Di Sorot Laser Terakhir (3)

Setelah menyelesaikan film Nowhere to Run dengan van Damme yang melarikan diri dari ledakan dan diterima dengan lapang dada oleh seorang wanita baik-baik tapi akhirnya kebaikbaikannya berkurang karena mulai berhubungan dengan van Damme itu, aku dan teman-teman berniat melanjutkan perjalanan kami di Sabtu malam Minggu itu. Kami akan mengunjungi TKP terakhir tempat pertunjukan laser. Tepatnya di Desa Lemujut. Dari Dusun Bawang Desa Rejeni, kami akan berjalan ke arah barat sejauh kira-kira dua kilometer (belakangan, aku cek di google map, ternyata jarak yang aku tempuh ini sekitar 3,3 kilometer).

Dari jalan tanah (atau tepatnya sirtu, campuran pasir dan batu) di Desa Bawang tepat laser ditayangkan, kami harus berjalan dulu ke utara sekitar seratus meter, dan sampailah kami ke jalan besar Porong-Prambon. Kalau Anda suka ngebis Surabaya – Malang di zaman Pasca Lapindo ini, mungkin sesekali Anda pernah melewati jalan ini, terutama kalau di Porong ada demo. Anyways, ketika sandal-sandal jepit kami sudah menepuk jalan raya Porong-Prambon, kami belok ke arah barat lewat pinggir jalan besar itu. Saat berjalan sekitar 300-an meter di jalan besar itu, kami ketemu perempatan Dusun Pakem, tetap Desa Rejeni. Perempatan ini terkadang lebih dikenal sebagai perempatan Wak Barnawi, dari nama pemilik warung sate di perempatan itu, di pinggir sawah.

Di perempatan Wak Barnawi itu, kalau kita belok ke arah utara, kita akan sampai Kecamatan Tulangan. Kalau Anda penggemar sastra dan kebetulan pernah baca Anak Semua Bangsa, novelnya Pramodya Ananta Toer, Anda pasti akan dengan nama Tulangan. Tuan Melema, suaminya Nyai Ontosoroh, yang juga mertuanya Minke, bapaknya Annelis itu masa mudanya pernah menjadi administratur di Pabrik Gula Toelangan. Di salah satu kisah di novel itu disebutkan bahwa seorang tokoh perempuan melarikan diri dari Toelangan karena akan dikawinkan dengan pejabat gula Belanda. Nah, si tokoh perempuan itu kabur dari Toelangan ke arah Selatan, sekitar beberapa kilo, dan tiba di sebuah desa yang tengah dilanda Sampar, wabah penyair, kayaknya kolera. Ini dia yang penting: MENURUTKU, DESA YANG DIMAKSUD PRAMOEDYA ITU MUNGKIN (SEKALI LAGI, MUNGKIN) ADALAH DESA REJENI INI, ATAU DESA-DESA SEKITAR INI, YANG JELAS HAMPIR PASTI POSISINYA ADA DI KECAMATAN KREMBUNG.

Sudahlah, yang pasti, malam ketika aku berjalan dari Dusun Bawang melewati perempatan Wak Barnawi itu aku belum tahu Pramodya Ananta Toer dan belum tahu bahwa di sebuah kisah fiksi, sekitar seabad sebelumnya (aku sinyalir) pernah terjadi wabah sampar yang mengerikan di Desa Rejeni itu.

Kami berjalan mengikuti lika-liku jalan aspal dengan pohon asam jawa di kanan kirinya yang dicat putih di sebagian batangnya, sehingga tampak seragam. Ketika lewat kanal irigasi, suasana tetap tenang. Tak ada gemericik air pegunungan. Hanya air kanal yang tenang, yang sebagian isinya adalah sisa buangan pendingin ketel pabrik gula. Dan pada sekitar jam 1-an dini hari itu, kanal yang mengalir tenang itu tampak mengepul.

Selanjutnya kami lewat Desa Kandangan, yang terkenal dengan pabrik-pabrik krupuknya. Di situ banyak sekali rumah yang punya halaman ubin sangat luas yang kalau siang biasanya dipakai menjemur kerupuk, dan kalau malam hanya terlihat melompong dengan papan-papan kayu tertumpuk di satu pojok. Kalau siang, papan-papan kayu itu menjadi alas kerupuk yang digelar di seluruh halaman ubin.

Setelah Kandangan, kami sampai di Pasar Krembung, di Desa Krembung, ibukota Kecamatan Krembung. Ini tempat kami. Krembung adalah desa kami, tetapi kami tidak belok. Desa Lemujut masih satu kilo lagi di depan. Kami percepat langkah, berharap bisa sampai ke TKP sebelum laser benar-benar usai. Kami lewat kantor polisi yang tak pernah tutup itu. Malam itu aku sadar kenapa kantor polisi tidak pernah tutup: KARENA MEMANG TIDAK PUNYA PINTU. Hanya ada lobang kotak besar yang kusennya semestinya bisa diberi daun pintu, tapi tidak diberi.

Sebelum mencapai TKP di desa Lemujut, kami harus lewat sebuah tikungan yang cukup mengerikan. Ada sebuah warung di tikungan itu yang disebut Warung Gendruwo. Konon, sekali lagi ini cuma kekononan, warung itu selalu buka tapi tidak pernah ada pembelinya, tapi penjualnya setiap hari belanja ke pasar banyak sekali, sampai satu becak penuh. Tapi ya, itu cuma konon. Baru-baru ini, aku dengar dari seorang kawan kalau sebenarnya ada juga orang yang suka beli nasi ke warung yang sangat sepi itu. Entah, percaya nggak percaya…

Kami turun lagi dari jalan besar tepat di tikungan Warung Gendruwo. Kami lewati lagi jalan tanah yang agak becek dan di kanan-kirinya pepohonan sangat lebat. Rumpun bambu. Barongan. Pada siang hari pun kawasan ini selalu terpayungi rimbunnya barongan. Malam itu, gemerisik barongan semakin menambah karisma kengerian efek sampingan dari Warung Gendruwo yang hanya beberapa puluh meter di belakang kami.

Di TKP, kami mendapati sebuah film action. Bintangnya nyaris bisa dipastikan: George Rudy. Tapi hebatnya, kali ini George Rudy bermain dengan bintang made in Hollywood. Cynthia Rothrock. Aku lupa tepatnya bagaimana ceritanya. Tapi kira-kira si George Rudy waktu itu mati atau entah bagaimana, dan Cynthia Rothrock bersama anggota keluarga yang lain diteror terus sama musuh mereka yang sebenarnya juga pembunuh George Rudy. Di satu kesempatan, ternyata mayat George Rudy dicuri dari rumah sakit dan didudukkan di kursi roda dan dipakai untuk meneror keluarga Cynthia Rothrock. Belakangan, dengan kata kunci yang ada di ingatan, aku search film itu, dan ternyata ketemu judulnya adalah Bidadari Berambut Emas. Sungguh mengerikan film itu. Mungkin karena itulah aku masih ingat sampai sekarang. Kayaknya, munculnya mayat George Rudy dalam rangka meneror Cynthia Rothrock itu sangat menakutkan buat aku, dan derajat kemenakutkanannya kira-kira setara dengan film Serigala, film Indonesia yang mungkin akan aku bahas pada postingan lain nanti.

Setelah selesai dengan urusan George Rothrock Cynthia Rudy, akhirnya kami pulang. Singkat kata, kami tiba di langgar tercinta sekitar jam 3 pagi. Kami langsung masuk kamar langgar. Kami sudah terlalu ngantuk. Ada dipan di sana, tapi tanpa kasur. Hanya triplek yang ditutup tikar. Sementara di lantai ada karpet. Aku memilih tidur di karpet dengan kepala beralaskan gulungan tikar. Mungkin Mas Arif atau Mas Wawan tidur di dipan, yang posisinya sebesarnya tepat dengan bagian imaman masjid. Jadi, dari kamar itu kami bisa melongok lobang kecil dan bisa ngobrol sama imam (asal imamnya mau diajak ngobrol :D).

Yah, mulai tidur jam 3, subuh kira-kira jam 4, jadi ya … mungkin teman-teman memaklumi kalau aku waktu itu bangun sekitar jam setengah enam, dan mungkin langsung sholat sambil balapan dengan matahari yang sudah siap-siap melompat dari cakrawala (atau bahkan sudah nankring beberapa derajat di atas cakrawala). Ya, tidur di sebelah imaman, aku lolos jamaah.

Setidaknya, semalam tiga laser itu tidak lolos dari ingatan.

Baiklah, sepertinya itu dulu, sekarang aku mau sedikit bekerja dan kemudian tidur. Kalau sidang jamaah blogging sekalian ingin tahu secara kasar rute yang aku tempuh waktu itu, silakan klik di sini, yang adalah lacakan google map atas perjalanan malam itu. Hehehe… tidak pernah sedikit pun terlintas di pikiran waktu itu bahwa kelak aku bisa menceritakan kisah semalam tiga laser itu disertai dengan peta kasar perjalanannya. Oh ya, belakangan aku ketahui bahwa di TKP terakhir, di desa Lemujut itu, ternyata yang diputer bukan laser, tapi hanya bioskop biasa, tapi layarnya agak kecilan. 🙂

More From Author

Masjid Makbadul Muttaqin, Terang tapi Menyejukkan

Masjid di Mojosari ini dari luar tampak megah dengan kubah lancipnya yang berwarna hijau. Siapa…

Gelora Bung Karno (GBK), a Morning Oasis Amidst the Haze

If you're in Jakarta and have a two hours period of time to spend in…

Menengok Pantai Selatan di luar JLS

Tulisan ini tentang pantai selatan, tapi karena perihal perjalanannya asyik, saya tuliskan dulu perjalanannya. Baru…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *