Menuju Pemahaman Literasi yang Lebih Relevan

(Postingan ini merupakan adaptasi dari materi workshop “Kupas Literasi, Tuntas Berkreasi” yang diadakan oleh UKM El-Ma’rifah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang pada 28 April 2018. Untuk mengunduh versi yang ramah cetak, silakan klik di sini.)

Satu gerakan yang semakin menggejala dewasa ini, tapi masih perlu diperluas lagi, adalah gerakan literasi. Kata yang secara umum dimaknai orang sebagai kemampuan membaca dan menulis[1] ini ternyata memiliki makna yang luas. KBBI sendiri sudah memiliki tiga makna untuk lema “literasi,” yaitu kemampuan baca-tulis, pengetahuan atau ketrampilan dalam bidang tertentu, dan kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Tampak di sini betapa kata “literasi” itu memiliki makna yang luas dan implikasinya jauh. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita memahami literasi lebih jauh dari sekadar pemahaman baca tulis saja?

Untuk segera masuk ke pembahasan mengenai literasi dengan makna yang luas tersebut, kita bisa langsung menengok dua model literasi yang karena pertentangannya bisa menunjukkan keluasan dari gagasan literasi. Kedua model literasi tersebut adalah literasi otonom dan literasi ideologis. Brian V. Street adalah orang yang telah berperan besar mempopulerkan pemahaman mengenai kedua model literasi itu. Dalam buku pegangan kajian literasi yang berjudul Literacy: An Advanced Resource Book, Street menguraikan asumsi-asumsi dasar kedua model literasi ini.  

Model literasi otonom merujuk kepada model yang menekankan kepada keahlian membaca, menulis, dan mengolah informasi secara kritis. Pola pengajaran literasi di lingkungan sekolah dan taman baca masyarakat yang menekankan pada penumbuhan minat dan budaya membaca pada umumnya termasuk ke dalam wilayah ini. Pengembangan kemampuan yang bersifat kognitif ini pada gilirannya tentu akan bermanfaat bagi pelakunya. Pengetahuan dan sikap kritis seorang akan meningkat, dan hal ini bisa diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Namun, yang menjadi persoalan adalah bahwasanya tidak semua orang membutuhkan kemampuan baca-tulis dalam arti harfiah seperti ini. Banyak masyarakat di dunia yang masih menggunakan pola tutur oral dan proses transfer pengetahuannya juga terjadi secara oral. Bagi masyarakat-masyarakat tersebut, model literasi ini dianggap tidak tepat. Street sendiri menyebut model literasi ini khas Barat, dan tidak semestinya bisa begitu saja dipaksakan kepada masyarakat-masyarakat non-Barat.

Sementara itu, model literasi ideologis merujuk pada model yang lebih berakar pada kondisi subjek literasi. Model literasi ini memandang kegiatan literasi sebagai, meminjam kata-kata Sofie Dewayani dan Pratiwi Retnaningdyah dalam Suara dari Marjin, “praktik sosial dan merupakan produk dari ideologi yang berkembang di masyarakat.” Di sini, yang dimaksud sebagai kegiatan literasi tidak hanya berkaitan dengan peningkatan budaya baca, namun lebih ke peningkatan hajat hidup—yang pada prosesnya memanfaatkan penggunaan teks.

Dalam model literasi ideologis, sebuah kegiatan literasi tidak dimulai dari membaca dan menulis, tapi melalui identifikasi kondisi ideologis subjek literasi. Pelaku praktik literasi di sini mencari tahu kebutuhan, tujuan, dan persoalan para subjek literasi. Dari sana, para pelaku menyusun langkah-langkah yang melibatkan teks (baik oral maupun lisan) yang dapat digunakan untuk membantu para subjek literasi dalam meningkatkan kondisi mereka.

Terkait model literasi ideologis ini, ada dua istilah yang perlu dijadikan pegangan, yaitu “peristiwa literasi” dan “praktik literasi.” Peristiwa literasi berarti segala aktivitas yang melibatkan penggunaan teks (sekali lagi, bisa berupa lisan maupun tulisan) dalam sebuah latar sosiokultural khas para subjek literasi. Contohnya di sini adalah penggunaan cerita-cerita tentang leluhur dalam pengajaran bercocok tanam dalam kulur adat tertentu.

Praktik literasi, yang cakupannya lebih luas dari peristiwa literasi, adalah “himpunan dari peristiwa-peristiwa literasi yang terjadi secara berpola dan berulang.” Demikianlah Dewayani dan Retnaningdyah membahasakannnya. Untuk melanjutkan contoh yang sebelumnya, salah satu bentuk praktik literasi adalah penggunaan cerita-cerita lisan dari nenek moyang dalam pengajaran keahlian-keahlian teknis dalam bercocok tanam, membangun rumah, dan sebagainya dalam masyarakat adat tertentu.

Model literasi ideologis dengan berbagai ragam praktiknya inilah yang hendaknya perlu mendapat sorotan tambahan terus-menerus di tengah maraknya program-program literasi yang kebanyakan masih berfokus pada kegiatan baca tulis dewasa ini. Model literasi ideologis akan berpotensi membantu kita untuk bisa tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan literasi di lingkungan-lingkungan kecil kita tanpa terjebak pada hal-hal yang sifatnya hanya seremonial dan perayaan. Pemahaman akan model literasi ideologis ini akan membantu kita lebih bisa mengapresiasi pola didik di masyarakat tradisional yang mungkin tidak bisa tertangkap oleh upaya-upaya revitalisasi yang cenderung masih menggunakan model literasi otonom.

Untuk melengkapi pengantar singkat ini, silakan lihat beberapa postingan dan tulisan berikut yang sedikit banyak berhubungan dengan bahasan ini:

  1. Literasi yang Membumi, Gagasan yang Menyadarkan
  2. Membaca Buku yang Sama dengan Warga Sekampung
  3. Lifestyles, Inc.: Di Mana Penyandang Disabilitas Kejiwaan Dewasa Berkomunitas
  4. Nggragas Buku
  5. Ngobrol Buku di Tengah Arung Jeram

[1] Akar kata ini dalam bahasa Latin, yaitu kata “litera,” berarti huruf. Ketika digunakan dalam bahasa Inggris pada abad ke 15, maknanya adalah “terdidik, terlatih, memiliki pengetahuan mengenai huruf.” Di abad ke-18, kata “literacy” bermakna “akrab dengan sastra.” Lebih lanjut, silakan lihat Online Etymology Dictionary.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

2 comments

Membaca artikel ini menambah wawasan tentang literasi. Namun, rasanya tetap butuh informasi lebih banyak lagi untuk memahami maksud artikel ini yang membahas literasi dan maknanya.

Terima kasih komentarnya, Mbak. Mungkin saya akan cicil mulai berbicara tentang literasi yang umum dulu sebelum akhirnya melangkah ke ‘literasi ideologis’ yang sebenarnya masuk ke dalam wilayah ‘gerakan literasi baru’ ini.

Salaam!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *