Drive-In Misbar

Sebagai salah satu bagian dari orientasi mahasiswa internasional di University of Arkansas, kami dibawa “kakak-kakak” sophomore (tingkat 2), junior (tingkat 3), dan senior (tingkat 4) ke Drive In di kawasan tepi Fayetteville. Karena kawasan tepi, atawa country side, jadi ya relatif nggak ada apa-apa selain hamparan rumput dan alang-alang, yang letaknya tak jauh-jauh amat dari Wilson Park dan bagian lab-lab jurusan Pertanian, Peternakan, dll-nya University of Arkansas.

Kalau diingat-ingat lagi, yang namanya Drive In itu pernah ngetrend sekali di tahun 1970-an dan 1980-an. Ingat kan serial Happy Days yang dibintangi Henry Winkler (serial tahun 70-an itu)? Ya, Drive In ngetrendnya jaman itu. Dan yang ada di Fayetteville ini juga sudah tua. “It”s been here since forever,” kata seorang pria pindahan dari California yang punya minitruck double cabin (kayak di Smallville) yang mengantarkan salah satu rombongan kami ke kawasan Drive In itu, sambil bawa kursi-kursi lipat. Buat apa kursi lipat? Tunggu saja jawabannya :D.

Sebelum berangkat ke Drive In, kami semua berhenti di Wilson Park dulu untuk makan pizza dan soda (hehehe… ini nih budaya Amerika). Ya… kali ini saya milih cheese pizza (masak terus-terusan vegetarian pizza, hehehe…). Sebagian teman-teman main frisbi (nah, ini budaya Amerika lagi), sebagian main bola, dan banyak di antara kami yang hanya bercakap-cakap. Saya ngobrol sama seorang maba bachelor asal Korea Selatan (yang dulunya pernah gabung Army wajib militer), dua orang mahasiswa Russian Federation (tepatnya dari Republik Tatarstan, nah… nggak tahu kan di mana negara itu?), dan seorang lulusan bachelor asal Missouri yang bekerja di U of A.

Menjelang senja, kira-kira pukul 7.45 (well, maghribnya di Fayetteville sekarang 8.16, hehehe… bayangkan kalo puasa nanti!!!!), kami berangkat dengan kelompok masing-masing (masing-masing bawa mobil). Di jalan, kami melihat lingsirnya matahari ke peraduan di antara rerumputan dan hutan-hutan di kejauhan. Seperti biasa, senja selalu indah (nggak percaya? tanya Seno Gumira Ajidarma). Begitu sampai di tempat Drive In, kami langsung bisa melihat layar raksasa yang putih bersih. Saya langsung teringat misbar (gerimis bubar), dengan layar tancapnya dan lapangan hijaunya. Bedanya, di drive ini ini kawasan nonton filmnya kelihatan putih dan di sekelilingnya ada rerumputan. Entah ada masalah apa, mobil-mobil yang di depan belum bisa masuk ke lapangan nonton film. Yah, suasananya seperti di gerbang tol. Ada sebuah bilik kotak persis seperti tempat petugas penarik karcis tol dan mobil-mobil berjajar mengular. Suasana masih terang.

Sekitar 15 menit kemudian “pintu tol”pun dibuka. Ternyata, petugas tiket Drive In hanya satu, seorang pemuda awal dua puluhan bertopi merah. Ketika mobil yang saya tumpangi sudah sampai di “gerbang tol”, Taylor, Cross Cultural Mentor yang menyupiri sedan kami langsung memberikan sebelas dollar sambil menyapa khas orang Fayetteville:

“How”re you doin?”

“Good, you?”

“Good.”

Dan si penjaga loket memberi tiket sambil bilang: “92,75 oke?”. Dan dijawab “Oke” oleh Taylor.

Saya tanya Taylor, “What did he mean by 92,75?”

“The frequency.” Saya pun diam. Padahal masih sangat bertanya-tanya, hehehe…

Selepas loket, terlihatlah ternyata tempat-tempat memarkir mobil kami itu adalah batu-batu kerikil putih yang ditumbuhi sedikit rumput di sana-sini. Ada tiang-tiang setinggi kira-kira semeter (atau satu yard hehehe…) yang menandai di mana masing-masing mobil harus parkir. Begitu sampai, saya lihat seorang lelaki besar keluar dari minitruck double cabin dan menurunkan kursi-kursi santai dari sana dan mengeluarkan sebuah stereo. Saya pun keluar dari sedan saya dan melihat sekeliling. Suasana surup. Rerumputan menggelap. Lapangan parkir pun menggelap. Tempat parkir itu tampak bergunduk-gunduk sehingga setiap mobil bisa terparkir dalam posisi agak mendongak (dengan begitu, para penumpang di kursi belakang pun bisa melihat layar putih raksasa itu dengan jelas). Saya langsung melepaskan diri dari kelompok dan pergi ke teman saya si Eric (mahasiswa fulbright dari Rwanda) dan Habtom (mahasiswa master ilmu komputer asal Eritreia … ngerti nggak di mana negara ini? :D).

Layar putih raksasa itu tampak putih bersih, di depannya ada rerumputan dan ada playground kecil lengkap dengan prosotan dan tangga lengkungnya. “That”s where the kids go while waiting for the movie to start,” begitu kata si lelaki besar yang sedang mempersiapkan stereonya. Sementara itu, semua orang sudah duduk di kursi lipat yang sudah diturunkan dari truk-truk double cabin.

“So, where”s the sound system?” tanya saya ke si lelaki besar.

“Here,” katanya sambil menunjuk stereonya.

“Ah, I see,” ternyata 92,75 tadi frekuensi radio yang harus kita tangkap sendiri. Yah, ternyata kalo drive in itu biasanya sound systemnya dari radio mobil masing-masing. Hahaha… Betapa osed-nya saya (bahasa Ngalam).

Lalu saya ceritakan tentang misbar di desa-desa nuswantara tercinta kepada si bapak besar itu. Dia tertawa ngakak begitu tahu kepanjangan misbar (yang tentu saja dijelaskan dalam bahasa Inggris).

Begitu mulai gelap, kira-kira sudah ada 10an menit selepas adzan maghrib (sebenarnya sih nggak terdengar adzan, di Fayetteville adzan tidak boleh diperdengarkan keras-keras), lagian posisi kami di tengah padang, hehehe), layar tancep pun mulai menyala dan dari stereo terdengar suara musik. Dan iklannya adalah: Coca Cola. Saya segera meninggalkan TKP untuk ke toiletnya toko popcorn yang berdiri sebagai satu di antara dua bangunan di padang itu (bangunan satunya adalah “gerbang tol” tadi). Di atas toko popcorn ada ruang proyektor. Di dalam toko popcorn saya beli seember popcorn dan minta ijin solat di sudut ruangan, dan alhamdulillah diijinkan.

Setelah mendapat seember popcorn, saya keluar lagi ke tempat nonton. Udara mulai dingin, jadi ya saya pakai baju lengan panjang sebagai rangkapan. Dan mulailah saya duduk manis di atas kursi lipat sambil nonton film. Filmnya “Hancock”, si super hero konyol tapi agak psikologis (agak lho ya). Setengah jalan, terasa rintik-rintik hujan mulai turun. Beberapa maba mulai melipat kursi dan masuk mobil. Saya bertahan karena masih pakai topi biru baru (tulisannya Portland, hehehe… padahal hampir semua mahasiswa Fayetteville yang bertopi hanya pakai topi Razorback, alias babi celeng). Nah, ini dia, Drive-in jadi MISBAR. Untungnya tak lama kemudian suasana terang kembali, orang-orang pun mulai duduk lagi dan menonton. Hehehe…. nggak jadi misbar deh.

Yah, sepertinya begitu saja kisah Fayetteville hari ini. Oh ya, sebenarnya waktu balik dari Drive-In hari sudah gelap sekali. Tapi, untungya Taylor ngantarkan saya sampai ke tempat parkir apartemen saya. Jadi ya… alhamdulillah, nggak harus minta tolong polisi universitas mengantarkan saya pulang (halah!).

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *