Madu: Ujian Puasa Hari pertama

Satu kenangan Ramadhan paling awal tentu saja Ramadhan di Sidoarjo. Tapi, kejadiannya sendiri bukan di Sidoarjo. Ketika itu suatu pagi saat sekolah libur karena awal Ramadhan. Saya ikut bapak ke sekolah, ketika masih menjadi guru di SD Purwojati I, Ngoro, Mojokerto. Setelah di sekolah, saya diajak bapak ke Trawas. Di situlah saya menyadari bahwa orang-orang menganggap Ramadhan itu serius.

Perjalanan ke Trawas selalu menyenangkan bercampur ngeri buat saya. Kami naik motor dan saya dibonceng di belakang. Tujuan kami ke Trawas kali itu adalah ke kantor Perhutani. Kantor perhutani yang kami kunjungi saat itu ada di pintu masuk kawasan Trawas dari arah Mojosari. Tempatnya di sebelah utara jalan raya. Ketika itu saya ingat halamannya cukup luas dan di sekelilingnya terdapat pohon-pohon pinus. Saya sering melihat gelondongan kayu pinus tertumpuk di sekitar halamannya.

Ketika memasuki ruangan kantor, saya ingat selalu melihat botol-botol madu di atas meja. Madu yang di botol-botol itu diambil dari lebah yang diternak di situ juga. Saya ingat melihat rumah lebih di salah satu sudut halaman. Kunjungan saya dan bapak ke sana ternyata untuk membeli madu asli. Memang biasanya kami beli madu di sana.

Begitu sampai di sana, kami mendapat satu botol madu dan dijamu dengan perbincangan tentang keaslian madu yang disajikan. Di beberapa sentimeter paling atas di botol itu selalu ada material padat yang berasal dari serpihan rumah lebah. Melihat madu yang begitu lezat, saya langsung ingin ditawari mencicipinya.

Tapi, saya heran karena kali itu kami tidak ditawari mencicipinya. Padahal, biasanya salah satu ritual membeli madu adalah mencicipinya. Bapak dan salah satu pegawai Perhutani hanya mengobrol. Saya tunggu saja sampai orang-orang tua itu mengajak kita semua mencicipi. Nyata mereka hanya ngobrol terus.

Setelah agak lama tanpa kejelasan, saya akhirnya mengambil inisiatif: “Boleh nggak dicicipi dulu, Pak?”

Bapak menoleh ke saya dan berkata (dalam bahasa Jawa tentunya): “Lho, kan hari ini puasa?”

Saya langsung tersentak. Wah, betul juga. Ternyata hari itu adalah hari pertama puasa. Makanya hari itu tidak ada teh sama sekali di semua tempat yang kami kunjungi. Mungkin ini yang dinamakan ujiannya orang puasa.

Tak lama kemudian, kami pulang lagi ke Sidoarjo dari Trawas. Begitu sampai di rumah, ketika bedug berkumandang, saya langsung buka puasa. Saya bersyukur bisa melewati sebuah ujian yang cukup berat. Oh ya, perlu saya sampaikan bahwa itu suara bedug dhuhur.

Setelah berbuka, saya melanjutkan hari seperti biasanya. Masih ada beberapa jam lagi sebelum saya berangkat mengaji pada sore harinya. Oh iya, waktu itu masih dhuhur. Saya mereka benar-benar telah melewati ujian yang maha berat.

Mungkin ujian berat itu yang membuat saya sampai sekarang tidak pernah melupakan kunjungan ke Trawas pada hari pertama puasa itu.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *