Categories
serbasuka

Tiga Laser dalam Semalam (2)

Setelah menonton pertunjukan laser disk pertama, kelompok melanjutkan ke desa kedua untuk melihat pertunjukan laser yang lain.

Setelah puas dengan Asmuni yang bertema agak-agak panas di Dusun Buntut, Desa Mojoruntut, akhirnya aku dan teman-teman melanjutkan perjalanan. Kali ini tujuannya adalah Dusun Bawang, Desa Rejeni. Btw, mungkin kalian mengira aku memfiksikan nama-nama dusun ini. Tapi percayalah, Sodara, sidoarjo dipenuhi nama-nama desa yang sifatnya agraris, sangat kental dengan tanaman dan ternak. Dusun Bawang kira-kira berjarak kira-kira setengah kilo dari TKP di Dusun Buntut tadi.

Di kesunyian jam 11-an malam, kami susuri jalanan aspal yang pada siang harinya selalu aku lewati dengan naik sepeda gunung berjudul “Eclipse” (btw, ini tahun 15 STS, Sebelum Twilight Saga, lho ya?) untuk ke sekolah di SMP 1 Krembung. Malam itu sepi. Angin semilir menggemerisikkan daun-daun dari segala jenis pepohonan yang selalu ada di halaman depan rumah orang-orang Dusun Buntut. Oh ya, kita di sini lagi ngomong kehidupan desa, tapi bukan desa-desa eksotis kayak yang di cerita-cerita, yang halamannya luas, rumahnya masih kayu dan punya pendopo besar, dan orang-orangnya kerja di sawah atau anak-anak kecilnya suka naik kebo sambil main seruling. Di desa ini, jalanan aspal sangat rapi, meskipun bukan aspal Korea. Rumah-rumah relatif rapat dan sebagian ada yang punya pelataran ubin, biasanya buat menjemur kedelai hasil panen atau gabah. Hanya ada satu atau dua rumah saja yang masih berbentuk pendopo besar. Meskipun banyak penduduknya yang petani, sepertinya lebih banyak lagi yang bekerja di pabrik (mulai pabrik gula Krembung, pabrik2 segala rupa di Ngoro Industry Park, atau pabrik2 di kawasan jalur Surabaya Malang). Dan anak-anaknya nggak ada yang naik kebo (kecuali kalau lagi kesurupan, mungkin :D).

Sebelum jalan aspal yang kami tempuh itu berbelok ke arah SMP, kami harus belok ke arah lain, ke jalan tanah yang kalau habis hujan banyak kubangannya dan berlumpur. Di sepenggal jalan ini hanya ada satu dua rumah. Hanya ada rumpun bambu yang suaranya amboi… serasa horor boooo’. Kami memutuskan tidak lewat jalan itu. Kami pilih jalan lain, tetap jalan tanah. Melewati rumah demi rumah demi rumah yang sama sekali tidak terang. Aku ingat, dulu waktu kecil sekali, Dusun Bawang ini memiliki kesan yang menakutkan buatku, karena konon ada cukup banyak penderita kusta di sini. Yah, sekarang sih, setelah bertahun-tahun melewati hidup, kenal beberapa dokter, dan rajin membaca wikipedia.org (yg sekarang butuh sumbangan :D), membaca catatan perjalanan Che Guevara berkeliling Amerika Latin dalam Diarios de Motorcicleta, penyakit kusta tidak lagi memiliki kesan menakutkan. Tapi dulu, buat anak kecil nan imut sepertiku, yang pernah mengalami masa-masa melihat pengemis penderita kusta meminta sekedah dari rumah ke rumah, penyakit kusta sangat mengerikan. Dan Dusun Bawang, yang pernah kudengar dihubung-hubungkan dengan penderita kusta, jadi mengerikan juga. Padahal aku sendiri tidak pernah melihat bukti empiris penderita kusta di Dusun itu. Baru sekarang aku mohon maaf sebesar-besarnya kepada dusun itu beserta seluruh penduduknya.

Kami melewati pinggiran Dusun Bawang yang berbatasan dengan Dusun Buntut. Dan beberapa saat kemudian, tibalah kami di TKP yang lain. Kali ini aku lihat filmnya sangat penuh semangat. Orang-orang melongo. Dan sebelum bergabung melongo dengan yang lain, aku mendekat dulu ke layar. Dan tahulah aku: ternyata itu film Van Damme, lengkapnya Jean-Claude Van Damme. Ya, dia adalah orang paling dahsyat, paling gethot, dan paling berkelas tarungnya. Waktu itu penglihatanku sudah cukup buruk, tapi masih belum memakai kacamata. Beberapa waktu sebelumnya aku pernah mengeluh ke bapak kalau aku kesulitan baca tulisan di papan tulis dari tempatku duduk, tapi waktu aku periksakan ke Puskesmas, katanya masih normal-normal saja. Dan aku sendiri masih berpandangan: aku nggak mau pakai kacamata kalau masih sekolah pakai celana pendek!

Balik ke TKP, film Van Damme sangat seru. Dikisahkan di situ bahwa Van Damme berhasil selamat dari sebuah kecelakaan (waktu itu dia pakai baju bahan denim warna biru mentah, pasti mereknya Levi’s dan celana jins warna biru agak tua, hehehe… entah mengapa aku tak bisa lupa bajunya Van Damme waktu itu, seingatku, kain denim memiliki tempat tersendiri di hatiku, halah!) dan akhirnya tinggal bersama seorang perempuan baik-baik yang akhirnya pacaran juga sama dia dan ketika Van Damme mulai nakal, pakai memeluk si perempuan baik-baik itu, para menonton yang sedari tadi melongo mulai berteriak-teriak gak karu-karuan seakan karena pengharapan mereka terpenuhi. Hehehe… Aku lupa apa aku juga ikut berteriak. Ups!

Beberapa waktu kemudian, mungkin sekitar setahun setelahnya, aku baru tahu judul film Van Damme itu: Nowhere to Run. Aku tahunya dari buku teman sebangkuku kelas satu SMA, Jacky, nama lengkapnya Muhammad Zakky Munhir (nek awakmu sempat kesasar moco blog iki, salam pek, plek!), punya buku yang covernya adalah Nowhere to Run, dengan Van Dam yang gagah dengan baju denim biru terang dan celana agak tua berlari menjauh dari sebuah ledakan. Kalau aku Andrea Hirata, pasti aku akan tulis: Van Damme, action-nya amboi bukan buatan. Hehehe…

Setelah puas menikmati Nowhere to Run, dan masih belum puas juga karena belum mengecek semua lokasi laser yang ada malam itu, kami pun meninggalkan TKP di Dusun Bawang sekitar pukul 1-an. Kali ini tujuannya adalah Desa Lemujut… (to be linanjut)

P.S. Barusan, setelah saya cek, ternyata Van Damme tidak memakai baju denim untuk film ini. Tapi kenapa di pikiran saya ada Van Damme pakai baju denim, apakah dari film Van Damme yang lain (Double Impact)? Ataukah karena waktu itu saya pingin punya baju jins tapi nggak berani ngomong ke bapak? Silakan dipsikonalisis sendiri. 😀

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *