Justifikasi Kebolosan

Segala hal di dunia ini bisa terjadi secara bersamaan dan penuh kebetulan. Tapi seringkali juga (bahkan mungkin lebih sering) terjadi secara tidak berhubungan. Nah, khusus pertemuan postingan hari ini, saya ingin bicarakan yang serba kebetulan dan serba bertalian. 

Begini ceritanya, pagi ini saya berangkat ke kampus dalam keadaan mepet sekali dengan jam masuk. Saya masuk kuliah jam 9.30 dan saya tiba di kampus jam 9.25. Semestinya cukup kan waktunya? Sayangnya hari ini ada PR. Mestinya PR itu sederhana. Saya hanya perlu mencetak selembar halaman permainan bingo. Tapi setelah mencetak, saya harus memasukkan kosakata-kosakata baru dalam bahasa Arab yg semestinya kami pelajari minggu ini. Biasanya menuliskan kata sejumlah 25 itu butuh waktu minimal 5 menit. Dan mencetaknya butuh waktu 5 menit. Jadi, seberapapun cepatnya kerja saya, saya masih terlambat 5 menit. Dan karena selama 50 menit pelajaran itu nantinya kami “hanya” bermain bingo, untuk tujuan menghafalkan kosakata-kosakata baru itu, akhirnya saya buat keputusan kilat: SAYA AKAN BOLOS KULIAH, TAPI SAYA AKAN MEMPELAJARI DAN MENGHAFALKAN KATA-KATA BARU ITU MELALUI WEBSITE PENYERTA MATA KULIAH YG DILENGKAPI DENGAN FLASHCARD, LATIHAN SEDERHANA, DAN PERMAINAN YG MEMBANTU MENGHAFALKAN KOSAKATA. Demikianlah, akhirnya saya bolos dan menghabiskan waktu 50 menit bolos itu untuk menghafal 30 kata baru itu, beserta cara pelafalan dan penulisannya. Alhamdulillah bisa hafal semua. 

Sebagai hadiah buat diri sendiri, saya bukalah twitter. Di situ terlihat update-nya Rahman Taufiq, seorang jurnalis, penulis, dan kritikus musik yg lagi naik daunnya. Di status updatenya yang saya maksud itu, dia berkomentar “hey teachers, leave them kids alone” (yg tentu merujuk ke liriknya Pink Floyd dari album The Wall) atas berita bahwa guru DKI meminta Ahok mengembalikan jam sekolah anak-anak ke jam 7 lagi. 

Saya jadi hubungkan lagi dengan yang baru saja saya lakukan. Saya meninggalkan otoritas guru yang dalam hal ini meminta saya masuk ke kelas untuk bermain bingo guna menghafalkan kosakata. Saya memutuskan untuk tidak ikut cara itu, karena saya kenal diri saya sendiri: sulit sekali saya menghafalkan barang baru, kosakata dengan cara penulisannya sekaligus, hanya dengan bermain bingo. Maka saya memberanikan diri bolos kelas. Saya tahu konsekuensinya, pasti sedikit banyak akan mengurangi poin kehadiran saya. Belum lagi hilangnya kemungkinan mendapatkan poin bonus untuk menambal kesalahan yang mungkin saya buat dalam ujian beberapa hari yg lalu. Tapi saya pikir, untuk mahasiswa seumuran saya, nilai bukan lagi sesuatu yang vital. Saya lebih memilih bisa menguasai materi pelajaran daripada memberati nilai. Sebagai mahasiswa usia tiga puluh dua tahun, saya bisa mempertimbangkan mana yg cocok dan yang tidak cocok buat saya. Jadi, otoritas pendidikan bisa dinegosiasikan.

Terus apa hubungannya dengan ucapan “leave them kids alone” itu? Sepertinya di sini terjadi ketimpangan. Di satu sisi, mungkin para siswa DKI yang masih kecil itu belum bisa menentukan sendiri arah pendidikan dan membutuhkan otoritas yang bisa membimbing mereka. Tapi, kalau guru-guru yang minta jam masuk sekolah dikembalikan ke jam 7 lagi, apa itu berpihak kepada siswa? Bukannya itu malah memberatkan para siswa yang jadi harus beradaptasi kanan kiri? Apakah keinginan para guru itu berangkat dari kebutuhan para siswa? Apakah itu bukan hanya karena guru-guru saja yang pingin masuk lebih pagi? 

Ah, postingan yang ruwet, saya tidak bisa mengakhiri postingan ini secara konklusif dan berarti. Baru belakangan saya sadar bahwa saya tidak punya cukup bahan untuk menuliskan postingan yang utuh. Mungkin saya hanya ingin curhat menjustifikasi kembolosan saya hari ini :D.

Written By

More From Author

(Terjemahan Cerpen) Mereka Terbuat dari Daging karya Terry Bisson

“Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Daging. Mereka terbuat dari daging.” “Daging?” “Tak diragukan lagi. Kami…

Thank You, Dua Satu! Let’s Go Loro Loro!

Beberapa menit lagi 2021 sudah usai dan saya perlu menuliskan satu catatan kecil biar seperti…

(Resensi) Puser Bumi oleh Mas Gampang Prawoto

Berikut resensi terakhir dalam seri tujuh hari resensi. Kali ini kita ngobrol soal buku puisi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *