Catatan Super Singkat Membaca Indonesia for Sale karya Dandhy Dwi Laksono

Sejauh mana kita tahu apa yang disebut dengan istilah neolib? Itulah yang kiranya ingin disasar oleh Dandhy Dwi Laksono dalam bukunya yang berjudul Indonesia for Sale. Dia merasa perlu membuat orang-orang tahu apa yang disebut dengan istilah neolib itu dan kenapa istilah itu penting diketahui oleh orang.

Di pertengahan buku Indonesia for Sale, Dandhy menyatakan bahwa kalau ada orang yang menuduh seorang pejabat neolib, ada tiga kemungkinan arti: 1) si penuduh tidak terlalu memahami istilah itu dan hanya ikut-ikutan, 2) si penuduh punya kepentingan politis, 3) si orang yang dituduh neolib memang benar-benar neolib dan si penuduh memiliki solusi mengenai neolib.

Mari kita ingat-ingat kapan terakhir kali istilah neolib ini muncul. Di dinding Facebook kita, kita mungkin bisa menemukan orang-orang yang mengatakan hal-hal seperti ini.

IMG_20180526_181930
Covernya asyik

 

Dandhy membagi buku ini ke dalam lima bagian inti plus Prolog dan Epilog. Di bagian inti pertama, Dandhy berbicara tentang permasalahan di lapangan yang menjadi pintu masuknya dalam berbicara tentang neoliberalisme. Pintu masuk tersebut adalah harga BBM yang naik turun. Naik turunnya BBM pada tahun 2008 dan 2009 ini, dalam analisis Dandhy, dikarenakan kecenderungan pemerintah menyerahkan perekonomian kepada mekanisme pasar, yang salah satu dampaknya adalah dilepasnya subsidi BBM dan mendasarkan harga BBM kepada naik turunnya harga minyak mentah global.

Di bagian kedua, Dandhy mulai melebar dengan menunjukkan fenomena-fenomena komersialisasi di Indonesia. Fenomena-fenomena komersialisasi ini semakin menunjukkan bagaimana jaring-jaring neoliberalisme itu semakin melebar dan menjangkau ke seluruh bagian kehidupan Indonesia. Komersialisasi ini sangat berkaitan dengan swastanisasi kebablasan yang dilakukan pemerintah, yang menyebabkan bahkan aspek-aspek hidup yang semestinya dikuasai negara jadi dikuasai swasta, dan menyulitkan anggota masyarakat yang lain mendapatkan manfaatnya. Contoh yang paling ekstrim adalah pantai yang dikuasai oleh hotel-hotel, sehingga untuk ke sana seseorang harus menjadi tamu hotel.

Selanjutnya, pada bagian yang berjudul Neoliberal yang Saya Kenal, Dandhy lebih jauh lagi menggali hakikat liberalisme, yang seringkali disalahpahami orang. Kecenderungan menghubung-hubungkan tokoh ekonomi tertentu dengan liberalisme tampaknya telah menghasilkan kesalahan kategori bahwa orang-orang tertentu memiliki ciri neoliberalisme. Sesat pikir tersebut tampaknya telah juga mempengaruhi diskursis publik, sehingga ketika Boediono (yang ketiga itu masih calon wakil presiden) disebut-sebut sebagai seorang neolib, ekonom lain menunjukkan bagaimana Pak Boediono adalah seorang yang sederhana, tidak mewah dan kaya seperti yang dikesankan istilah neolib. Di sini, Dandhy menyoroti bahwa neoliberalisme adalah seperangkat preskripsi kebijakan ekonomi yang cenderung melepaskan pemerintah dari banyak sektor perekonomian dan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta dan pasar.

Pada bagian keempat, Indonesia for Sale mendedahkan analisis Dandhy atas berbagai ciri neoliberalisme yang telah muncul dalam perekonomian Indonesia bahkan jauh sebelum pemerintahan SBY, yaitu pada akhir masa orde baru. Resep-resep neoliberalisme yang diberikan kepada Indonesia oleh IMF. Hal ini mencakup antara lain akuisi bank-bank yang macet dan kemudian pelepasan aset tersebut kepada pihak lain (termasuk asing), dicabutnya subsidi pendidikan tinggi yang mengarah kepada komersialisasi pendidikan tinggi, bertambahnya utang luar negeri dan lain-lain. Di sini semakin tampak bahwa neoliberalisme ekonomi Indonesia itu adalah sebuah proses panjang yang dirintis sejak akhir masa orde baru dan berlanjut hingga ke masa SBY (masa ketika buku ini ditulis dan diterbitkan untuk pertama kalinya). Di sini semakin ditegaskan bahwa bahkan orang yang disebut neolib di pemerintah SBY itu pun sebenarnya mungkin saja “korban” dari preskripsi-preskripsi neoliberal yang dijalankan di Indonesia atas tekanan IMF.

Di bagian terakhir, Dandhy mengurai berbagai permasalahan terkait liberalisme ekonomi yang terjadi di media. Di antara sejumlah hal yang dibahas oleh Dandhy adalah bagaimana televisi swasta nasional memberikan ruang yang cukup lapang bagi SBY untuk memberikan penjelasan mengenai kebijakan ekonomi yang diambilnya ketika mendapatkan tantangan dari tokoh partai lain pada masa kampanye 2009. Selain itu, ada pula teve pooling yang dilakukan oleh salah satu stasiun televisi, yang mengindikasikan kecenderungan politis pemilik stasiun televisi, yang merupakan pelanggaran atas penggunaan frekuensi publik.

Ada beberapa poin penting yang perlu dicatat terkait uraian-uraian Dandhy dalam buku ini. Pertama, di sini ditekankan berulang-ulang oleh Dandhy bahwa neoliberalisme hendaknya dihubungkan bukan dengan orang-perorang, melainkan dengan gagasan atau resep-resep kebijakan ekonomi yang semakin memperkecil peran negara dan membiarkan pasar menentukan arah kebijakan negara.

Poin kedua yang tidak boleh dilewatkan adalah bahwa neoliberalisme adalah sebuah hasil dari proses tesis dan antitesis. Hanya karena banyak resep neoliberalisme banyak merugikan rakyat Indonesia secara luas, bukan berarti liberalisme adalah sesuatu yang dengan serta-merta buruk. Liberalisme pada awalnya adalah resep yang manjur untuk mengatasi permasalahan ekonomi pada masa gilda. Namun, ekses dari neoliberalisme, khususnya penekanan pada modal, telah mengakibatkan permasalahan ekonomi yang besar pada masa 1930-an, ketika Amerika Serikat mengalami Depresi Akbar. Neoliberalisme mengembalikan lagi kekuatan kepada pasar sejak tahun 1970-an, khususnya ketika IMF meresepkan langkah-langkah perbaikan ekonomi untuk Bolivia.

Hal selanjutnya yang tak kalah pentingnya adalah bahwa neoliberalisme bukanlah barang baru yang muncul hanya pada era SBY. Dandhy menunjukkan bahwa bahkan sejak pertengahan masa pemerintahan Soeharto, jalan menuju liberalisme sudah dibuka, misalnya dengan amendemen Undang-undang yang memungkinkan ikut berperannya pihak asing dalam mengelola sumber daya alam Indonesia yang mestinya dikuasai sepenuhnya oleh negara. Pada masa Megawati Soekarno Putri, wujud neoliberalisme, yang merupakan kelanjutan dari preskripsi pada masa-masa sebelumnya, juga semakin tampak. Hal ini dilanjutkan hingga ke masa-masa sesudahnya. Bedanya adalah, hanya pada masa SBY saja istilah neoliberalisme ini makin terdengar bergaung.

Uraian yang sekilas terdengar teknis dan kental dengan istilah ekonomi ini, uniknya, disampaikan dengan cara yang tidak konvensional. Alih-alih menggunakan gaya penulisan yang akademis, Dandhy menyajikan buku ini menggunakan gaya esai. Kita mengenal gaya tulis esai sebagai gaya tulis yang menggabungkan antara gagasan-gagasan konseptual penting dan penyampaian yang bermain-main, bahkan menggunakan elemen-elemen sastrawi. Buku yang merupakan kumpulan esai yang sambung-menyambung ini dinarasikan oleh Dandhy dengan bantuan tokoh-tokoh imajiner, misalnya sopir taksi, penjaga toilet terminal, penjaga parkir, tukang jamu, dan seorang wartawan mantan mahasiswa Dandhy. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner untuk lawan diskusi ini terasa tepat karena pada sebagian besar buku ini Dandhy seperti menjaga agar bahasa dan gaya ungkap yang dia pakai tetap menjejak bumi, tidak tenggelam dalam kerangka konseptual yang bisa membuat pembaca tersesat. Ada kalanya ketika disebutkan bahwa si penjaga toilet dan tukang parkir tertidur saat penjelasan Dandhy sangat konseptual sambil mengutip sejarah dan ide-ide dari beberapa pemikir ekonomi, tapi tentu saja tidak ada yang salah dengan itu. Buku ini memang berpretensi menjembatani antara dunia ide di bidang ekonomi dan pembaca awam. Ada kalanya dunia itu perlu benar-benar dihadirkan.

Gagasan menjembatani antara dunia ide dan pembaca awam ini tampaknya merupakan satu hal yang dirasa penting oleh Dandhy. Sejak awal buku, Dandhy setengah menggugat kurangnya peran media massa dalam membantu masyarakat memahami kebijakan-kebijakan ekonomi yang dampaknya menyentuh langsung kehidupan sehari-hari.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *