Dawai Sunyi: Menjalani Plot, Menyelami Emosi, Menggoda Batas

Novel Dawai Sunyi karya Karkono Supadi Putra dan Alessia Rasheed berkisah tentang Sofia, seorang penulis novel dan skenario, yang mengalami petualangan rasa yang tidak surut dari halaman pertama hingga akhir novel. Cerita dibuka dengan Sofia mendapat izin tinggal di rumah Dony, seorang produsen muda yang mencari tempat dalam industri hiburan Indonesia. Dalam kondisi ideal seorang penulis tersebut (mendapat rumah untuk menulis dan makanan yang disediakan), dia malah jatuh cinta kepada tetangga depan rumah, seorang bapak yang keluarganya digambarkan harmonis. Belum juga usai kegandrungannya dengan si bapak, muncul adik si bapak yang ternyata jatuh hati kepada Sofia. Maka, petualangan rasa pun semakin menjadi.

Dawai Sunyi, novel yang ditulis secara estafet oleh Karkono dan Alessia ini, menawarkan beberapa hal yang menjadikannya khas sebagai anggota genre roman populer:

Plot yang kuat

Selama membaca novel ini, kita akan merasakan plot yang berbelok-belok konsisten. Ada kalanya belokannya tajam, ada kalanya halus. Namun, belok-beloknya plot ini akan terasa mulai awal, misalnya ketika Sofia akhirnya kenal dan menjadi sahabat Alia, perempuan yang suaminya diam-diam Sofia dambakan. Di sini tentu menjadi permainan yang manis. Pembaca sudah mulai membayangkan akan betapa rumitnya hidup Sofia ini nantinya, apalagi ketika Alia begitu baik dan bersikap seperti kakak bagi Sofia.

Di tengah cerita, hal-hal seperti ini akan terus muncul dengan berbagai rupa. Bahkan, ada satu bagian ketika cerita sedikit berbelok dan menggunakan nada cerita horor. Kita bisa menemukan motif sakit, poligami, salah paham, dan bahkan intrik bisnis dalam kelok-kelok plot ini.

Namun, karena salah satu produk andalan dari novel ini adalah plot, akan tidak bijak sekali kalau saya ceritakan tentang plot itu di sini. Plot hanya bisa dinikmati dengan cara dialami, bukan diceritakan. Oh ya, bahkan menjelang halaman terakhir cerita pun kita masih akan ketemu plot twist.

Realitas yang kekinian

Selain plot yang intensif, hal lain yang menonjol dari Dawai Sunyi ini adalah kekiniannya. Cerita ini terjadi di masa yang sangat kita akrabi, kurang lebih dalam empat-lima tahun terakhir. Segala yang ada di cerita adalah apa yang juga ada di keseharian kita. Kita akan bertemu dengan berbagai fitur kehidupan hari ini seperti taksi online, pandemi COVID 19, media sosial, isu di dunia hiburan, jalan tol trans jawa, dan sejenisnya.

Realitas ini berpotensi membuat pembaca lebih mudah masuk ke dalam dunia fiksi yang disajikan oleh Karkono dan Alessia. Dunia yang ada di novel ini kurang lebih sangat mirip dengan dunia yang kita hidupi di hari ini.

Berbagai fitur realitas kekinian ini melebur dengan mudah ke dalam plot dan menjadikan plot ini terasa kekinian. Ketika misalnya di satu titik Sofia meninggalkan rumah yang telah disediakan Dony sebagai tempatnya menulis, Sofia tidak lupa mematikan WhatsApp-nya. Hal ini kemudian menjadikan rentetan salah paham, seperti halnya yang terjadi ketika seseorang mematikan WhatsApp dalam kehidupan kita. Begitu juga ketika plot akhirnya mempertemukan antara persoalan di Jakarta dan Solo, kita melihat bagaimana jalan tol Transjawa memainkan peran menjadikan cerita ini begitu halus.

Satu fitur realitas kekinian yang juga kuat adalah kehidupan akademis. Setidaknya, ada tiga tokoh laki-laki yang berprofesi sebagai dosen yang pandangan hidupnya, kesibukannya, dan responsnya terhadap situasi bisa memberikan sedikit gambaran tentang kehidupan dosen. Tapi tentu saja ada kesan kehidupan dosen yang ideal di sana; kesibukannya mengupdate SISTER, mengoreksi tugas, dan mengisi Beban Kinerja Dosen tentu tidak ada.

Namun, ada juga saat-saat ketika detail cerita kekinian itu terasa kurang tepat, misalnya dalam penggunaan Macbook Air dan penyebutan film Marvel. Buat mereka yang sudah sangat akrab dengan elemen-elemen budaya kekinian itu, akan terasa sedikit tidak akuratnya. Namun, menggarap realitas kekinian memiliki keunggulan sekaligus juga tantangannya sendiri.

Menarik-ulur Batasan Genre

Meski penggarapan plot dan penggunaan realitas kekinian itu tampak menjadikan Dawai Sunyi anggota sebuah plot, ada juga aspek yang menjadikan novel ini tidak sekadar patuh pada konvensi plot. Dia tetap menunjukkan usaha menarik ulur batas genre. Setidaknya, ada aspek pertentangan antara femininitas dan feminisme dan sikap kepada poligami yang menjadi kompleks di cerita ini.

Selain mempermainkan fantasi pembaca, roman populer memiliki kecenderungan yang lebih halus, yaitu adanya tensi antara femininitas dan feminisme. Masih ada kecenderungan pada banyak membaca untuk mengharapkan seorang tokoh perempuan yang anggun, lembut, penyayang, dan mengharapkan rasa sayang. Hal ini serupa dengan ekspektasi femininitas yang diberikan masyarakat kepada perempuan. Sementara itu, pada kenyataannya, cerita-cerita roman populer yang berpusat pada tokoh perempuan cenderung juga menampilkan sosok perempuan sebagai karakter yang kuat, memiliki inisiatif, memeliki agency atau peran dalam menentukan hidup dan bahkan laju cerita. Hal ini bisa dikaitkan dengan apa yang dicitacitakan oleh feminisme.

Dalam Dawai Sunyi, kita juga mendapatkan hal tersebut. Sosok Sofia yang merupakan seorang perempuan merdeka, membangun karirnya sendiri di Jakarta, dan bisa menentukan langkah hidupnya, adalah epitome seorang feminis. Dia mengesankan sebagai seorang yang percaya bahwa tidak semestinya gender menentukan hirarki. Namun, di titik tertentu, kita bisa melihat bagaimana dia juga berharap menjadi sosok yang mendapatkan kasih sayang seorang lelaki. Tentu saja memang kecenderung feminin yang ditampilkan Sofia ini tidak sebesar bayangan tentang femininitas yang tanpa sadar dipercayai oleh para tokoh pria, terutama Rahman. Tensi antara dua kecenderungan tersebut di novel ini sangat menarik untuk ditilik lebih jauh.

Hal kedua yang menarik untuk disoroti terkait batasan genre ini adalah tentang poligami. Tentu di sini saya mengasumsikan bahwa Dawai Sunyi adalah bagian dari genre Novel Islami. Memang tidak semua cerita yang dimasukkan ke dalam genre Novel Islami menampilkan poligami. Namun, dari beberapa yang berhasil menjadi best-seller nasional, ada penerimaan kepada poligami ini. Poligami memang isu yang tidak mudah dibicarakan dalam masyarakat muslim. Ada negara mayoritas Muslim yang melarang poligami, tapi ada juga negara mayoritas Muslim yang mengizinkan poligami dengan regulasi yang menjadikannya tidak mudah. Dalam Dawai Sunyi, kita akan menemukan isu poligami digarap dengan sangat hati-hati dan menarik untuk dikaji. Nah, karena ini merupakan bagian dari plot, maka saya perlu selesaikan di sini dulu pembahasan tentang ini di sini. Satu simpulan yang bisa dibuat terkait isu ini adalah bahwa novel ini berusaha bermain-main dengan kecenderungan yang pernah muncul kuat dalam genre Novel Islami.

Dengan tiga hal yang menonjol dari Dawai Sunyi ini, sepertinya cukup berasalan jika saya mengatakan bahwa novel ini adalah bagian dari sebuah genre yang cukup setia menggunakan konvensi genrenya. Namun, penggunaan konvensi genre ini tidak menjadikannya begitu saja mudah ditebak. Hal ini karena novel ini bisa menghadirkan isi di tempat tertentu yang menjadikannya khas. Plus, usahanya menggunakan bagian-bagian yang sensitif dalam genre roman populer juga menjadikan cerita ini sangat bisa dinikmati

More From Author

The Boy and the Heron: Miyazaki doesn’t Need to Prove Anything

The Boy and the Heron (2023) is a truly captivating film by Hayao Miyazaki, marking…

“Menari” dan Atmosfer Sindy yang Berubah

Atmosfer musik berubah, attitude lirik yang lebih berani, dan warna suara yang living up to the…

Fiksi Sains apa FIksi Ilmiah? Mencari Science Fiction yang Akurat vs yang Inklusif

Kemarin, saya mendapat link dari Budi Warsito yang mengarah ke tulisan “Fiksi Sains Indonesia” karya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *