Kerja Bakti di Kultur Individualistik

Pukul 9 pagi hari Sabtu lalu, saya ke kampus dengan menggenjot sepeda. Matahari sangat terang, tapi seolah tak berdaya mengusir dingin yang membandel. Situs cuaca Weather.com pagi itu menunjukkan angka 4°C, jadi saya bisa siap-siap dengan jenis baju yang harus dipakai. Selama di sini, itu adalah suhu terdingin buat saya. Akhir-akhir ini, saya lumayan sering mendengar orang bilang hawa dingin tahun ini datang lebih cepat. Mungkin akibat pemanasan global (pemanasan global kok akibatnya cepat dingin?). Tapi, dingin tak menyurutkan optimisme saya atas acara yang akan saya ikuti hari itu: Make A Difference Day. Seperti yang diisyaratkan namanya, acara ini bertujuan ”membuat perbedaan”. Perbedaan yang kami ciptakan tentu tidak akan sedahsyat yang dijanjikan Obama. Yang kami lakukan ini lebih tepatnya seperti mengikuti anjuran Aa’ Gym: mulailah dari yang kecil. Uniknya, kerja bakti kami itu ternyata sangat berarti untuk ukuran Amerika.

Ah, lebih baik saya ceritakan secara kongkrit. Kami akan dikirim ke lembaga-lembaga nirlaba untuk membantu mengerjakan hal-hal sederhana semacam membersihkan, menata, mengecat, dan sejenisnya. Kami akan dikirim ke lembaga-lembaga itu dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 7-12 orang. Saya sendiri beberapa hari sebelumnya mendaftar lewat internet untuk ikut diterjunkan ke Airport Head Start (sekedar informasi, Head Start adalah program pendidikan pra-sekolah yang didanai pemerintah federal Aa” Sam bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah). Kami akan membantu membersihkan halaman dan mengecat wahana permaianan yang ada di sana.

Setelah semuanya berkumpul—dan sarapan yang sediakan sudah kami santap habis—ketua panitia mulai berbicara di panggung kecil untuk membuka acara. Dia menyemangati agar kami semua bekerja dengan sebaik mungkin dan sebisa mungkin membantu lembaga tersebut selama berada di sana. Di sinilah dia menjelaskan arti penting acara kami: bahwa kami akan sangat membantu lembaga-lembaga tersebut secara finansial. Ah, bagaimana mungkin, pikir saya? Ternyata, di Fayetteville ini, dan di AS pada umumnya, biaya per jam yang harus dikeluarkan untuk membayar tenaga satu orang untuk mengerjakan tugas yang akan kami lakukan itu adalah $19,50. Bayangkan, mereka yang bisa mereka hemat kalau masing-masing tempat itu mendapat kiriman 7-12 tenaga dari kampus kami.

Akhirnya kami pun dilepaskan. Bersama 6 mahasiswa lain, saya berangkat ke kota sebelah, Springdale, yang masih dalam satu kawasan Washington County (sekedar informasi lagi,di sini ada kawasan bernama County yang terdiri dari beberapa City). Airport Head Start yang saya tuju itu ternyata benar-benar di dekat . Dan ternyata tempatnya pas di luar pagar bandara kecil yang dipakai untuk pesawat-pesawat kecil semacam pesawat pribadi.

Setibanya kami langsung disambut oleh Audrey, “kepala sekolah” TK tersebut. Dia langsung bilang dirinya termasuk orang yang percaya bahwa dia adalah orang yang percaya bahwa orang hanya bisa bekerja dalam keadaan kenyang, dan dia pun mengajak kami ke dapur untuk menikmati apa yang ada: donat dan susu kotakan kecil-kecil (di sini rata-rata perusahaan susu memproduksi susu rendah lemak yang sudah kehilangan rasa gurihnya, karena orang takut gemuk—padahal tujuan saya minum susu adalah pingin gemuk). Sambil makan, Audrey menjelaskan kepada kami apa-apa saja yang akan kami lakukan hari itu.

Selanjutnya kami pun disebar. Beberapa teman saya seperti Katie, Malory, Ashley dan Page memilih membersihkan kursi-kursi dan mainan di taman bermain, dan kemudian mengecat beberap mainan yang ada di taman bermain seperti mobil-mobilan dan ban. Sementara para cowok, yaitu saya, Dana, dan Heith (suami salah seorang pengajar di playgroup itu) memotong rumput yang sudah terlalu tinggi di depan sekolah sambil dengan membersihkan daun-daun yang berserakan. Ternyata, guguran daun di musim ini jauh melebihi perkiraan saya. Bayangkan, dari halaman yang pohonnya hanya dua atau tiga saja, saya bisa mengumpulkan berkarung-karung plastik dedaunan. Padahal ini masih belum puncak musim gugur. Oh ya, info lagi, di kampus kami tidak ada orang yang menyapu jalan di musim gugur, tapi para pegawai menggunakan semacam blower yang meniup dedaunan dan reranting itu ke satu titik di tepi jalan agar mudah dikarungi. Saya bayangkan, kalau di Indonesia saya pasti senang karena ada banyak sekali bahan untuk bikin sate, bakar jagung, atau mungkin mengasap bandeng. Ah, saya kok jadi orang yang kangen makanan ibu pertiwi begini?

Setelah kelar membersihkan rumput, kami membantu teman-teman di taman bermain belakang, membersihkan wahana bermain. Kami memakai alat penyemprot air bertekanan tinggi yang bisa menghapus kerak kotoran. Karena asyiknya bagian bersih-bersih itu, kami dikerubuti beberapa anak usia. Rata-rata mereka dari keluarga Meksiko dan sekitarnya. Penampilan fisik mereka tidak jauh berbeda dengan wajah-wajah kita orang Indonesia. Bedanya, anak-anak ini pintar bahasa Inggris. Bagaimana nggak pinter kalau lahirnya di Amerika?

Begitulah, dilingkupi udara musim gugur yang serba salah di tengah hari itu (terlalu dingin untuk tidak memakai jaket, tapi berkeringat kalau memakai jaket), kami menyelesaikan acara kerja bakti hari itu dengan sempurna. Seperti jadwal, kami hanya bekerja antara jam 10 hingga jam 2 hari itu. Aubrey dan para guru di Head Start itu tak henti-hentinya menyampaikan rasa terima kasih kepada kami. Di negara dengan kultur individualistik seperti ini, di mana hampir mustahil meminta bantuan tetangga sebelah untuk bekerja bakti membersihkan kampung (kecuali di daerah pedesaannya bagian Selatan sini), sebuah acara kerja bakti 7 orang sudah kelihatan menciptakan perbedaan.

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *