Kembali ke Sidoarjo di masa kecil, Ramadhan adalah kesempatan untuk main lebih banyak. Semua ini berkolerasi erat dengan sistem pendidikan kita yang mengakomodasi siswa untuk melakukan adaptasi dengan Ramadhan, tidak menganggap Ramadhan seperti hari-hari biasa. Alhasil, setiap awal Ramadhan pasti ada libur sekolah beberapa hari. Itu sebuah privilese buat Muslim di Indonesia, tidak ada kata yang lebih tepat untuk mewakili ini. Tapi ya, tidak bisa diingkari, libur beberapa hari itu membuat pengalaman seorang anak Muslim Indonesia jadi berubah drastis. Dan—yang tidak saya sadari waktu itu—ternyata Ramadhan saya sangat kental dengan warisan kolonial.
Hal pertama yang membuat pengalaman Ramadhan saya berbeda dari hari biasanya adalah kombinasi antara sejumlah hal. Pertama, ada waktu libur. Kedua, ada kewajiban bangun pagi waktu sahur. Ketiga, ada kegiatan lain di musholla yang menuntut kita untuk ikut. Keempat, ada kawan-kawan yang mengalami hal serupa di sekeliling saya. Racikan dari semua ini menghasilkan: sudah bangun sebelum matahari terbit dan ketemu teman-teman sehingga akhirnya terbetik sebuah gagasan untuk jalan-jalan pagi.
Jalan-jalan pagi dengan teman-teman itulah yang membuat Ramadhan masa kecil saya khas. Acara ini biasanya setelah sholat subuh berjamaah di musholla (kami sebut Langgar Baitur Rohman) dan mendengar ceramah. Setelah sahur, kami ke musholla. Setelah sholat subuh, ada ceramah subuh yang nyaris tiap hari oleh seorang kyai lokal yang kami sebut “Pak Penghulu” yang sebenarnya bernama “Bapak Haji Machmud.” Beliau ini tempat tinggalnya di dekat masjid dan memiliki pondok pesantren kecil untuk anak yatim. Pekerjaan tetap beliau adalah … tentu saja “Penghulu” di sebuah KUA. Tapi beliau ini juga punya toko agak besar di jalan raya. “Pak Penghulu” ini kalau ceramah selalu sambil menutup mata, seperti mencoba mengingat atau menata pikirannya selalu. Nah, setelah mendapat ceramah itu, barulah kami anak-anak kecil mendapatkan rekreasi khas Ramadhan kami.
Biasanya, setelah ceramah bubar kami langsung menghambur pulang ke rumah masing-masing setelah janjian untuk ketemu di rumah salah satu teman. Seingat saya, kami dulu suka bertemu di kawasan RW5 Desa Krembung, di mana kebanyakan dari kawan-kawan saya tinggal. Sebenarnya RW 5 itu adalah gang sebelah rumah saya. Di situ kami berkumpul. Yang biasanya ikut antara lain Mas Arif, Mas Wawan, Tanto, Hudi, Mas Dedet, Mas Sugeng, dan lain-lain. Kami lalu berjalan santai ke arah Barat Laut, terus di depan warung sate dan gulai “Wak Us” hingga sampai “Grujuk-grujuk” (sebuah dam kecil). Terus kami belok ke arah barat menyusuri sebuah sungai buatan dari jaman belanda (salah satu bagian dari kanal irigasi, lebarnya sekitar 5 meter) yang di kanan-kirinya berjajar rumah-rumah. Kami susuri sungai sampai ke barat hingga masuk wilayah Krembung Barat atau Kebonan. Di situ sungai irigasi tadi meliuk ke kiri. Kami tidak mengikuti sungai itu.
Kami lanjutkan perjalanan di jalan kampung yang cukup lebar. Pemukiman di Krembung dari dulu memang padat, tapi bukan seperti padatnya kampung perkotaan. Di Krembung, kebanyakan rumah selalu halaman, tapi nyaris tidak ada jeda antara satu rumah dengan rumah lainnya. Hanya ada beberapa titik yang tidak ada rumahnya, biasanya seperti kebun pisang biasa. Tapi, di belakang rumah-rumah yang berjajar rapi itu biasanya ada “kebonan.” “Kebonan” ini sebenarnya hanya lahan kosong yang banyak tanamannya, dan biasanya tanamannya tidak jauh-jauh dari buah mangga, pisang, kedondong, gayam, dan lain-lain. Di Krembung Barat, saat itu masih banyak sekali “kebonan,” mungkin dulunya kawasan ini memang murning “kebonan,” dan itulah yang menjadikan dukuh Krembung Barat ini secara de facto disebut “Kebonan.”
Di satu titik di Kebonan, kami bertemu parit yang menyeberang jalan. Kami pun belok ke kiri mengikuti parit tadi. Kami meninggalkan perkampungan dan masuk ke “Kebonan.” Ada pohon kelengkeng dan kedondong di situ. Tidak jauh dari belok tadi, ada rumah seorang anak bernama Musliqul. Ketika itu saya masih belum kenal, tapi kelak ketika di SMP, dia menjadi salah satu kawan baik saya. Kami sama-sama ikut ekstrakurikuler Pencak Silat PSHT. Tapi, ketika saya masih SD, ketika jalan-jalan yang saya ceritakan ini terjadi, kami belum kenal. Saya hanya melewati rumahnya. Kembali ke “Kebonan” mengikuti parit, hari biasanya sudah mulai terang. Kami lanjutkan perjalanan membelah “Kebonan” yang banyak nyamuknya itu.
Nanti, di ujung sana kami akan ketemu dengan pangkal dari kali irigasi yang tadi meliuk ke kiri. Kami menyebut pangkal kanal irigasi itu sebuah “Sekip.” “Sekip” adalah tempat keluarnya air dari sungai yang lebih besar. Sungai yang lebih besar itu sebenarnya juga bukan sungai alami. Dia adalah sebuah kanal dari jaman belanda. Dan sampai saat ini, sungai itu disebut orang sebagai “Kali Kanal.” Kali Kanal inilah yang merupakan sumber irigasi untuk kawasan pertanian yang ada di kecamatan Krembung, Porong, dan akhirnya hingga ke Jabon. Kalau ditelusuri ke arah Barat, kali kanal ini pada akhirnya akan berpangkal di Sungai Brantas.
Apa yang kami lakukan di Sekip itu sebenarnya? Tentu saya tidak bisa cerita di sini. Lima belas menit saya sudah habis tadi. Tunggu saja cerita selanjutnya. Untuk saat ini, biarkan saya katakan bahwa ternyata Ramadhan masa kecil saya tidak bisa benar-benar lepas dari warisan kolonial. Dan kami, di Krembung, tidak menyadari bahwa warisan kolonial sebenarnya semeluas itu. Yang kami tahu adalah Pabrik Gula Krembung (PG Kremboong) adalah pabrik yang dibangun Belanda. Itu saja. Padahal ternyata warisan kolonial begitu kental di kehidupan kami.