibunya menangisi cacatnya akibat polio dan tentang nasibnya yang belum juga punya pasangan hidup saat usianya sudah pertengahan 20-an. Dia berjuang mati-matian untuk memenangkan hati para karyawan ayahnya (yang selama separuh akhir novelet juga menjadi karyawannya) yang menganggapnya sebagai seorang gadis, cacat, dan bau kencur. Dia menolak tegas ketika ibunya mendesak-desak dia agar mencintai Adis, sobat karib sekaligus sesama karyawan di perusahaan ayah Irina. Di sini, terasa adanya perspektif feminis, namun yang lebih banyak terasa adalah perang melawan marginalisasi orang cacat.

Dalam ‘Garis Ibu’, pembaca akan menyelami gelora batin seorang ibu. Si ibu ingin membahagiakan putra-putranya, namun dia juga ingin mewujudkan mimpinya memiliki anak perempuan—ibu ini punya dua putra dan tidak punya kesempatan melahirkan seorang anak perempuan karena tumor menyerang rahimnya setelah kehamilan keduanya.  Maka dia senang luar biasa ketika Murni, putri sahabat dekatnya, akan nunut di rumahnya untuk persiapan kuliah. Namun hatinya terbelah manakala kedua putranya mencintai Murni dan patah hati karena keduanya tidak dipilih Murni. Dia menginginkan seorang putri—yang mana gadis ini akan sesuai—tetapi dia tidak suka jika gadis ini membuat putranya tidak lagi rukun. Dan kelak, ketika tiba waktu putra-putranya kawin, dia menginginkan anak menantu dari mereka. Namun akhirnya dia menemui rintangan lagi? Apa itu? Demi menghormati kejutan akhir cerita, saya persilakan pembaca menikmati sendiri kisah tersebut.

Para pembaca mungkin akan mendapati ‘Hari-hari yang Tercecer’ sebagai novelet paling kuat dalam kumpulan ini. Dibeberkan di sini kisah tentang seorang ibu dua anak yang tidak lagi punya rasa kepada suaminya. Kisah ini membuktikan dirinya sebagai contoh sebuah kisah Indonesia yang bermuatan perspektif feminis dengan cara yang halus. Yang ada bukanlah perjuangan perempuan membebaskan diri dari superioritas laki-laki yang merendahkannya sehingga dia harus tinggal di rumah dan menjaga anak-anaknya. Cerita ini berkisah tentang seorang perempuan yang terlalu dicintai oleh suaminya yang ‘keguru-guruan’. Sosok suaminya terlalu superior, sehingga dia sendiri merasa terbungkam di hadapannya. Tak bisa dia ekspresikan diri dan pikiran dalam rengkuhan suaminya. Si suami, seorang dokter, sangat mencintai perempuan ini, tetapi cintanya bukan model cinta yang membebaskan. Cintanya adalah cinta yang memiliki, menguasai. Sehingga, alih-alih bahagia selamanya dalam cinta,si perempuan pada akhirnya menemui kendala ketika tak terbendung lagi hasratnya untuk mengaktualisasikan diri. Dia sudah bosan menjadi ‘obyek’ cinta suaminya. Dia menjadi obyek bukan karena dia direndahkan, tetapi karena derajatnya terlalu ditinggikan, hingga seolah terpajang di awang-awang, karen cinta yang berlebih.

Dari gambaran sekilas, tampaklah bahwa novelet Mbak Ratna menyajikan beragam perjuangan. Perjuangan mengandaikan adanya kedudukan yang kurang menguntungkan, adanya marginalisasi. Maka, cocok sekali dengan gagasan Mbak Ratna di bagian awal tulisan ini, bukan?

Namun, ada sejumlah hal yang absen dalam Batu Sandung: detil-detil latar tempat. Kita akan merasakan adanya kekurangseimbangan dalam cerita-cerita ini—seperti halnya tulisan-tulisan Mbak Ratna lainnya. Ketiga novelet ini terasa hanya berisi rentetan kejadian yang sambung-sinambung, tanpa memberikan deskripsi-deskripsi pemantik imajinasi pada saat-saat yang diperlukan. Pada sejumlah bagian, akan lebih kuat jika, misalnya, ada deskripsi kamar yang remang, pantai berangin kencang, aroma rerumputan, dsb., yang sebenarnya malah lebih memperkuat emosi cerita dan memudahkan pembaca lebih merasuki dan berempati dengan karakter-karakter dalam cerita.

Pada peluncuran di Rumah Budaya Mbak Ratna, Tengsoe Tjahjono, seorang penyair dan dosen sejumlah universitas di Surabaya, menyebutkan bahwa karya Mbak Ratna adalah karya yang lebih memilih untuk mengusung gagasan. Ucapan ini ada benarnya. Kita bisa melihat ketiga novelet ini memfokuskan pada gagasan, dan sedikit sekali memberi perhatian kepada bahasa. Bahasa tak lebih sekadar mobil bak yang mengangkut gagasan Mbak Ratna tentang perjuangan anti-marginalisasi. Karenanya, tidak usah heran jika di tempat-tempat tertentu kita akan temukan kalimat-kalimat yang begitu formal.

Namun, ada satu keunggulan kumpulan novelet ini: Mbak Ratna telah membidik telak pada sejumlah persoalan terkait kaum terpinggir, dan berhasil menyampaikannya dalam bentuk cerita yang mengalir. Dan—maaf jika harus mengulang klise ini!—cerita-cerita Mbak Ratna jauh dari menggurui. Andai Natalie Goldberg, guru menulis kreatif yang lagi naik daun di Amerika, sempat bertemu Mbak Ratna, pasti dia akan mengatakan: fiksi Mbak Ratna tidak mengatakan, tetapi menunjukkan. Maka, setelah menunjukkan sepak terjangnya di medan sastra Indonesia dengan merampungkan tak kurang dari 400 cerpen dan 10 novelet yang kebanyakan mengusung tema anti-marginalisasi, anti-peminggiran, anti-penindasan, maka tepat jika kita katakan bahwa Mbak Ratna memang terus berperang dalam perjuangan tanpa pungkasan.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *