Sastra Populer: Riwayat Pertemuan

Sastra Populer adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan saya sebagai pribadi maupun sebagai profesional. Maksudnya adalah, di kampus saya ngajar tentang fiksi pop dan di luar kampus saya juga banyak membaca dan menulis tentang sastra populer. Hari-hari ini saya bertanya-tanya: sebenarnya sejak kapan sih saya dekat dengan sastra populer itu?

Sastra Populer Pertama: Cinta-cintaan

Ada beberapa momen dalam hidup yang bisa saya catat sebagai pertemuan dengan sastra populer. Yang pertama tentu saja lewat Anita Cemerlang, sebuah majalah bulanan yang kaya dengan cerpen remaja yang kurang lebih masuk ke genre roman populer. Saya kenal majalah ini waktu kelas 1 atau 2 SMP. Saya menemukannya di salah satu lemari kayu di rumah nenek yang ada di depan rumah orang tua waktu itu. Awalnya saya terpesona dengan ilustrasi-ilustrasinya yang manis dengan paduan antara cat air dan arsiran. Kemudian, begitu mulai membaca ceritanya, saya segera saja terhanyut.

Kalau tidak salah mengingat, majalah Anita Cemerlang pertama yang memukau punya gambaran seperti ini: Salah satu cerpen yang paling saya sukai di sana berjudul “Setelah Enam Tahun” yang kisahnya berkutat pada anak SMA yang menyukai teman sekelasnya tetapi mungkin tidak jadi. Enam tahun kemudian, dalam acara reuni, mereka anak SMA ini bertemu anak yang dulu dia sukai. Sekarang sama-sama suka. Cerpen lainnya yang saya ingat berlatar Tomohon. Dan cerpen terakhir yang tetap membekas berlatar di Palangka Raya, khususnya bandara Tjilik Riwut. Saya baca majalah ini berulang-ulang. Nah, di saat EBTA praktik kelas 3 SMP, saya reproduksi ilustrasi dari “Setelah Enam Tahun” dan sepertinya hasilnya bagus. Menurut seorang kawan, karya saya itu dibawa guru seni rupa dan dipamerkan ke kelas-kelas lain.

Cerita Misteri

Persentuhan lain dengan sastra populer terjadi kurang lebih pada masa yang sama, yaitu melalui majalah Liberty. Majalah Liberty ini adalah sebuah majalah terbitan Surabaya yang isinya banyak membahas hal-hal mistis. Iya, iya, di akhir-akhir memang Majalah Liberty ini semakin “seronok” dan banyak berisi foto seksi, tapi tolong dengar dulu cerita saya. Awalnya, majalah ini berbicara tentang hal-hal yang bersifat supranatural. Topik-topik yang dibahas antara lain penggunaan ajian Celeng Srenggi untuk mencari pusaka, penemuan keris raksasa dengan cap jari “pembuatnya,” praktik ritual pesugihan Kandang Bubrah, dan sejenisnya. Nah, di setiap episode, pasti ada bagian cerpen yang kayaknya bertajuk “Cermis” alias “Cerita Misteri.” Ada banyak judul yang saya ingat (dan agak-agak ngeri mengingatnya) antar lain “Misteri Kota Glenmor,” “Gadis Ranu Kumbolo” dan lain-lain.

Saya memang penakut, tapi itu tidak menghentikan saya membaca cerita misteri. Waktu SD, orang tua pernah melaporkan ke wali kelas bahwa saya penakut. Saya memang tidak berani ke kamar mandi sendiri (dan minta diantar). Wali kelas saya itu, Pak Mahfud namanya, bahkan sampai “mendudukkan” saya pada jam istirahat dan bertanya apa sebenarnya yang ada di pikiran saya waktu tidak berani ke kamar mandi itu. Tapi, uniknya, saya sangat menikmati cerita-cerita misteri yang ada di majalah Liberty itu. Rasanya, dengan cerita-cerita itu, kita bisa mengalami kejadian menakutkan tanpa harus mengalaminya sendiri. Dengan kata lain, cerita misteri menjadi pengalaman tingkat kedua bagi saya. Oh ya, ada lho yang pernah nulis skripsi meneliti majalah Liberty ini.

Cerita Detektif, Aksi, dan lainnya

Selanjutnya, ketika saya mulai baca novel bahasa Inggris, saya berkenalan dengan Agatha Christie. Waktu itu sudah kuliah dan sepertinya masih semester pertama. Saya meminjam buku The Murder of Roger Ackroyd dari perpustakaan IKIP Malang dpm Universitas Negeri Malang. Teman sekamar saya mas Syarifuddin sempat bilang ke saya bahwa dia tidak terlalu suka novel detektif. Saya sendiri suka novel detektif karena sejak SMP sudah suka nonton film detektif. Pada salah satu momen nonton film semalam suntuk dalam rangka ulang tahun SCTV (tanggal 24 Agustus ya!), saya sempat menonton film detektif berjudul Murder 101 yang menampilkan Pierce Brosnan sebagai dosen ilmu hukum khusus urusan pembunuhan. Makanya, ketika tahu ada novel karya Agatha Christie, saya langsung baca. Saya tidak menyesal baca novel itu.

Puncaknya adalah setelah lulus kuliah dan menjadi penerjemah, saya berkesempatan mendapat job menerjemahkan memoar Sidney Sheldon. Karena tahu bahwa Sidney Sheldon adalah seorang novelis cerita aksi, roman, dan detektif, saya pun langsung melipir ke perpustakaan komik/novel sewa di depan gerbang kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Di situ saya cari novel-novel populer berbagai genre terbitan Gramedia Pustaka Utama. Tujuannya sederhana: agar saya akrab dengan gaya bahasa yang dipakai dalam penerjemahan novel populer di GPU. Saya sempat baca beberapa novel Sidney Sheldon, Danielle Steele, Michael Chrichton, dan lain-lain. Semua itu saya lakukan sebelum saya menerjemahkan memoar Sidney Sheldon ini.

Memoir Sidney Sheldon, sang master sastra populer
Memoir Sidney Sheldon, sang master sastra populer

Membaca karya-karya fiksi populer terbitan gramedia ini berlangsung selama beberapa saat. Alhasil, ketika saya merampungkan terjemahan memoar The Other Side of Me ini, saya sudah membaca banyak karya sastra populer dan merasa agak-agak akrab. Beberapa fiksi ilmiah dari Michael Chrichton saya baca dan beberapa cerita aksi dari Sidney Sheldon juga saya nikmati.

Tapi, semua itu cenderung ada di tepian hidup saya. Bacaan-bacaan saya tetap didominasi karya-karya sastra yang biasanya disebut “fiksi sastra” atau “sastra serius.” Hal itu karena yang banyak dibahas dalam tulisan-tulisan yang saya baca adalah karya-karya semacam itu. Dan, ketika sudah mulai studi lanjut, yang banyak dibahas adalah karya-karya fiksi sastra atau sekalian film. Sastra populer tidak banyak menjadi sajian keseharian saya.

Baru kemudian, setelah urusan sekolah formal di tingkat lanjut itu usia, dan saya mulai menjadi dosen, saya bersentuhan lagi dengan fiksi populer. Saya beruntung, di Universitas Ma Chung ada mata kuliah yang memberikan apresiasi khusus terhadap pengenalan dan eksplorasi atas fiksi populer. Di situ saya kembali lagi mengeksplorasi karya-karya fiksi populer dan mempelajari kajian-kajian teoritis atas karya-karya tersebut. Sepertinya, di sinilah salah satu bagian yang dulunya ada di marjin bacaan saya sekarang sudah menjadi arus utama. Di sinilah kelangenan atau hobi bertemu dengan profesi dan keseriusan. Oh ya, kalau kawan-kawan mau mulai mengenali fiksi populer secara sistematis, ayo main ke sini dan ikut…

Begitulah ceritanya bagaimana saya sudah mendapatkan perkenalan sedikit demi sedikit dengan novel populer. Yang belum saya ceritakan adalah jawaban atas pertanyaan: apa sih pentingnya belajar sastra populer dan teori tentang sastra populer? Untuk itu, ada waktu lain untuk menjawabnya.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *