Fiksi Sains apa FIksi Ilmiah? Mencari Science Fiction yang Akurat vs yang Inklusif

Kemarin, saya mendapat link dari Budi Warsito yang mengarah ke tulisan “Fiksi Sains Indonesia” karya Sandya Maulana. Salah satu argumen awal dalam tulisan ini adalah terkait penggunaan istilah “fiksi sains” sebagai terjemahan science fiction. Alasannya adalah karena ini lebih setia dengan istilah aslinya dan untuk mengurangi “beban untuk melulu menjadi ilmiah dan akurat.”

Argumen ini cukup menggelitik. Istilah ini sendiri masih baru buat saya–saya telat baca tulisan Sandya (suwun Bung Bud). Selain itu, menurut saya istilah “fiksi sains” itu pun belum benar-benar akurat. Ada satu permasalahan tersendiri dengan istilah “sains”. Kata ini telah mengalami penyempitan makna dan penggunaan lazimnya telah eksklusif, sehingga berpotensi menghasilkan makna yang juga tidak sepadan dengan makna aslinya.

Kata “sains”, pada kenyataannya, tidak lagi seperti science atau scientia. Kata ini telah mengalami spesialisasi yang menyempitkan. Secara etimologis kata ini dipakai untuk merujuk kepada “pengetahuan berdasarkan data yang yang bisa didemonstrasikan dan direproduksi” seperti di kamus Merriam-Webster ini. Namun, apakah begitu juga kata “sains” dalam bahasa Indonesia? Silakan ditanyakan ke publik, tapi besar kemungkinanya kata “sains” saat ini hanya merujuk eksklusif kepada ilmu alam. Lihatlah deskripsi “ilmu alam” di Wikipedia ini. Di situ ada satu kalimat (yang bisa sering ditemukan dalam konteks awam): “Ilmu pengetahuan alam (IPA) atau Sains dalam arti sempit telah dijelaskan di atas merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari physical sciences (ilmu fisika) dan life sciences (ilmu biologi).” Di kalimat ini, tampak bahwa “Sains” digunakan untuk merujuk ke IPA. Saya juga ingat sekali buku IPA saya waktu di SD bertuliskan “Ilmu Pengetahuan Alam (Sains)”. Kata ini sudah menyempit (mengalami spesialisasi) dan pada akhirnya lebih banyak dipakai untuk merujuk kepada ilmu alam. Dengan kata lain, istilah ini menjadi tidak inklusif.

Padahal, science fiction tidak hanya berbicara tentang ilmu alam. Tidak sedikit juga karya sci-fi yang lebih tepat masuk ke dalam ranah ilmu sosial atau ilmu humaniora. Lebih tepatnya lagi, ada satu sub-genre dalam sci-fi yang disebut “alternative history,” yang pada intinya adalah penggambaran atas sejarah yang berbeda dengan yang telah kita konstruksikan. Seperti namanya, “sejarah alternatif,” sub-genre ini bermain-main dengan sejarah dan memberikan gambaran yang berbeda, yang bisa jadi berkebalikan dari sejarah yang kita kenal.

Mari kita lihat satu contoh bagus dari sub-genre sejarah alternatif. Yang pertama adalah novel Men in the High Castle karya Philip K. Dick, seorang penulis sci-fi asal Amerika yang sangat produktif dan banyak karyanya telah difilmkan. Novel Men in the High Castle juga telah lama dijadikan serial web di Netflix. Novel ini berkisah tentang sebuah Amerika pasca PD II tapi bom atom tidak pernah dijatuhkan di Hiroshima-Nagasaki. Artinya, ini adalah Amerika yang sekutunya tidak pernah menang Perang Pasifik dan akhirnya menjadi daerah kekuasaan Jerman dan Jepang. Dunia ini begitu sulit karena bagian timur dikuasai Jerman dan bagian barat dikuasai Jepang.

Karya-karya sub-genre alternative history menunjukkan bahwa science fiction bisa berasal dari kedua kubu science. “Social science” juga boleh memberi sumbangan kepada science fiction. Sepakat dengan Sandya Maulana, science fiction tidak perlu dibebani dengan tuntutan akurasi atau “ilmiah”. Pada satu titik, memang perlu ada kesetiaan dengan ilmu pengetahuan. Namun, tapi tetap ada ruang untuk yang fiksional (yang bisa jadi tidak akurat dengan ilmu pengetahuan). Memang, akurasi bukanlah tuntutan yang bisa dibebankan ke science fiction.

Kalau bukan akurasi yang boleh dituntutkan kepada science fiction, lantas apa yang menjadikan sebuah karya science fiction? Ada satu definisi yang ditawarkan Darko Suvin yang tampaknya bisa menjembatani berbagai jenis ilmu dalam science fiction. Suvin memberikan satu syarat yang menjadikan sebuah karya fiksi itu science fiction, yaitu cognitive estrangement, atau keasingan kognitif. Istilah ini merujuk pada keadaan pembaca yang merasa asing terhadap sesuatu dalam karya sastra itu. Di satu sisi ceritanya bisa dipahami, tapi kemudian dia terasa asing. Nah, keasingan itu terwujud dari novum, yang merupakan satu hal baru (fiktif) yang dititipkan di dalam semesta yang bisa dibilang sesuai dengan hukum pengetahuan (alias santifik). Ada hal fiktif yang diselipkan di dalam sebuah dunia ilmiah yang menjadikannya terasa asing bagi pembaca.

Mari kita pakai untuk melihat contoh kita. Dalam contoh Men in the High Castle, novum yang digunakan adalah fakta cerita bahwa Amerika Serikat tidak pernah menjatuhkan bom atom dan akhirnya Jepang tidak takluk dan bahkan berhasil menguasai sebagian dari Amerika Serikat. Satu selipan fiksi ini menjadikan keseluruhan semesta dalam novel ini menjadi asing. Dalam kondisi asing itulah permenungan-permenungan atau keberjarakan terhadap hal-hal yang akrab dimungkinkan. Di sinilah kita bisa mengkritisi kondisi.

Kembali ke diskusi tentang apakah tepat menggunakan istilah “fiksi sains” dengan asumsi ini bisa meringankan beban dan lebih akurat, saya pikir tidak juga. Di satu sisi, istilah ini malah berpotensi menyempitkan bidang science fiction kepada makna sempitnya sains, yaitu ilmu pengetahuan alam. Hal ini jelas mengingkari fakta bahwa science fiction juga mencakup ilmu sosial, ilmu humaniora, dan ilmu-ilmu lain.

Di sisi lain, kalau menggunakan perspektif Suvin, istilah “fiksi ilmiah” juga tidak bisa dibilang salah. Science fiction mengakui adanya sebuah dunia yang “ilmiah” dalam artinya mengikuti prinsip-prinsip dalam ilmu pengetahuan. Namun, selain itu, ada juga elemen fiksional yang penting yang oleh Suvin disebut novum yang tujuannya adalah untuk menciptakan keasingan kognitif.

Pada akhirnya, kita perlu memilih, mana yang lebih kita pentingkan: apakah lebih peduli pada akurasi etimologis, ataukah kita lebih memilih kepada keberagaman perspektif yang berisiko terhilangkan oleh istilah yang akurat secara etimologis tapi tidak inklusif? Semoga ini bisa jadi tawaran dalam tukar gagasan ini.

More From Author

Dunia Pedro Paramo, Kota Hantu yang Samar

Juan Preciado dapat wasiat dari ibunya untuk mencari bapaknya yang bernama Pedro Paramo. Juan tidak…

Membaca Hitam 2045, Merenungkan Sentenial

Buku ini kita orang punya sejak 2022, tapi baru beberapa minggu lalu ada alasan cukup…

The Boy and the Heron: Miyazaki doesn’t Need to Prove Anything

The Boy and the Heron (2023) is a truly captivating film by Hayao Miyazaki, marking…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *