Honda Win, Organisme Hidup, Memilih Penunggang

Beberapa malam lalu saya dihubungi seorang kawan baik: “Kalau sampean mau melepas Honda Win, sekaranglah waktunya.” Begitu kata kawan saya itu sambil memberikan link ke halaman ini. Artikel yang ditautkan itu berbicara tentang bagaimana Honda Win kini menjadi anomali karena harganya yang melambung tanpa alasan yang HQQ.

Alih-alih senang, saya langsung memencongkan bibir saat melihat pesan tersebut. Kenapa? Begini ceritanya.

Pertama-tama, yang baik dulu. Pesan singkat itu membuat saya merenung dan bertanya-tanya: mungkin sebuah tren tidak perlu alasan HQQ untuk terjadi. Terus apa yang diperlukan? Mungkin yang dibutuhkan hanya orang-orang iseng dengan cinta dan ketulusan melakukan hal-hal tertentu.

Tapi ayo kita cek kenyataan: beberapa tahun terakhir ini, kita semakin mudah menemukan Honda Win di jalanan. Di sini saya menggunakan Malang sebagai tolok ukur, karena kebetulan saya tahu seperti apa Malang. Pemakai Honda Win biasanya orang-orang yang kerja (dimodifikasi untuk mengangkut galon-galon air mineral), orang setengah tua (yang mungkin bernostalgia dengan masa ketika Honda Win populer sebagai kendaraan untuk kota maupun medan sulit), orang dinas (memakai Honda Win plat merah), atau anak muda retro dan indie dan hipster, dan penggemar offroad tapi pingin motor santai kota-kota (seperti mas Totok pemilik bengkel di kawasan Jl. Candi VI itu).

Meskipun saya awalnya memilih Honda Win ini karena mencari kendaraan praktis buat ke gunung-gunung untuk hiking bersama anak, kayaknya saya juga masuk ke kelompok hipster dan indie itu (yang tidak setuju silakan demo). Saya memilih Win (atas saran kawan offroader) pada saat sepeda ini mulai naik daun. Tapi, saya suka menghibur diri juga bahwa saya juga turut andil membuat Honda Win semakin booming melalui tulisan saya di Mojok.co (saya tahu 97% pembaca postingan ini akan protes–tapi dengan cara apa lagi saya bisa membahagiakan diri saya selain dengan mengambil kredit atas kejadian hebat begini?). Sejujurnya, memang sebelum memilih Honda Win, saya sempat survei di internet, melihat ke jalan, dan ngobrol dengan pengendara Honda Win waktu menunggu lampu merah berubah hijau.

Bersantai di Depan Gardu Jaga

Banyak hal unik yang saya lalui dengan Honda Win dan saya sudah beberapa kali tuliskan tentang itu di blog ini. Dan hari-hari kemarin itu sebenarnya saya sudah mau biarkan Honda Win saya itu memilih penunggang yang lain. Tapi entah kenapa sampai saat ini dia belum menentukan pilihannya dan masih minta bersama saya.

Oh iya, perlu saya ingatkan: saya tidak akan menjual Honda Win saya. Saya hanya membiarkan dia memilih penunggang barunya. Bagaimana mungkin saya menjual dia, lha wong dia itu bukan benda mati. Dia itu sebenarnya adalah organisme utuh yang punya kehendak bebas. Dia ini mm… mirip dengan Belalang Tempur atau Battle Hopper yang dikendarai oleh Ksatria Baja Hitam itu. Honda Win saya itu sebenarnya bernama La Poderosa III atau juga kadang-kadang saya panggil Battle Hopper. Ya, kira-kira sejak dia memilih saya jadi penunggangnya, saya tiba-tiba saja tahu namanya La Poderosa III. Karena alasan ini pula, waktu beberapa bulan setelah menunggang La Poderosa III saya membaca buku Sabda Armandio 24 Jam Bersama Gaspar dan ketemu karakter Cortazar (Binter Merci), saya sangat bisa memahami Gaspar dan segala problematika hidupnya yang tragis itu. Kami ini orang yang mendapat karunia dipilih oleh organisme motor. Begitu juga Ksatria Baja Hitam.

Kembali ke topik, saya sempat terpikir untuk membiarkan Honda Win saya itu memilih pemiliknya. Tapi, ternyata oh ternyata, dia masih enggan untuk pergi. Jadi ya sekarang ke mana-mana saya masih menunggang Honda Win itu.

Satu hal unik yang perlu saya ceritakan untuk menutup ini adalah bahwa Honda Win itu bukan hanya kendaraan bermotor. “Membeli” Honda Win itu seperti menikah. Saat menikah, Anda tidak hanya mendapat suami/istri, tapi juga seluruh keluarganya. Nah, saat Anda “membeli” Honda Win, Anda tidak hanya mendapat satu motor, tapi Anda juga mendapatkan keluarga. Saya ingat sekali, waktu awal-awal saya menunggangi Honda Win pada tahun 2017, saya sering berpapasan dengan orang di jalan yang ngedim dan mengklakson dan tersenyum. Setelah saya perhatikan, ternyata dia mengendarai Honda Win. Ternyata itu salah satu saudara yang saya dapatkan bersama Honda Win.

Jadi ya, begitulah. Kalau pun sekarang ada yang bilang harga Honda Win melambung tinggi dan kata kawan “sekarang waktunya melepas Honda Win,” saya anggap itu sebagai tren duniawi yang akan berlalu seperti Gelombang Cinta atau Lovebird. Semua itu akan berlalu. Buat saya sendiri, bagaimana mungkin saya bisa menjual organisme motor yang hidup? Apa tidak malu kalau anak cucu saya nanti menganggap saya melakukan praktik perbudakan?

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

2 comments

Thomas Didimus Hugu says:

“Saya hanya membiarkan dia memilih penunggang barunya” Sepintas terasa seperti orang – orang di kampung nelayan spesialis penangkap ikan raksasa di Lembata yang menolak kata “hunting” dari lembaga – lembaga yang menginginkan penghentian penangkapan. “Kami tidak memburu, merekalah yang mendatangi kami, karena kami saling mengerti. “

Halo, Pak Thomas. Ini sukap masyarakat yang merasa tidak menjadi pusat semesta. Seperti halnya orang-orang yang memiliki keris merasa bahwa ketika keris itu masih mereka pegang itu artinya keris itu memang memilih mereka. Ehem.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *