Laporan Studi Banding: Dikotomi Hati dan Otak dalam Nyetir Mobil di NKRI dan USA

Akhirnya, sejak punya SIM nyetir mobil lagi beberapa bulan yang lalu, saya mulai lagi intensif nyetir mobil (punya bapak). 5 dari 7 tahun yang saya habiskan di Amerika sangat bergantung pada mobil, dan nyetir mobil bagi saya sudah berevolusi dari pembelajaran, kegemaran, kenikmatan, dan bagian hidup yang tak terpisahkan. Bahkan, setiap musim panas sejak tahun 2012 sampai tahun 2016, nyetir adalah salah satu sumber penghidupan terpenting saya.

Tapi, nyetir mobil di Amerika dan nyetir mobil di Indonesia adalah dua binatang yang benar-benar berbeda*. Ini baru hasil perbandingan setelah tiga hari nyetir saja.

Yang ingin saya bahas kali ini adalah: nyetir mobil di Indonesia adalah urusan hati, sementara nyetir mobil di Amerika Serikat lebih merupakan urusan otak. Saya tidak bermaksud esensialis di sini. Saya tidak ingin dianggap orang Indonesia terlalu pakai hati dan orang Amerika cuma pakai otak. Tidak. Ini adalah urusan konstruksi sosial. Banyak-sedikitnya rambu, menurut analisis sementara saya, adalah penyebab dari semua ini.

Contoh dikotomi hati-otak yang pertama adalah soal kecepatan. Di AS, di setiap ruas jalan bisa dipastikan ada tanda batas kecepatan. Sebagai misal, di sebuah ruas jalan yang menghubungkan sebuah Interstate Highway ke bandara, kita lewat sawah, desa, sawah, bandara. Di daerah sawah, kita akan melihat tanda batas kecepatan maksimal adalah 55 mph, mendekati kota 40 mph, di kawasan desa 35 mph di sawah 55 lagi, dan memasuki bandara maksimal 45 mph sebelum turun menjadi 35 mph dan 20 mph. Jalannya berbelok-belok dan di setiap belokan ada tanda batas kecepatan baru untuk keselamatan. Asalkan kita mengikuti tanda batas kecepatan itu, bisa dibilang kita akan aman-aman saja, tidak akan selip dan kebablasan di belokan, tidak akan kerepotan ngerem kalau tiba-tiba ada orang menyeberang jalan. Dengan kata lain, kalau mau nyetir mobil dengan aman, kita perlu terus melakukan kognisi, menyerap informasi dan memprosesnya di otak.

Hal ini agak beda dengan kondisi nyetir di Indonesia (yang bagi saya hanya diwakili oleh perjalanan dari Sidoarjo ke Malang PP dan Sidoarjo-Kediri-Jombang). Nyetir mobil tiga hari ini bagi saya lebih dipandu oleh hati (dan otak secukupnya). Pertama, tidak ada tanda batas kecepatan yang membuat saya harus terus memastikan antara tanda dan speedometer. Kecepatan nyetir saya lebih bersifat kondisional. Kalau jalur lagi lempeng dan tidak ada halangan, ya saya bisa agak cepat. Tapi, karena jalannya bukan jalan tol, saya cenderung membatasi diri untuk tidak lebih dari 65 km/j. Bahkan, saya memilih untuk menjaga kecepatan antara 50-60 km/j. Ingat, tiga hari ini adalah hari pertama saya nyetir mobil sendiri di negeri tercinta ini. Itung-itung, itu kecepatan mengakrabkan diri dengan lalu lintas lah. Pada hari ketiga, ketika jalur lumayan lempeng dari Jombang ke Mojokerto, saya sempat ngegas sampai 70 saja–tapi saya berjanji tidak akan lagi banter-banter selain di jalan tol. Lagian, mau ngejar apa sih ngebut itu? Kembali lagi, selama perjalanan ini, kecepatan saya lebih dikendalikan oleh seberapa pantas kecepatannya, dan seberapa tidak berbahayanya kecepatan saya bagi saya sendiri maupun orang lain. Tidak ada tanda yang harus saya baca, saya kognisi, saya proses. Saya lebih menggunakan hati dengan mempertimbangkan para pengguna jalan lain di sekitar saya. Selebar apa rombong bakso yang diangkut orang dengan motor Vega-nya. Selebar apa kangkangan kaki ibu-ibu yang dibonceng suaminya naik N-Max tapi footstep-nya dipakai si anak yang duduk di tengah.

Tapi, kalau dipikir-pikir, pakai otak juga tidak dengan serta merta lebih baik mutlak dibanding pakai hati. Saya pernah lihat kasus-kasus tabrakan di Amerika yang terjadi karena ada orang yang tidak memperhatikan lampu merah nyelonong dan tertabrak motor lain yang memang punya hak jalan karena lampu memang hijau. Si penabrak tentunya tidak bersalah karena dia hanya mengikuti arahan lampu. Tapi, kalau di Indonesia, yang orangnya lebih awas ke pengguna jalan lain daripada ke rambu-rambu 🙂 ungkin saja kecelakaan macam itu bisa dihindari. Kira-kira sih.

Atau, mari kita lihat kasus di budaya populer. Ingat, kan film, Die Hard kesekian yang sub-judulnya Live Long and Die Hard ketika ada teroris yang mengancam menghancurkan Amerika Serikat dengan menyabotase internet? Di situ, dia bermain-main dengan pengendali lalu lintas. Di ujung terowongan A, dia buka jalur untuk mobil masuk. Di ujung lain terowongan A, dia juga buka jalur untuk mobil masuk. Alhasil, mobil-mobil yang kencang itu akhirnya saling bertabrakan. Kita bisa hubungkan itu dengan kenyataan bahwa pengguna jalan di Amerika cenderung lebih membaca (dan percaya) rambu-rambu lebih dari membaca sekeliling (pernah baca postingan “Memegang Setir seolah Memegang Buku” ini?). Menurut saya, kejadian di film-film action Amerika (termasuk juga film tentang Y2K yang menggambarkan bagaimana kekacauan lampu lalu lintas akhirnya menyebabkan kecelakaan massal di New York) adalah masuk akal adanya dan selaras dengan semangat berkendaraan di Amerika Serikat. Semoga saya tidak terlalu men-generalisir di sini.

Meski menggunakan hati bisa juga bagus dalam hal nyetir, saya perlu menekankan dalam paragraf tersendiri bahwa tanda batas kecepatan adalah sesuatu yang mutlak diperlukan saat ini, khususnya untuk jalan-jalan antar kota di mana para pengemudi bisa lupa daratan atau di jalan-jalan pegunungan yang berkelok-kelok (dan naik turun) yang seringkali berisiko fatal bagi yang pertama kali melewati jalur tersebut. Itu sudah!

Sementara ini dulu saja yang saya tuliskan di sini. Saya akan posting sekarang saja ini daripada berlarat-larat dan malah tidak jadi terposting. Tapi, sebelum saya akhiri, saya perlu sedikit humble-brag:  Indonesia adalah negara ibu saya dalam hal fisik. Saya terlahir dan besar dan (bisa jadi) menghabiskan masa tua saya di sini. Namun, Indonesia adalah negeri kedua saya dalam hal nyetir mobil. Saya belajar nyetir dari nol-putul di Arkansas nan permai dan jalannya sepi, meskipun saya juga pernah beberapa kali nyetir mobil di jalan-jalan Interstate Dallas yang buas, Tennessee yang berseri, Louisiana yang ceria, Kansas yang bablas, dan lain-lain. Semoga postingan ini bisa berlanjut dengan renungan hidup di jalan yang lain-lain.

 

* Maafkan atas idiom penuh gaya ini. Sebenarnya ini adalah contoh terjemahan jelek, yang sayangnya sudah menjadi satu bentuk cara ungkap tersendiri dalam prosa Indonesia (yang dianggap asyik) yang muncul baru-baru ini.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *