Ketika saya pulang dari simposium dan bertemu seorang Indonesia yang bersuamikan pemborong asal Pakistan di pinggiran Kansas City itu, banyak hal yang bermain di kepala saya. Saya segera terpikir tentang orang-orang dari Timur Tengah dan Asia Selatan yang banyak di antaranya sukses mencapai impian mereka di Amerika dengan berbagai pekerjaannya. Dalam keadaan seperti itu, penilaian orang Amerika akan orang-orang non-Amerika akan berubah. Di sini, hasil kerja lebih penting daripada asal-usul seseorang. Urusan asal-usul yang semestinya tidak terlalu penting (tidak sepenting performa kita saat ini) adalah juga topik dari makalah (terkait novel Origin karya Diana Abu-Jaber) yang saya sajikan di simposium di Kansas State University di Manhattan itu. Dan kisah-kisah seperti itu bisa ditemukan di mana saja–bagi mereka yang mau mencari.
Suami ibu Nia yang saya temui di restoran di pinggiran Kansas City itu kontraktor yang sepertinya hidupnya cukup makmur. Dan beliau bukanlah satu-satunya pemborong berlatar belakang imigran. Di Fayetteville, Arkansas, tempat saya belajar, ada juga imigran yang sangat sukses sebagai pemborong. Sebut saja namanya Bayyari. Bayyari datang pada dekade 1980-an dari Palestina, tepatnya di Tepi Barat. Dia datang dengan beberapa dolar saja di kantongnya, dari Palestina, tepatnya di Tepi Barat. Dia kuliah di Chicago dan berjuang kanan kiri. Ketika lulus kuliah, dia mulai bekerja secara profesional dengan keras. Dia menjadi seorang kontraktor dan karirnya menanjak dengan stabil, hingga akhirnya dia sangat berhasil–bahkan ada taman publik dengan namanya di Fayetteville, Bayyari Park.
Bayyari dan suami ibu Nia ini adalah orang-orang yang diuntungkan atau dibuka jalannya oleh Undang-undang Hart-Celler di Amerika Serikat pada tahun 1965. Undang-undang ini pada intinya membuka jalur imigrasi Amerika buat orang-orang dari segala penjuru dunia bukan berdasarkan warna kulitnya, tapi berdasarkan kualifikasinya. Hal ini berbeda dengan sebelumnya, di mana kemungkinan bermigrasi dan menjadi warna negara Amerika adalah milik orang-orang Eropa saja. Undang-undang ini merupakan salah satu buah dari perjuangan hak sipil pada akhir dekade 50-an dan pada dekade 60-an.
Nah, yang lebih menarik lagi dari kisah Bayyari itu adalah salah satu hal yang dia lakukan–yang menurut saya tidak terlepas dari tema hubungan antara asal-usul dan kinerja saat ini. Hal ini terkait dengan salah satu bangunan yang dia galang pembangunannya: sebuah sinagog, tepat ibadah pemeluk agama Yahudi, Yudaisme. Sebagai seorang kontraktor yang berhasil dan punya banyak duit, Bayyari juga berfilantropi. Ketika warga Yahudi di Fayetteville ingin membangun sinagog tapi biayanya masih belum mencukupi, Bayyari membantu membangunkan tanpa menarik biaya. Di sini, komunitas Yahudi di Fayetteville hanya perlu menyediakan bahan-bahan bangunan, dan Bayyari dan karyawan yang dia bayar membangun sinagog tersebut.
Pasti langsung terasa ada yang ganjil di sini: seorang Palestina membangun tempat ibadah agama Yahudi, sementara di Palestina sendiri saudara-saudara sebangsa Bayyari hidupnya dibikin sengsara oleh orang-orang Israel, yang beretnis Yahudi dan mendirikan negara Israel dengan klaim bahwa itu yang diinginkan agama Yahudi. Ya, begitulah adanya. Seorang Palestina membangun tempat ibadah agama Yahudi, tapi di Amerika. Di sini, kita bisa melihat bahwa Bayyari adalah orang yang bisa melihat dengan tegas batas-batas antara agama dan politik, batas-batas antara agama Yahudi dan Zionisme (paham bahwa perlu ada negara Yahudi dengan keyakinan itu yang diinginkan oleh agama Yahudi). Bayyari bisa melihat bahwa tidak semua orang Yahudi mendukung zionisme dan zionisme bukanlah praktik keberagamaan Yahudi. Bayyari percaya semua orang berhak beribadah, termasuk yang beragama Yahudi, dan membantu orang yang beribadah adalah baik baginya. Tidak jadi masalah meskipun orang Yahudi yang ada di Fayetteville itu mungkin berasal dari asal-usul yang sama dengan orang-orang Yahudi yang ada di Israel. Asalkan saat ini orang-orang tersebut bukan termasuk pendukung zionisme atau pendukung represi Israel terhadap Palestina.
Sebenarnya kisah ini bisa ditemukan secara online di Vimeo, dalam sebuah video yang dibuat oleh kawan baik saya, Hayot Tuychiev, seorang dosen jurnalisme asal Kazakhstan yang bekerja di kampus tempat saya belajar. Dalam video tersebut, tampak interaksi antara komunitas Yahudi dan Bayyari dalam membuat bangunan sinagog tersebut. Di tengah-tengah itu, terdapat pula seorang arsitek kulit putih (dan kebetulan Kristen) yang merancang bangunan sinagog tersebut. Si arsitek, Brett Park, yang kebetulan saya kenal pribadi karena sama-sama wali murid di sekolah tempat anak saya belajar, juga memberikan sumbangan berarti: dia mengubah desain sinagog yang awalnya terdiri dari altar dan lorong, yang bagi dia lebih menyerupai salib dan lebih cocok untuk gereja daripada untuk sinagog.
Oh ya, selain membangun sinagog, Bayyari ini juga membangun masjid di Fayetteville, Arkansas, dengan cara yang sama, membantu membangunkan masjid dengan bahan yang sudah disiapkan oleh komunitas Muslim (di mana dia juga terlibat di dalamnya). Bantuan ini memungkinkan komunitas Muslim di Fayetteville memiliki masjid sendiri, tepat di sebelah kampus (sekarang dikelilingi parkiran kampus). Dia juga baru-baru ini menyumbang 1 juta dolar untuk pembangunan rumah sakit anak di wilayah Arkansas Barat Laut. Tapi, karena soal membangun masjid ini tidak berkaitan langsung dengan topik soal asal-usul dan performa saat ini, maka belum pas rasanya kalau saya bercerita tentang itu di sini. Saya yakin akan ada kesempatan lain untuk bercerita tentang pembangunan masjid tersebut. Biarkanlah postingan ini saya tutup dengan menegaskan: esensialisme (bahwa orang dari asal-usul tertentu hanya bisa berlaku tertentu) semestinya kalah oleh kenyataan yang menunjukkan bahwa pada akhirnya, yang lebih harus dinilai adalah prestasinya. Novel Origin karya Diana Abu-Jaber dan kisah Bayyari bercerita tentang itu.