Sepertinya ini pertama kali saya ngobrol soal Star Wars secara penuh di blog ini. Saya mulai kenal Star Wars secara serius baru pada tahun 2009. Tentu saya tahu waktu trilogi kedua muncul, tapi saya tidak pernah perhatian serius. Saya mulai serius dengan Star Wars baru setelah kenal Mohja Kahf, dosen dan pembimbing saya yang penggemar berat Star Wars dan Lords of the Ring, yang bisa menggambarkan teologi Islam dan Kristen melalui jalan hidup Luke Skywalker dan menggambarkan politik al-Andalus (atau Ha Sefarad, atau Hispania) dengan ilustrasi Lords of the Ring. Maka, ya, karena kemarin saya baru nonton bioskop di Malang untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, dan pertama kali mengajak anak saya nonton bioskop betulan, tidak apa-apa kiranya saya berbagi wawasan (wakakakakakakakakanda) sekadar pengantar untuk nonton Solo Star Wars Story.
Solo Star Wars Story semakin menegaskan diri bahwa Star Wars adalah sebuah karya kompleks yang setiap aspeknya perlu ditelusuri. Setelah The Force Awakens yang menyoroti sisi manusiawi dari seorang Stormtrooper, kini cerita menelusuri riwayat Han Solo, tokoh yang sejak awal sudah terlihat penting namun kita pahami sebagai seorang karakter yang sudah jadi.
Di Star Wars yang pertama (yang sebenarnya berjudul Star Wars IV) kita sudah bertemu dengan Han Solo dan tandem kompaknya Chewbacca. Meskipun awalnya dikenalkan sebagai seorang penyelundup yang punya masalah hutang, Han Solo dan Chewbacca ini sudah tampak penting. Han Solo diperankan oleh Harrison Ford, bintang yang mungkin tidak pernah murah dalam sejarah Hollywood (yang bisa juga disebut Gerald Ford-nya Hollywood). Di akhir cerita edisi pertama itu, kita ketahui bahwa Han Solo pada akhirnya bergabung dengan aliansi pemberontakan dan jadi kekasih Putri Leia. Tidak tanggung-tanggung, kan, pentingnya?
Tapi, di keseluruhan kisah Star Wars, sayangnya, kita lebih banyak mengikuti perkembangan karakter Skywalker, baik Skywalker junior (Luke, pada trilogi pertama, Star Wars IV, V, VI) maupun Skywalker senior (Anakin/Darth Vader, pada trilogi kedua, Star Wars I, II, III). Pada trilogi kedua, trilogi Star Wars yang bagi banyak fan Star Wars dianggap hina-dina karena kurang elemen dongengnya dan tenggelam ke dalam euforia CGI, Han Solo bahkan tidak disinggung-singgung lagi.
Baru pada Star Wars VII: The Force Awakens, kita ketemu lagi dengan karakter Han Solo. Di film ini, Han Solo dihadirkan kembali bersama para pinisepuh trilogi pertama (Luke Skywalker, Putri Leia—yang sekarang jadi Jenderal). Tidak cuma itu, di Star Wars VII ini kita jadi tahu bahwa Han Solo dan Putri Leia punya anak yang mewarisi bakat gelap Mbah Kakungnya, Darth Vader. Pada film inilah kita mulai tahu bahwa Han Solo adalah bagian organik dari keluarga inti para pengemban bakat Jedi.
Makanya, tidak terlalu mengherankan kalau pada akhirnya Han Solo mendapatkan porsi sendiri tahun 2018 ini. Sudah saatnya kita tahu bagaimana Han Solo terbentuk. Sudah saatnya kita mengenal Han Solo lebih dari sekadar seorang penyelundup yang akhirnya ikut para pemberontak untuk mengembalikan keseimbangan galaksi, merontokkan monarki antar bintang itu. Sudah saatnya juga kita tahu kisah cinta lain Han Solo (yang sejak pertama kali muncul sudah terlihat agak-agak mata keranjang tapi sepanjang sejarah Star Wars hanya digambarkan berhubungan dengan Putri—maksud saya Jenderal—Leia.
Dan tentu saja, cerita tentang Han Solo adalah juga cerita tentang Chewbacca. Di sini juga kita akhirnya bertemu dengan Chewbacca yang selama ini kita ketahui sebagai satu-satunya Wookie. Sejauh pemahaman saya tentang Star Wars, kita memahami Chewbacca melalui terjemahan Han Solo. Kini, kita jadi tahu Chewbacca lebih dari urusan teknis yang diperantarai oleh Han Solo. Bahkan—ini yang mengejutkan buat saya—di sini kita jadi melihat fenomena yang menurut saya anomali.
Apa itu?
Yaitu dua bangsa yang berbeda yang berbicara dengan bahasa yang sama. Di Solo Star Wars Story ini kita melihat manusia berbicara bahasa Wookie. Ya, Han Solo sendiri yang berbicara bahasa grau-grau-grau ala Wookie. Saya tahu ini spoiler, tapi spoiler mengarukan ini perlu saya berikan agar Anda tidak melewatkannya. Di film-film Star Wars sebelumnya, Wookie selalu berbicara bahasa grau-grau-grau dan Han selalu bisa memahaminya dan berbicara balik dalam bahasa Inggris. Di sinilah anomali Solo Star Wars Story! Patut kita rayakan.
Jadi demikianlah pengantar singkat saya untuk Star Wars terkini. Kalau Anda penggemar Star Wars dan mengenal karakter-karakter ini dari trilogi pertama, saya bisa menjamin film Han Solo ini jadi film yang unik, baru sekaligus nostalgia. Ada kalanya, saya cukup yakin, di mana Anda akan trenyuh, dan ada saatnya Anda akan bersorak. Tidak apa-apa. Itu wajar.