“Menari” dan Atmosfer Sindy yang Berubah

Atmosfer musik berubah, attitude lirik yang lebih berani, dan warna suara yang living up to the expectation. Kurang lebih itu yang bisa dikatakan tentang rilisan terbaru berjudul “Menari” dari Sindy Amani, musisi indie Malang yang akhir-akhir ini lebih kelihatan geliatnya sebagai content creator.

Sebelum terlalu detail ngomong tentang rilisan terbaru ini, perlu ada disclaimer sewajarnya: Sindy adalah alumni dari program studi tempat saya mengajar di Universitas Ma Chung. Tapi ya tahulah para pembaca blog ini bahwa saya bukan orang yang terlalu subjektif. Saya terlahir objektif, bebas nilai, terandal, adiluhung, dan sangat patut dijadikan rujukan dunia musik Indonesia dan lain-lain. >.<

Silakan dengar dulu di sini sebelum lanjut.

Atmosfer musiknya kali ini berbeda sekali. Di album empat lagu Sindy yang berjudul Never Good Enough (2021) kita ketemu lagu-lagu yang musiknya menggunakan beat-beat hip-hop dengan sound yang terkesan lofi seperti di Lofi Girl (yang waktu itu baru rebranding dari ChilledCow). Masa pandemi adalah masa memuncaknya musik lofi (bahkan lagu dangdut Jawa pun waktu itu banyak yang dilofikan). Pandemi memang waktunya murung tapi di tengah lingkaran suportif ala kanal-kanal lofi. Tapi itu masa itu, itu Sindy di masa pandemi.

Sekarang, di rilisan “Menari” ini, musiknya terasa bergegas dengan beat elektrik dan electric piano ala city pop. Kalau kita akrab dengan musik-musik city pop Jepang angkatan “Plastic Love” dengan para MVP seperti Mariya Takeuchi, Miki Matsubara, dan Junko Ohashi, kita mudah larut dan ikut menari bersama “Menari.” Atmosfer terasa bergegas, elektrik, seperti kehidupan kerja di kantor-kantor kota Tokyo. Saya belum pernah ke Jepang, tapi rasanya akrab sekali dan seolah pernah ngantor di Jepang dan hilir mudik di Shibuya berkat city pop Jepang. “Menari” juga terasa begitu. Sindy tidak lagi lofi. Tidak ada lagi murung-murung, tidak ada lagi mellow-mellow.

Attitude pun terbawa. Lagu-lagu Sindy sebelumnya berisi ratapan lofi yang pasrah seperti “Is it wrong to loving you,” “Never good enough,” “Good bye” dan “Gone.” Kali ini, ya kurang lebih lebih persona Sindy tetap ditinggal lagi (sebelum Bernadya ditinggal cowok, Sindy juga sudah berulang-ulang ditinggal). Namun, alih-alih meratap helpless, kali ini Sindy malah menari. Ada apa ini? Apa karena sudah keseringan? 

Apa karena Sindy sudah belajar dari Denny Caknan. Mungkihkah dia perlakukan patah hati yang pertama, kedua, ketiga dan keempat itu sebagai latihan? Kata Denny Caknan “tak barne karo tak nggo latihan” kan? Sindy sudah terlatih. Dan sekarang, ketika terjadi lagi, dia bisa bilang: “Menari ku dalam sepi, merayakan kamu yang telah pergi, menghibur hati yang tak lagi mengharapkan kamu tuk kembali.” Entah, apapun sebabnya, yang jelas dia sudah tidak mau helpless lagi. Shit happens, so what? 

Asyiknya, perubahan attitude ini didukung dengan warna vokal yang justru seperti living up to the expectation. Suara Sindy yang bening (tapi bukan “demure”) justru lebih cocok untuk bertualang ke city pop era 80-an. Suaranya cocok ketemu dengan electric piano yang optimis dan beat elektrik. Yang belum muncul mungkin slap pada bass-nya saja ya? Saya jadi membayang-bayangkan, seperti apa jadinya kalau ada yang main-main dan menduetkan Sindy dengan mendiang Utha Likumahuwa? City pop Jepang dan Indonesia kalau ketemu bisa sangat asyik. 

Tapi ya, seperti kata M. Shadow, Sindy “is too young to worry.” Mungkin city pop hanya “mampir ngombe” buat Sindy. Perjalanannya masih panjang. Semesta pop terlalu luas untuk habis dijelajahi. Dia bisa menjelajahi ranah-ranah pop yang mungkin cocok dengan idealismenya sekaligus pasar. In any case, selamat menempuh pop dengan baju baru, Sindy. 

More From Author

Dunia Pedro Paramo, Kota Hantu yang Samar

Juan Preciado dapat wasiat dari ibunya untuk mencari bapaknya yang bernama Pedro Paramo. Juan tidak…

Membaca Hitam 2045, Merenungkan Sentenial

Buku ini kita orang punya sejak 2022, tapi baru beberapa minggu lalu ada alasan cukup…

The Boy and the Heron: Miyazaki doesn’t Need to Prove Anything

The Boy and the Heron (2023) is a truly captivating film by Hayao Miyazaki, marking…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *