Pinggiran Kansas City: Mencari Masjid, Menemukan Saudara

Hal menarik masih belum berhenti terjadi sekembalinya saya dan keluarga kembali dari Simposium sastra di Manhattan, Kansas. Setelah melihat museum hidup yang tidak standar, Shoal Creek Living History Museum, kami masih menemukan satu hal lagi yang menurut saya tetap menarik. Kami mencari masjid tetapi justru menemukan orang Indonesia di tempat yang kurang standar ini.

Ketika masih berada di parkiran Shoal Creek Living History Museum, kami mencari tempat untuk makan siang. Kami mencari masjid dan restoran halal. Saya dengar ada sebuah masjid di kawasan pinggiran Kansas City, tepatnya di pinggiran sebelah utara Kansas City. Jadi, kami pun mencoba menuju ke tempat tersebut. Menurut GPS, kami nanti akan melingkari Kansas City untuk menuju ke bagian Selatan kota ini. Baiklah. Saya siap. Ketika itu, istri saya belum punya SIM, sehingga dia tidak berkesempatan untuk menyetir.

Setelah melewati jalur Interstate, tibalah kami di bagian selatan kota. Di situ, suasana seperti di pinggiran kota yang bahagia. Ada banyak taman dan pepohonan. Tapi, karena waktu itu musim dingin, yang kami lihat hanyalah pohon-pohon yang meranggas. Setelah beberapa saat berjalan ke arah selatan, kami tidak di lingkungan yang cukup asri, dan menurut GPS, semestinya di situlah masjid yang kami cari. Namun, yang ada di sana hanya seorang lelaki mungkin dari Pakistan dengan baju gamis panjang dan anak-anak laki-lakinya sedang bermain basket. Tidak tampak ada masjid di daerah itu. Saya menyempatkan bertanya sebentar kepada brother yang ada di sana, tapi katanya tidak ada masjid di daerah itu. Sepertinya memang ini bukan masjid. Tapi kawasan pinggiran ini begitu mengingatkan saya pada masjid-masjid yang ada di kota-kota lain, terletak di kawasan yang terkesan lebih rendah tingkat ekonominya.

Karena tidak menemukan masjid itulah akhirnya saya memutuskan mencari yang lain, tepatnya sebuah restoran dan toko asia. GPS membantu kami menemukan tempat yang kami inginkan tersebut. Ternyata tempatnya tidak jauh-jauh dari tempat yang tadi kami kira adalah masjid. Tokonya berada di sebuah kompleks pertokoan kecil yang berbentuk seperti sebuah persegi dengan toko-toko melingkar di sisi menghadap ke dalam ke jalan yang melingkar seperti donat. Dan di bagian inti terdapat sejumlah toko yang menghadap ke jalan seperti donat tadi. Asian Store berada di bagian paling dalam kompleks ini.

Di Asian Store itu, kami membeli barang-barang yang kami butuhkan dan yang dipesan kawan-kawan kami di Fayetteville. Satu tradisi unik di komunitas warga Indonesia di Fayetteville adalah ketika seseorang bepergian ke kota lain dan mampir di Asian Store yang ada di kota tersebut, orang tersebut biasanya menelpon kawan-kawan lain yang ada di Fayetteville untuk menerima titipan. Itu pula yang kami lakukan waktu itu.

Waktu belanja itu, kami melihat ada restoran yang menawarkan makanan Pakistan di Asian Store tersebut. Kami pun tidak melewatkan kesempatan tersebut dan memesan makanan untuk dimakan di sana. Maka saya pun memesan sup lentil dan sejenisnya di sana, salah satu jenis sup yang dulu sering saya buat dengan batuan teman satu apartemen saya yang berasal dari Bangladesh. Seperti biasa, sambil makan kami ngobrol dengan bahasa kami sehari-hari, bahasa Jawa dan Indonesia dan Inggris. Dan seperti biasa, kami tidak terlalu mengurangi volume perbincangan kami, asal tidak mengganggu tapi tidak juga terlalu diam.

Di situlah menariknya, seorang perempuan yang awalnya duduk di meja lain bersama seorang lelaki Asia Selatan menghampiri kami dan bertanya:

“Assalaamualaikum. Saya tadi dengar ngobrolnya. Nama saya Nia. Sodara-sodara ini dari mana?”

“Dari Indonesia.”

“Hehehe… ya pasti. Tapi dari mana di Indonesia?”

“Oooo… dari Malang.”

Dan perbincangan pun berlanjut agak panjang. Dan tidak terlalu lama sejak perbincangan itu, bu Nia ini mengajak lelaki Asia Selatan yang tadi duduk bersamanya untuk menghampiri kami. Bu Nia memperkenalkan lelaki itu sebagai suaminya. Asal Bu Nia dari Jakarta dan suaminya adalah orang Pakistan.

Setelah berbincang panjang lebar itu, tahulah saya bahwa suami Bu Nia itu adalah seorang pemborong. Kompleks pertokoan ini adalah salah satu hasil borongannya. Seperti biasa, karena orang Indonesia di Amerika Serikat itu relatif sedikit, jadi kebanyakan mereka saling kenal atau tidaknya punya teman bersama. Apalagi yang tinggal di satu negara bagian yang sama, yang kebetulan orang Indonesianya sedikit, seperti Missouri ini. Kami segera tahu bahwa Bu Nia ini kenal kawan kami yang menjadi imam di Joplin, Missouri, dan sesekali bertemu untuk mengikuti acara bersama.

Maka demikianlah pencarian kami akan masjid, yang ternyata mempertemukan kami dengan saudara, orang Indonesia lain, yang telah lama tinggal di Amerika dan sudah mencapkan akarnya.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *