Buka Lewat SMS: Pratilik Sebuah Zaman Baru

Kediri adalah masa-masa yang syahdu dalam kehidupan saya. Termasuk dalam urusan Ramadhan. Di Kediri, kehidupan terasa wajar sekali dan serba kekeluargaan. Mungkin itu tak lebih dari sekadar kekagetan saya memandang hidup yang berbeda setelah tinggal di Malang selama enam tahun. Segala hal di Kediri tampak lebih sederhana dan lebih bisa memberikan kedamaian. Padahal, sebenarnya tidak begitu-begitu amat. Kediri juga adalah tempat yang dinamis, yang terus berubah. Di sebuah Ramadhan, saya melihat bagaimana perubahan itu berubah dalam bentuk telepon genggam.

Kejadian yang saya ceritakan ini berkutat pada sat saja bagian dari kehidupan Ramadhan di EF Nusantara Kediri. Tepatnya pada saat berbuka. Karena perubahan jam selama bulan Ramadhan, ada waktu kosong sekitar Maghrib yang bisa kita manfaatkan untuk berbuka dan melakukan yang lain-lain. Saya ingat pernah keluar untuk mencari buka bersama Mas Kum atau Mas Koes, seorang cleaning service dan office boy. Mas Koes sebenarnya tidak pernah puasa—tentu saja, lha wong agamanya Kristen. Tapi dia sering juga menemani kami cari buka puasa.

Saya ingat pernah suatu sore pergi ke sekitar jalan Kilisuci atau bahkan ke Pasar di Daerah sana untuk membeli takjil dan sebagainya. Salah satu jenis takjil yang waktu itu paling menakjubkan bagi saya karena barunya adalah es degan fenomenal dengan jeruk nipis. Kalau mau, bisa juga ditambah susu. Buat saya, itu benar-benar fenomenal. Waktu itu. Mungkin kejadian itu mengasyikkan karena saya jadi sempat keluar pada sore hari. Biasanya, tentu saja saya tidak pernah keluar EF pada sore hari. Kami semua mengajar cukup banyak setiap harinya sehingga tidak mungkin lagi kami keluar-keluar. Maka, sekali-kalinya kami bisa keluar, rasanya menyenangkan sekali.

Pada satu titik, pernah ada seorang cleaning service lain di EF Kediri selain Mas Kum, yang cukup lama menjadi pegawai cleaning service satu-satunya di EF. Karyawan baru ini adalah anak muda bernama Deni dari Tulungagung. Dia belum lama lulus sekolah dan melamar menjadi petugas cleaning service untuk EF cabang baru di Tulungagung yang waktu itu akan segera dibuka. Dia ditugaskan di Kediri dulu untuk latihan dari Mas Kum—mungkin.

Ini masih zaman ketika outsourcing belum begitu mengakar di seluruh lapisan masyarakat. Petugas cleaning service adalah bagian integral dari sebuah perusahaan. Mas Kum dan Deni ini adalah bagian penting dari EF yang memakai seragam EF. Kalau pegawai front-office memakai baju biru gelap, pegawai back-office (sementara kita sebut saja para driver, cleaning service, dan office boy begitu ya) memakai baju biru muda. Tapi mereka sama-sama memakai seragam EF.

Kembali ke anak muda bernama Deni itu, ada satu hal lucu yang terjadi. Ketika setelah mengerjakan tugas pada malam hari, dia selalu bersantai-santai sambil main HP. Karena ini tahun 2005, main HP berarti hanya ngecek atau menulis SMS dan mungkin bermain game ular-ularan itu. Tapi tampak jelas bahwa dia punya pacar atau minimal gebetan lah di suatu tempat di sana. Dia suka sekali berbalas SMS sambil haha-hihi sendiri di salah satu sudut EF ketika pekerjaan sudah selesai pada malam hari.

Nah, pada bulan puasa, ada satu celetukannya yang belum hilang dari ingat saya saat ini. Saya yakin, celetukan ini masih ada di pikiran saya saat ini karena memang waktu itu dampaknya kuat buat saya. Ketika itu kami semua sudah memegang gelas berisi takjil yang sepertinya disiapkan oleh EF. Makanan berbuka juga sudah ada setelah keluar dengan Mas Kum. Terdengar suara adzan dari masjid yang sedikit jauh tapi masih terdengar cukup jelas. Kami langsung minum dan ngobrol seperti biasanya dengan para staf, baik yang puasa maupun tidak. Kami mengobrol sampai minuman satu gelas tandas, biasanya sambil berdiri. Tapi Deni langsung menyisih setelah baru satu teguk dawet.

Dia memilih mojok di dekat pintu masuk ke musholla kecil kami. Dia langsung jongkok dan menaruh gelasnya di lantai di sebelahnya sambil berceletuk:

“Boleh buka nikmat, tapi jangan lupa SMS dulu dong.”

Tentu yang dimaksud Deni di sini adalah mengucapkan selamat berbuka kepada pacar atau gebetannya itu. Dia mengatakan itu tanpa pretensi sambil langsung sibuk dengan HP-nya

. Saya dan kawan-kawan langsung meledak. Kami ngakak tak habis-habis. Kami semua rata-rata berusia dua puluh lima atau bahkan hampir tiga puluh tahun waktu itu. Sepertinya ketika itu kami menghadapi sesuatu yang akan besar, yaitu masifnya komunikasi jarak jauh dan ketidakterpisahan antara individu yang satu dan lainnya karena HP. Deni waktu itu seperti menjadi duta dari masa depan. Dia memberi semacam preview bagi saya, sesuatu yang mengejutkan.

Memang HP sudah lama ada waktu itu. Bahkan, pada awal masa kuliah, ketika libur saya masih nonton MTV (lewat ANTV tentu saja) saya sudah melihat Nokia 3210 yang casingnya bisa diganti-ganti itu. Tapi, karena harganya yang tidak begitu murah, akhirnya baru tahun 2003 saya punya HP (itu pun karena suatu hal yang tidak perlu saya sebutkan di sini). Semakin tahun, memang harga HP semakin murah dan semakin banyak orang yang punya. Sepertinya pada tahun 2005 itu HP sudah menjangkau ke semua orang, bahkan orang yang baru lulus sekolah, di Kediri dan Tulungagung, sudah punya HP. Dan, yang lebih penting lagi, HP sudah mulai masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan, terutama kehidupan tjinta.

Kalau saya ingat-ingat kembali bagaimana saya suka memandang bahwa kehidupan di Kediri seperti tidak pernah berubah, saya sadar sekarang bahwa pandangan itu sangat dipengaruhi eksotisme, atau bahkan eksotisme berlebihan. Saya memandang seolah Kediri hidup di dalam kapsul waktu dan tidak pernah berubah. Sekarang, saya akan minta maaf kepada Kediri. Kediri tidaklah eksotis, dan tak sebuah kota pun bisa dipandang eksotis. Di Kediri saya melihat satu pratilik akan zaman yang berbeda.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *