Mengembalikan Book Sharing Club

Bagian paling menyenangkan dalam hidup saya, Book Sharing Club di Universitas Ma Chung (yang di awalnya pernah saya tulis di sini), sudah bisa berjalan sendiri. Book Sharing Club yang diawali beberapa tahun yang lalu oleh beberapa kawan saya dan saya itu, sekarang dijalankan sepenuhnya oleh mahasiswa. Saya dan kawan-kawan saya kini hanya ikut sebagai peserta saja.

Minggu kemarin milestone itu tercapai. Saya mulai sibuk dengan sejumlah urusan lain, kesibukan dan tanggung jawab baru di prodi Sastra Inggris. Demikian juga kawan-kawan lain yang paling rutin ngobrol buku. Rata-rata mereka semua mulai dilanda kesibukan dengan tanggung jawab yang semakin bertambah. Ada yang seperti Pak Adit, yang kegiatannya bertambah terdampak peralihan administrasi kampus ke para pejabat baru yang menggunakan cara memimpin baru dan membutuhkan skuadron tambahan. Ada juga yang seperti Pak Rokiy, yang baru-baru ini mulai sibuk karena proyek eng-ing-eng baru yang semakin menyita tenaga.

Singkat kata, hal-hal baru itu mengurangi jam kami untuk bisa mengerjakan proyek-proyek pribadi atau profesional yang sifatnya, ehem, pengembangan kemampuan diri, misalnya melalui membaca buku, menulis ini-itu, mendiskusikan buku, dan sejenisnya. Tapi, khusus untuk saya sendiri, saya punya keyakinan kesibukan yang luar biasa ini hanya di awal saja. Begitu saya menemukan ritme saya, seperti di masa-masa sebelumnya, saya akan mulai bisa kembali bergelut dengan hal-hal yang membuat saya terus bergairah itu (baca, tulis, ngobrol—dan nonton juga lah).

Kembali ke Book Sharing Club, karena kegiatan ini sangat penting untuk menciptakan a sense of community di kalangan orang-orang yang suka membaca berbagai macam, maka perlulah kiranya memastikan bahwa gerombolan pembaca buku ini terus bisa bertahan, terus membaca dan mengobrolkan bacaannya. Lagipula, kelompok-kelompok seperti inilah yang membuat orang terus mendapatkan hal baru dan terpancing untuk terus belajar.

Sebab itulah, dan diilhami oleh keinginan luhur Pak Adit agar kelompok ini seperti wajarnya kelompok-kelompok diskusi di kampus (yang dijalankan mahasiswa), saya dan kawan-kawan menawarkan ke mahasiswa untuk menjadi motor utama yang menjalankan Book Sharing Club ini. Mereka yang menjadwalkan, mencari tempat, dan menentukan siapa yang akan sharing buku. Kami—tentu saja kami tidak akan kabur begitu saja. Apalagi sampai berhenti membaca buku. Amit-amit jabang boss baby! Kami akan terus ikut begitu ada kesempatan yang memungkinkan kami terus ikut.

Sekadar informasi, selama ini Book Sharing Club ini sangat organik dan natural. Saya tidak akan membahas di mana organiknya. Tapi, saya harus tegaskan bahwa organisasi ini natural karena pertemuannya terjadi secara natural ketika para eksponennya punya keluangan waktu, ketika jadwal di kampusnya tidak melibatkan orang lain. Jadi, jam-jam yang biasanya bisa dipakai untuk membaca dan menulis itu kami gunakan untuk ketemu dan ngobrol buku. Tapi, ada masalahnya, pertemuannya jadi sporadis dan sulit ditebak. Khalayak yang menanti-nanti jadi tidak tahu kapan Book Sharing Club ini akan muncul. Akhirnya, begitulah, pernah ada suatu semester (tepat dua semester lalu, Gasal 2018-2019) ketika kami hanya melakukan pertemuan satu kali, dan itu pun dihadiri oleh 3 orang saja. Sedih kan? Menyentuh kan? Kayak iklan Thailand, kan? Sad but true, sobat ambyar!

Tapi, kini, dengan infused water, dengan darah segar, dengan aliran extra joss milenial, saya jadi optimis lagi Book Sharing Club akan lebih baik, lebih aktif, dan lebih organik. Tapi saya tetap tidak akan mendefinisikan di mana organiknya. Dengan semangat mahasiswa yang merupakan warga asli dari era jaringan, yang semoga akan tumbuh menjadi netokrat-netokrat dan kognitariat-kognitariat unggul ini, Book Sharing Club akan lebih menarik, lebih bergairah, lebih berani mengadakan ini-itu.

Eh, jangan-jangan yang kami lakukan ini sebenarnya hanya mengembalikan Book Sharing Club kepada pemilik sahnya? Kalau memang demikian, bagus.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *