Maem Dinner with an American Family

Mungkin saya pernah cerita kalau saya pernah punya sebuah cita-cita: nyetir mobil sendirian di pedesaan Amerika, tiba-tiba ban kempes tepat di depan sebuah rumah pedesaan lengkap dengan ranch dan kandang-kandang kudanya, terus si pemilik rumah yang tiba-tiba keluar dan iba melihat saya langsung mengajak mampir (yah… ini kan ceritanya di South, jadi ya orangnya ramah bin friendly lan guyup rukun gitu deh…) dan mengajak makan malam (kalau sama Masrizal, ditambah kebetulan waktu itu sedang Thanksgiving dan entah kenapa tiba-tiba kalkun yang disediakan itu halal hehehe… kalo yang ini ngayal…), dan melihat makan malam khas orang Amerika seperti yang sering kita lihat di tivi-tivi, bareng-bareng di meja bundar (atau persegi panjang). Begitulah, impian itu.

Dan ternyata, beberapa hari yang lalu saya benar-benar mengalami sesuatu yang bisa dibilang mirip. Bedanya, saya tidak perlu mengalami ban bocor, dan malahan saya dijemput sama si pemilik rumah.

Yah, lagi-lagi ini bagian dari orientasi mahasiswa internasional di U of A. Acaranya memang berjudul Dinner with American Family. Begini ceritanya:

Jam 4.20 sore, saya berangkat ke kampus seperti biasa, lewat Duncan Avenue. Kali ini saya agak grogi, karena kemarinnya saya habis diikuti anjing kecil (tapi bikin grogi juga :D) pada waktu pulang dari kampus. Saya berjalan agak cepat dan celingak-celinguk jangan-jangan ketemu anjing itu lagi. Waktu mulai masuk kawasan kampus, saya agak tenang. Di belakang gedung Bell Engineering Center, saya ketemu Haptom si mahasiswa asal Eritrea yang pernah saya ceritakan tempo posting :D. Sambil ngobrol, saya lihat ada seekor tupai melintas di atas jalanan batu-bata. Yah, di kampus U of A ini tupai bukan lagi binatang langka. Mereka sangat jinak dan suka berlarian ke sana kemarin dengan ekor cantiknya itu. Tapi hati-hati, ada beberapa mahasiswa yang pernah melapor makan siangnya diambil tupai waktu mereka sedang membaca di taman sambil makan dengan lunchbox terbuka. Hehehe… Saking akrabnya sampek nglunjak.

Setelah ritual poto-poto, mengabadikan kesempatan langka yang mustahil saya temukan di kampus Brawijaya atau IKIP, :D, kami lanjut, karena memang sudah agak telat.

Benarlah, sampai di Holcombe Hall (kantornya International Students and Scholars Office, yang merupakan tempat ngumpul kita untuk sesi ini) saya termasuk telat (Indonesia banget kan? hihihi…). Semua peserta sudah masuk ke daftar dan saya dikasih form yang masih kosong. Saya dan Haptom langsung ngisi form itu. Setelah itu, kami masuk dan di sana kami semua dipertemukan dengan host masing-masing. Satu host mengakomodir sekitar 10-12 orang mahasiswa. Tapi, sungguh hikmah (hikmah bukan buatan! kedengaran kayak Andrea Hirata gak? :D), ketelatan saya tadi membuat saya masuk ke kelompok yang hanya empat orang isinya, yakni saya (wakil kontingen Indonesia), Haptom (Eritrea), Cvhen (bacanya Stef, unik ya?, Trinidad), dan Tamanjay (India). Dan host kami adalah pasangan Bob dan Rosa Edwards.

“Hello, I”m Bob, and this is my wife, Rosa,” begitu kata Bob. Saya langsung tersenyum lebar alumni Pepsodent. Seperti biasa, saya masih agak wagu memanggil orang yang lebih pantas saya sebut bapak dengan nama depannya saja.

Karena mobil mereka hatchback kecil, jadi ya kami harus diimbal.

Saat dijemput kembali, saya tak sabar untuk bertanya: “Where do you live, Sir (saya kan masih grogi-grogi gitu manggil dengan nama depan, :D)? Is it in the country side?”

Bob menjawab bahwa sebenarnya dia tinggal tidak di pedesaan, tapi di sebuah pinggiran kota Fayetteville yang asri dan dia punya halaman cukup luas, jadi bisa tanam-tanam. Dia suka sekali, soalnya kerjanya kan pegang komputer, jadi ya… semacam rekreasi begitulah. Di tengah-tengah cerita, Bob menyelipkan, “Well, we”re not rich people, and, you know, sorry if I”m very informal.”

Kami melewati kawasan Dickson St. (jantung kotanya Fayetteville, di mana banyak sekali bar-bar, nanti deh saya ceritakan) dan terus belok kanan lewat jalan besar dan ke kawasan yang rumahnya mulai terlihat jarang-jarang dan oldies-oldies gitu deh. Terus, sampailah kita di rumahnya Bob, rumah mungil dengan halaman luas dan tampak asri. Sungguh. Sungguh lumayan beda dengan american family yang di film-film keluarga, di mana biasanya rumahnya tingkat dua, balainya luas, semua kamar di lantai dua, dan makan barengnya di meja bunder dapur, dan kalo nonton tipi selalu duduk di sofa panjang (dan nggak pernah dikunci, hehehe…). Tapi, inilah the real American family. Sungguh asri.

Begitu masuk, saya dan teman-teman lepas sandal. “You don”t have to take of your shoes,” kata Bob. “It”s okay of you do that, but I don”t take off mine.” Tapi saya lihat Rosa hanya berkaos kaki.

Begitu masuk, kami disambut dengan cerek-cerek jus, ada jus lemon dan ada yang campur-campur pisang pepaya guava (oh ya… jusnya yang kotakan itu lho, :D, kayak di tipi-tipi deh).

“Before we do anything, I”d like to tell you how we met,” mulailah Bob cerita sambil sesekali dibantu Rosa tentang pertemuan mereka. Mereka bekerja di satu tempat, kenal dua tahun, hingga suatu ketika tiba-tiba Bob merasa jatuh cinta dan mengirimkan surat sepanjang “26 pages in both sides”. Dia sangat ikhlas waktu itu :D. Kalau cintanya diterima, alhamdulillah, dan kalau tidak ya tidak apa-apa, yang penting sudah mengungkapkan perasaan…

Dan syukurlah Rosa menerima cinta si Bob. Dan mereka pun menikah, hidup sederhana, bersama ibu Bob. Bob cerita bahwa suatu ketika dia menjalani 2 full time job sekaligus. Dan pada saat ibunya sakit keras, dia berhenti bekerja dan total merawat ibunya. Pada saat itulah dia sadar betapa Rosa yang notabene “hanya” seorang mantu ternyata sangat menyayangi ibu Bob, bahkan lebih dari sayang seorang anak.

“Btw, let me show you around,” ajak Bob, sambil menunjukkan kami kamar yang ada di ujung paling kiri rumahnya, ada tulisan “Grandma Room.” Dia tunjukkan sebuah kamar yang tertata rapi, dibersihkan “on daily basis”. Itulah kamar ibunya ketika melewat masa-masa akhir hidupnya. Di kamar itu, ada juga seekor beo yang berkoak-koak begitu kami masuk. Bob cerita bagaimana ibunya melewati masa-masa akhir hidupnya di kamar itu.

“Somebody wants to be introduced, sweetheart,” kata Rosa dengan lembut kepada suaminya (beneran lho ini!). Bob langsung kaget dan segera memperkenalkan kami kepada si Beo, yang katanya adalah peliharaan ibunya. “He can sing the Razorback song,” kata bob. Yah, orang Fayetteville sangat fanatik dengan tim futbolnya yang bernama Razorback itu (yang, ngomong-ngomong, artinya adalah babi celeng). Lalu Bob bersiul, tapi si Tuckoo nggak mau ikut kali ini.

Setelah itu, dalam perjalanan ke dapur, Rosa menunjukkan foto-foto anak mereka yang sekarang sudah berusia 21 tahun. Selain itu, Bob juga menunjukkan sebuah kamar kosong dengan meja belajar dan buku-buku tempat Rosa suka membaca buku, “My wife is very studious. She reads a lot on the weekend.” Di dapur, Bob menunjukkan lukisan-lukisan yang dibuat ibunya. Tak lupa, Bob juga menunjukkan sebuah kamar garasi yang terkunci. Ternyata di sana ada anjing mereka. Hiii… saya langsung menyingkir, “I have a dog phobia,” kata saya sambil ndrenges. Dan lagi-lagi, seolah-olah Bob sangat tahu bahwa mungkin saja ada mahasiswa internasional yang nggak mau terjilat anjing. 😀

Kami langsung dijamu dengan vegetarian lasagna, pasta, dan saus (yang ada chickennya dipisah dengan yang cuman saus). Saya curiga, sepertinya orang-orang ini sudah sangat akrab dengan kultur internasional.

Kami makan di ruang tamu sambil berbincang-bincang tentang banyak hal. Haptom menceritakan tentang kebiasaan makan bersama dari satu loyang di Eritrea. Chven bercerita soal kehidupan guyup rukun di Trinidad. Tamanjay bercerita tentang kebudayaan India dan gangga. Saya bercerita bahwa di Indonesia panti jompo sangat tidak lazim karena orang tua (selain yang tak punya sanak tak punya kadang) dan Bob bertepuk tangan dan kemudian memberi acungan jempol mendengar cerita itu. Dinner ditutup dengan dessert brownies dan es krim (dik, ndik kene es krim muraaah banget, wong-wong nek tuku sak ember, gak sak kothak, sumpah! ayo sampean melok wis).

Bob berkisah tentang pengalamannya dua tahun hidup di Thailand (nah, ketahuan kan, di sinilah tumbuh wawasan internasional Bob, :D) dan Rosa bercerita (setelah saya picu dengan pertanyaan tentang Mt. Squoyah) tentang Mt. Sequoyah, kawasan retreat di sekitarnya, tanda salib yang kelihatan terang dari kampus U of A, dan “be careful if you go there at saturday night, because it”s where teenagers go for a date,” (yang tentu saja menciptakan ledakan tawa di antara kami semua).

Seusai makan malam, pukul 7.45 (padahal matahari belum surup, kok makan malam, hehehe..) Rosa yang mengantar kami pulang. Tapi, dia berjanji menunjukkan kepada kami Mt. Sequoyah (yang ternyata bukan tempat untuk hiking, hehehe…). “I hope this is not our last meeting. I hope we can keep in touch and if you want to have dinner together again, just let me know. But of course, during Ramadhan, we have to do it after sunses, right? Hahaha…” Begitulah kata Bob sambil menoleh ke saya.

Akhirnya, kami pun pulang dan ke Mt. Sequoyah dulu. Dari puncak sana, dekat lampu salib, kami bisa melihat Old Main, gedung tertua di U of A yang dibangun pada tahun 1870an, setelah perang saudara. Oh ya, kalau pingin lihat Old Main dari puncak Mt. Sequoyah, bisa kok. Klik saja ini, ada webcam di dekat salib Mt. Sequoyah itu.

Akhirul posting, sepertinya akan sangat asyik kalau saya kasih sedikit cerita tentang Old Main. Old Main ini dibangun seusai perang saudara antara orang Selatan dan Utara. Arsiteknya adalah seorang dari Selatan. Si Arsitek membuat rancangan tower sebelah selatan Old Main lebih tinggi dari tower sebelah kiri. Tapi, pada saat pembangunan, pembangunnya adalah orang dari Utara, sehingga dia bangun tower utara lebih tinggi enam batu-bata daripada yang selatan. Hehehe… unik kan?

Wassalaam….

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

1 comment

[…] Pada minggu orientasi mahasiswa asing di University of Arkansas, akhir musim panas tahun 2008, ada satu kegiatan berjudul “Dinner with an American Family.” Mahasiswa yg mendaftar acara ini dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok kecil ini selanjutnya diadopsi oleh keluarga lokal yang volunteer untuk menampung kami sesorean itu. Dalam salah satu foto yang diambil saat itu, yang tidak akan saya tunjukkan di sini, ada saya, Haptom (dari Eritrea, tengah), Chven (bacanya Stef, dari Trinidad-Tobago, kanan), dan Tamanjay (dari India, dia motret) bersama pasangan Bob dan Rosa. Mereka berdua itu keluarga yang menampung kami. Kami makan lasagna dan bbrp makanan lain di rumah mereka. Bob romantis, dan Rosa kalem tapi tegas. Ketika itu keduanya kerja di kampus. Detail kegiatan itu saya ceritakan di sini. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *