Sorotan Laser di Malam Minggu (1)

Laser sedang nge-trend ketika itu, ketika aku kelas tiga SMP. Hampir setiap Sabtu malam Minggu ada orang hajatan dan “laser” diputar. Beberapa teman bilang kalau laser itu tidak bisa disensor, makanya banyak di antara film laser yang diputar itu agak-agak gimana begitu. Dan selama beberapa minggu berturut-turut, entah bulan apa waktu itu, laser tidak pernah absen dari kehidupan malam minggu kami. Saya tidak ingat apa musimnya, yang pasti tidak ada salju di Sidoarjo pada hari-hari itu. Dan tentunya masih belum ada lumpur. Ketika itu sekitar tahun 1994-5.

Tapi, kalau melihat frekuensi hajatan ketika itu, kalau nggak salah saat itu adalah pasca Idul Adha, bulan “besar,” bulannya orang hajatan.

Di antara malam-malam penuh sorot laser itu, ada satu malam yang tak pernah aku lupa. Tentu saja sebuah malam minggu. Setelah turun dari Sholat Isya’ aku dan beberapa teman janjian ketemu lagi dalam beberapa jam di kamar langgar. Kamar langgar itu adalah sebuah bilik di bagian depan langgar, tepat di sebelah imaman. Beberapa tahun sebelumnya, tempat itu biasanya dipakai oleh guru ngaji saya untuk istirahat di antara jam-jam ngajar ngajinya. Tapi, karena satu lain hal, guru ngaji saya itu pulang lagi ke kampung halamannya, di salah satu pelosok kediri. Dalam keadaan zonder guru ngaji itulah, kami lontang-lantung, tak ada kegiatan berarti selain nongkrang-nongkrong.

Sekitar pukul 9 kami berkumpul di kamar langgar. Setelah ngobrol ngalor ngidul berbagi informasi lokasi laser (waktu itu belum ada twitter atau facebook, yang mestinya bisa memberi kami informasi lokasi-lokasi penting laser), kami langsung memutuskan ke lokasi pertama: Dusun Buntut, Desa Mojoruntut. Jarak Dusun Buntut itu dari langgar kami sekitar 1.5 kilo, melewati lapangan sepakbola desa kami dan selanjutnya kawasan perkampungan dengan jalan aspal, cukup sepi. Hanya ada satu kuburan yang perlu dilewati, itu pun di dekat perkampungan.

Setelah beberapa saat, kami pun tiba di desa Buntut. Dengan hanya beberapa menit menajamkan telinga, kami bisa mendeteksi lokasi hajatan yang memutar laser itu. Begitu tiba di TKP saya sudah banyak orang yang rata-rata melongo menyaksikan layar tak terlalu lebar di tengah jalan makadam. Seingatku itu acara sunatan. Si anak tersunat sedang duduk nyantai di teras rumahnya yang sangat terang dengan lampu TL panjang dan kertas krep menggantung-gantung. Di kaca rumah terlihat tulisan “Sugeng Rawuh” atau “Welcome.”

Di kawasan penonton suasana lumayan gelap. Aku merasa sedikit malu kalau-kalau ada temanku yang melihat celana pemberian sepupuku yang sebenarnya adalah celana jins yang warnanya pernah luntur tapi kemudian diwenter warna hijau. Oh ya, jins semu hijau itu modelnya seperti celana kargo, dengan saku di kanan kiri. Waktu itu aku merasa celana itu benar-benar ketinggalan jaman. Aku memakainya hanya karena iseng saja. Dan rasa malu itu baru muncul waktu kami mendekati TKP.

Ya, TKP itu dekat sekolahku, SMPN 1 Krembung. Dan banyak temanku yang tinggalnya dekat sekolah SMP itu, Yayok, Tomo, Arif, Kurniawan, Heru dll. Kalau-kalau aku tertangkap basah pakai celana itu, apa kata dunia?

Jadi, gelapnya suasana di kawasan penonton benar-benar mendukung pergerakanku ke sana kemari. Aku lihat ada banyak penjual makanan tontonan: kacang rebus, kerupuk goreng pasir, pentol jos (atau nama latinnya “cilok”), dan tentu saja es merah muda rasa vanili. Sambil bergerak-gerak tanpa tujuan bersama teman-temanku itu, kami tak melepaskan pandangan dari layar laser. Filmnya mengandung Asmuni dan tokoh-tokoh lawak lain. Dan tentu saja, di tahun 1990-an itu, film nasional kita tak lepas dari yang panas-panas. Aku ingat bagaimana si Asmuni adalah seorang bapak-bapak tua dengan istri yang masih muda, dan belakangan istri yang masih muda itu kesengsem seorang pemuda yang (entah apa hubungannya) juga tinggal di rumah itu tapi si pemuda terlalu lugu sampai-sampai ketika si istri Asmuni yang masih muda itu menggoda dia sama sekali tidak respons dan di situlah kelucuannya.

Mungkin sekitar jam sebelasan film Asmuni nan konyol tapi panas itu selesai. Kami sudah bosan dengan suasana di sana. Entah apa sebabnya, yang pasti kami bosan dengan suasana itu, dan ingin mencari laser yang lain. Ketika kami sudah mulai melangkahkan kaki, terlihat lagi sorotan ke layar putih. Film barat yang diputar kali ini. Dan ketika muncul tulisan “Warning” dengan background warna merah, orang-orang langsung bersorak. Saya dengar ada yang bilang “Wah, ‘warning’ iki rek!”

Kami sudah terlanjur ingin mencari yang lain… (bersambung)

More From Author

Kafe Pustaka Pamit dengan Bangga

Setelah 9 tahun, melewati badai event literasi, gelombang demi gelombang pandemi, dan pergeseran administrasi perguruan…

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *