Baru satu minggu lebih sedikit saya kuliah di Fayetteville, Arkansas, Ramadhan sudah tiba. Ketika itu Ramadhan jatuh pada bulan September, di semester musim gugur. Suasana sudah tidak lagi panas, untungnya. Hawa berangsur-angsur turun dan matahari berangsur-angsur menjadi kuning hangat, dari sebelumnya putih panas. Tapi, tetap saja siang masih cukup lama. Maghrib masih di atas jam 7. Tapi buat saya yang masih “bulan madu” di Arkansas, hanya ada kebahagiaan dan melankoli di puasa itu.
Saya langsung takjub dengan tradisi berbuka bersama di masjid Islamic Center of Northwest Arkansas. Pada tahun 2008 itu, masjid ICNWA masih punya tetangga kanan kiri depan belakang. Sekarang tempat itu sudah dikepung tempat parkir hasil kampus membeli bangunan-bangunan milik pribadi di sekeliling masjid. Masjidnya sendiri tidak terbeli karena komunitas Muslimnya mungkin belum ingin menjualnya. Pada tahun 2008 itu, masjid ICNWA baru saja berdiri. Bentuknya kotak seperti kardus, ada fasad berbentuk kubah, dan ada tanaman di sekelilingnya.
Setiap sore, setelah dari menghabiskan waktu di perpustakaan atau Student Union, bangunan yang punya berbagai fasilitas untuk nongkrong, belajar, makan, dll., saya langsung genjot sepeda gunung Mongoose yang saya beli dari Bang Ayi, mahasiswa asal Aceh yang sebelumnya tinggal di apartemen yang saya tempati waktu itu. Perjalanan ke masjid dari kampus bisa sangat cepat dan saya sangat ikhlas. Kenapa ikhlas? Karena posisi kampus University of Arkansas berada di puncak bukit di tengah kota Fayetteville, sementara masjidnya berada tepat di kaki bukitnya. Jadi ya langsung saja tinggal tlusur melewat berbagai belokan dan akhirnya tiba di sana. Begitu tiba di masjid, saya langsung ke pojok dan menalikan sepeda saya di salah satu bagian tempat sampah raksasa atau ke panggangan, bila tidak sedang dipakai.
Di luar biasanya banyak brother yang ngobrol. Ada anak-anak berkejar-kejaran juga. Sementara itu, di dalam biasanya sudah ramai. Para brother dari Arab Saudi, Uni Emirat, dan Jordan suka memasak. Mereka sangat gemar memasak ayam dibumbu semacam kari gaya Arab. Biasanya ayam yang dimasak ini sangat berminyak. Selain itu, selalu juga ada salad, biasanya salad iceberg lettuce dengan dressing mayonaise atau minyak zaitun plus lemon. Dan, yang tak kalah pentingnya, nasinya selalu nasi bashmati. Orang-orang Arab dan Pakistan seingat saya tidak pernah memasak beras Thailand atau beras seperti yang biasa kita makan di Indonesia.
Dan, yang tak kalah menariknya adalah, ada sebuah meja bundar warna putih khusus untuk menaruh minuman. Di meja itu, kita bisa melihat berbagai macam minuman soda, mulai yang standar seperti Sprite, Coca Cola, dan Fanta, sampai yang non standar seperti Dr. Pepper atau yang lain-lain. Di situ juga biasanya ada jajanan, entah itu kurma, kunafeh, mamool, dan sebagainya.
Sementara itu, di lantai masjid yang tertutup karpet sangat tebal dan empuk, seperti karpet rumah-rumah Amerika Standar, sudah tergelar sekitar 4 larik plastik alas makan sekali pakai. Di situ sudah tersebar mangkuk-mangkuk kecil styrofoam berisi kurma. Gelas-gelas plastik juga tampak masih menumpuk di banyak bagian. Ada beberapa botol soda satu setengah literan tersebar menemani tumpukan gelas-gelas plastik itu. Ah, buka kami selalu penuh plastik.
Banyak di antara kami yang biasanya sudah duduk-duduk bersila menghadap alas makan itu sambil berbincang tentang ini itu. Para jamaah sangat beragam, banyak wajah Arab dari Saudi, Yordania, Kuwait, Irak dan lain-lain. Banyak wajah Asia selatan juga. Terkadang juga cukup banyak wajah Asia Tenggara dari Indonesia dan Malaysia. Ada juga satu keluarga Afrika-Amerika. Dan, seringkali, ada juga satu dua wajah kulit putih, entah itu kawan dari salah satu anggota jamaah, maupun keluarga kawan saya Len yang waktu itu masih tinggal di desa dan sesekali saja main ke Fayetteville waktu Ramadhan.
Saya hentikan saja ini di sini sebelum adzan maghribnya berkumandang. Saya harus melakukan ini demi kemaslahatan saya sendiri. Saya menulis ini pagi hari.