Yes Man: Sebuah Esai Eksposisi tentang Pengalaman Bersepeda Balap

Akhirnya datang juga kesempatan itu pagi ini. Bersepeda dengan sepeda balap. Seperti sudah diketahui di seluruh dunia, belum lama ini saya membeli sebuah sepeda balap bekas yang cantik dan murah dari seorang tetangga Meksiko. Sayangnya, saya belum sempat-sempat juga membawa sepeda itu sedang sepantasnya. Rantainya perlu diminyaki dan ban luarnya sudah mau rontok karena panas dan hujan tanpa perawatan. Sebelum saya beli, sepeda itu sudah teronggok sekitar dua tahunan tidak pernah dipakai. Waktu saya menawar sepeda itu, si pemilik bilang, “Saya sudah terlalu gemuk sekarang, jadi sepeda itu rasanya kekecilan buat saya.” Memang, saya lihat di sebelah sepeda balap itu ada sepeda gunung yang rangkanya lebih kokoh. Maka, setelah saya belikan sepasang ban murah dari Amazon, sepeda ini pun jadi seksi dan pantas dipakai. Dan baru pagi ini saya bisa memakai dengan semestinya, yaitu membawanya turun ke trail sepeda, dengan kecepatan setinggi-tingginya dengan menggunakan seluruh girnya. 

Seorang kawan pernah bilang bahwa memakai sepeda balap itu lebih enak, utamanya karena ringan dan bisa sangat cepat. Mungkin benar juga omongan ini, keringanan sepeda balap sangat terasa jauh berbeda dengan sepeda gunung. Saya bisa menjinjingnya naik tangga ke depan kos-kosan saya (yang ada di tingkat dua) dengan gampang dan ringan, dan saya lebih bisa menanjak bukit dalam perjalanan ke kampus dengan lebih ringan. Tapi, menurut saya, bersepeda tidak hanya butuh ringannya saja, kan? Terutama bagi yang bukan artis, eh, maksud saya atlit, seperti saya ini. Bersepeda lebih merupakan kenikmatan, atau bahasa Latinnya “lelangenan” yang semestinya bisa dinikmati dengan tanpa beban. Ada beberapa hal dari bersepeda pancal pagi ini yang mungkin bisa saya jadikan sebagai pendukung argumentasi saya dalam tulisan eksposisi ini.

Paragraf pertama, bersepeda balap membuat kita menyadari bahwa jalan yang biasanya tampak mulus, seperti yang ada di trail sepeda pancal di kota Fayetteville Arkansas ini, jadi terasa ada gronjalan-gronjalannya. Dengan sepeda balap yang tanpa peredam getaran (atau shock breaker dalam bahasa Jawa kasar) dan ban sangat kecil, sambungan dari aspal ke aspal, ranting-ranting yang jatuh dari pepohonan, dan kerikil-kerikil kecil, jadi sangat terasa dan agak membikin ngeri. Pertama ngerti karena takut jatuh, khususnya bagi saya yang punya kebiasaan kurang terpuji tidak suka helm. Ketakutan yang kedua adalah takut ban saya yang super kecil, dan ternyata sangat tipis itu, bisa-bisa bocor. Faktor ketakutan seperti ini sama sekali tidak ada ketika saya bersepeda gunung, tak peduli semurah apapun sepeda gunung saya itu. Saya tidak perlu takut terpeleset karena melindas ranting dan batu. Tapi, kalau dipikir-pikir, mungkin ini juga ya yang membuat orang menemukan helm? Mungkin itu sebabnya Lance Armstrong (yang 7 gelar Tour de France-nya dan 2 medali emas olimpiadenya baru saja ditarik karena tuduhan dopingnya terbukti) yang sudah puluhan tahun bersepeda balap itu masih pakai helm dan masih bisa jatuh :). Hmm… nanti dulu lah…

Paragraf kedua, bersepeda balap memaksa kita terus berada di jalan beraspal. Karena roda yang kecil, dan terlihat rentan bocor, dan tidak adanya peredam getaran, turun ke jalan dengan sepeda balap terasa sangat tidak nyaman, ada gabungan antara gronjalan dan kengerian takut bocor. Ini jelas-jelas berbeda dengan pengalaman bersepeda gunung. Saya bisa langsung tancap melindas ranting dan bebatuan, menyeberang jalan, mendaki gunung, turuni lembah, menyusur ngarai, dengan gagah berani. Pernah suatu masa, saya percaya bahwa sepeda gunung akan membawa saya ke ujung-ujung paling tidak terjangkau di muka bumi ini. Sangat berbeda dengan pengalaman “harus di jalan beraspal” pagi ini. Eh, tapi kalau dipikir-pikir, mungkin ini juga yang membuat sepeda balap ini dalam bahasa Inggris disebut “road bike.” Dia harus dipakai di “road” bukannya “offroad.” Sejak awalnya memang tujuan sepeda balap ini sepertinya memang hanya untuk di jalan raya. Jadi kalaupuan ingin bereksplorasi ya harusnya tetap di jalan. Toh, jalan juga tidak ada ujungnya (ingat kan pepatah “kasih bunda sepanjang jalan”?). Tapi… kok? 

Sepertinya harus saya hentikan di sini dulu esai eksposisi kali ini. Sepertinya esai ini gagal, karena dalam prosesnya saya jadi meragukan keraguan saya sendiri atas sepeda balap. Memang saya tidak setuju dengan pendapat teman yang cenderung menekankan pada keringanan dan kecepatan sepeda balap, berlawanan dengan keberatan dan kurangkencangan sepeda gunung. Tapi, baru setelah dua paragraf di atas saya jadi punya pandangan baru. Mungkin ada aspek-aspek sepeda balap yang tidak saya ketahui. Mungkin sekarang saya masih menggunakan sudut pandang pesepeda gunung. Akan tidak bijak sekali kalau saya mengevaluasi sepeda gunung dengan tolok ukur sepeda balap. Saya harus menunggu dulu beberapa saat, membiarkan sendi-sendi saya terbiasa dengan sepeda balap, membiasakan dulu memakai helm, membiasakan dulu menikmati apa yang bisa dinikmati dari atas aspal. Sepertinya, inilah saatnya saya mengamalkan ajaran dari film Yes Man yang dibintangi Jim Carey. Kita terima dulu apa yang ada di depan mata dan biarkan dia membawa kita ke hal-hal yang tidak pernah kita sadari keberadaannya sebelum ini. Ya, lagipula, ini sangat sejalan dengan semangat anti-kemapanan dan pro-perubahan dan nomadikisme yang selama ini secara teori saya (sok) pahami tapi secara praktis belum banyak saya amalkan. Baiklah: Yes! Saya akan coba dulu menempuh hidup baru dengan sepeda balap ini. Mungkin dalam satu dua tahun ke depan saya akan bisa membuat ulasan yang lebih berimbang dan berwawasan dengan pengalaman bersepeda balap ini. Terkait esai eksposisi yang gagal ini, sudahlah. Sepertinya benar kata orang, menulis adalah proses penemuan. Jelas-jelas, dengan menulis esai ini, saya jadi menemukan apa yang selama bersepeda tadi terlewat dari perenungan saya (yang mungkin sedang dicekam kengerian dan ketidaknyamanan itu :D).

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

1 comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *