Beberapa hari ini saya mencicil dengar rekaman simposium “Dunia Jungkir Balik Budi Darma” yang diadakan oleh Universitas Negeri Surabaya untuk mengantar kepergian sastrawan, dosen, dan mantan rektor Universitas Negeri Surabaya, Pak Budi Darma. Saya sudah mendengar wejangan Pak Faruk, Mbak Okky, dan Pak Seno Gumira Ajidarma. Pagi ini tadi saya sampai di bagiannya mas Tengsoe Tjahjono, dosen UNESA yang juga dan penyair maut yang juga penggagas Sastra Tiga. 

UNESA juga mengadakan penyusunan antologi dari para murid Budi Darma, baik murid akademis maupun murid kultural. Saya ingin ikut tapi tak henti menakar murid macam apa saya ini. Seperti pembaca sastra Indonesia pada umumnya, saya pernah melewati masa terkaget-kaget dan terseret-seret oleh cerita-cerita Pak Budi. Saya punya beberapa buku beliau (termasuk satu buku tentang beliau) dan mengkhatamkan dua kumpulan esai beliau. Secara fisik, saya hanya pernah ketemu Pak Budi sekali. 

Tapi, pertemuan yang sekali itu cukup berarti buat saya: karena terjadi di belokan jalan hidup yang well lumayan tidak bisa dilupakan. Saya tiga kali melamar beasiswa Fulbright, yang pertama secara spesifik menyebutkan ingin kuliah Creative Writing di Bloomington. Tentu karena buku Pak Budi. Dua tahun pertama gagal. 

Di tahun ketiga, saya lebih woles. Tapi ndilalah salah satu pewawancaranya adalah Pak Budi sendiri. Wawancara inilah yang akhirnya membawa saya ke Fayetteville, Arkansas. 

Di Arkansas, saya berbicara dengan Tom, seorang kawan yang S1-nya di Indiana University. Ketika saya tanya seperti apa Bloomington itu, Tom bilang bahwa Kata Tom, Bloomington tidak jauh berbeda dengan kota Fayetteville yang kami tinggali itu, ya ukurannya, ya kecantikannya ketika musim gugur. 

Tapi saya kurang percaya kata Tom. Fayetteville adalah kota kecil yang orang-orangnya hangat, kehidupan sosialnya sangat penuh warna. Sementara Bloomington seperti yang saya baca dari buku Pak Budi tidak begitu. Kotanya muram, kehidupannya sepi, dan ada banyak pribadi bangsat seperti para narator kumpulan cerpen itu. 

Maka, di tahun kedua di Arkansas (yang bisa jadi tahun terakhir saya di Amerika), saya mulai mencorat-coret rencana. Ada liburan musim dingin yang sangat dingin, yang bisa jadi liburan terakhir saya sebeluem pulang. Ada seorang kawan seangkatan Fulbright di Urbana-Champaign, Illinois. Menurut peta, dari Urbana ke Bloomington bisa ditempuh dalam waktu 2,5 jam. Saya pun menghubungi Gamal, kawan di Urbana-Champaign itu, meminta diperbolehkan mengunjungi dia dan nanti jalan-jalan bareng ke Bloomington. Saya ingin pastikan seperti apa Bloomington. 

Maka terjadilah perjalanan itu. Dari Fayetteville saya naik Greyhound ke Urbana-Champaign (teman-teman Gamal kuatir saya ditembak orang di dalam Greyhound!). Pada hari kesekian di Urbana, kami nyetir mobilnya Gamal ke Bloomington. Dalam perjalanan, kami sempat mampir ke kota kecil bernama Mahomet (kota yang menarik buat saya karena “Mahomet” adalah sebutan orang Inggris dulu untuk Nabi Muhammad—ada juga kota kecil bernama Mecca dan Medina di sekitar situ).

Kantor Pengadilan Monroe County di kota Bloomington, Indiana

Di Bloomington, kami hanya mengunjungi kampus University of Indiana, Bloomington. Saya ada kenalan profesor dan penerjemah Breon Mitchell (penerjemah Kafka dan Grass ke dalam bahasa Inggris) yang saat itu merupakan kepala perpustakaan Lily Library (perpustakaan buku langka dan permainan bongkar pasang). Kami mengunjungi Breon. Setelah jalan kaki keliling kampus, kami bermobil keliling kota dan mampir di sebuah musholla kecil (yang menurut plakat, pembangunannya didanai oleh sebuah negara Timur Tengah). Setelah itu kami kelilingi kampus sekali lagi dengan bermobil dan dari jauh melihat Tulip Tree Apartment (tempat Pak Budi menulis Olenka dan Orang-orang Bloomington). 

Foto yang ada di atas ini adalah Monroe County Court House, semacam kantor karisidenan, yang berlokasi di kota Bloomington. Bangunan ini terbuat dari batu gamping, yang sebenarnya salah satu yang membuat kota Bloomington tumbuh. Bloomington kaya akan batu gamping dan banyak penambangan batu gamping di sana. Ketika terjadi pembangunan besar-besaran di seluruh Amerika, Bloomington ikut mendapatkan dampak ekonominya. Orang-orangnya semakin makmur. Tapi, pada saat Pak Budi menulis orang-orang Bloomington, kejayaan batu gamping sudah memudar. 

Kesuraman yang sama juga ditangkap dalam film Breaking Away. Film ini berkisah tentang sekelompok anak muda penggemar balap sepeda yang mencari bahagianya di tengah-tengah kesuraman pasca kejayaan batu gamping di Bloomington. Ya, saya nonton film itu sebelum berangkat ke Bloomington. Ya, kadang-kadang saya se-geeky itu kalau sedang tertarik ke sesuatu. 

Nah, pertanyaannya: apakah saya pantas menyebut diri murid kultural Budi Darma? Sepertinya kurang memenuhi syarat. Tapi, apakah saya terpengaruh oleh Pak Budi? Ya, sayangnya, saya terpengaruh bukan untuk meniru beliau. Saya terpengaruh untuk menikmati beliau dan memuaskan hasrat jalan-jalan dan sekadar ingin tahu saya sendiri. Ajur tenan, kan? 

Tapi, sepertinya saya harus melakukan sesuatu untuk sekadar mengucapkan terima kasih kepada Pak Budi yang telah memainkan peran tersendiri dalam belak-beloknya hidup yang saya nikmati dan membuat saya mengalami banyak hal ini. Biarlah catatan pengakuan enteng-entengan ini menjadi pembuka untuk sesuatu yang lebih berarti. Selamat jalan, Pak Budi. 

One thought on “Mengunjungi Bloomington di Luar Buku Budi Darma”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *