Saya terhenyak ketika mendengar alasan seorang teman yang secara tulus dan seolah intelek mempelajari astrologi.
Menurut dia, yang dia lakukan itu bukan mempercayai ramalan astrologi. Dia sendiri tidak mempercayai ramalan bintang yang mengatakan, misalnya, bahwa hari baik si Cancer minggu ini adalah Rabu, angka keberuntungan 1.000.000, dll. Kalau kita masih mempercayai ramalan semacam ini, menurut dia, kasihan sekali kita. Sebaliknya, yang dia lakukan adalah mempelajari jabaran tentang sifat-sifat seseorang menurut zodiaknya. Menurutnya, mengetahui hal-hal ini dan menjadikannya kekuatan positif dalam memahami diri adalah ranah “psikologi.” Kalau dijabarkan lebih jauh lagi, mungkin dia akan bilang dengan mengetahui sifat-sifat seseorang menurut bintangnya, seseorang bisa melakukan hal-hal tertentu, memaksimalkan sifat-sifat tertentu yang telah dia miliki, mengikis sifat-sifat negatifnya, dan menjadikan hidupnya lebih baik.
Saya sejauh ini bisa menerima tahapan mengetahui sifat-sifat negatif dan positif kita dan mengambil tindakan terhadap sifat-sifat tersebut yang membuat hidup kita sekiranya lebih baik. Itu memang sebuah upaya yang berbau “psikologi.” Bukankah memang itu yang dilakukan para konselor atau psikolog. Mereka meraba sifat-sifat atau kondisi psikis klien mereka dan mengambil tindakan klinis untuk mengatasi dampak negatif dari sifat-sifat tersebut, memaksimalkan sifat-sifat tertentu yang belum cukup tampak, atau bahkan menganjurkan tindakan-tindakan tertentu buat para klien itu sehingga bisa tumbuh sifat-sifat yang baik, yang lagi-lagi sekiranya bisa membuat hidup si klien lebih baik. Ini ilmiah yang “nge-psikologis.”
Yang jadi keberatan saya dari padangan teman saya tadi adalah mendasarkan pencarian sifat-sifatnya itu kepada astrologi. Inilah yang lebih tepatnya membedakan teman saya itu dengan seorang konselor atau psikolog. Teman saya ini menjadikan astrologi titik lontarnya. Seolah-olah ada landasan yang bisa dipakai untuk titik lontar, meskipun toh pada akhirnya titik lontar itu dia kritisi (seperti misalnya ketika dia temukan bahwa sebenarnya dia tidak punya sifat ini dan ini yang menurut astrologi lazim dimiliki oleh seseorang berzodiak seperti dia). Ilmu psikologi melihat setiap pasien sebagai sebuah akuarium bercat hitam. Untuk mengetahui isi akuarium itu, seorang psikologi harus menyingkap cat hitam itu. Psikolog melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang sekiranya bisa membuka jalan untuk memetakan sifat-sifat klien.
Dalam ilmu psikologi, kalau ada sumber yang bisa dipakai untuk memahami sifat seseorang, sumber itu adalah orang itu sendiri. Sementara dalam astrologi, apa yang menjadi sumber untuk memahami sifat itu? Entah? Saya sendiri tidak paham, yang jelas sumber itu di luar diri seseorang. Bahkan seseorang sudah bisa ditentukan sifatnya bahkan sebelum dia lahir (asalkan kita tahu kira-kira kapan si bayi itu akan lahir). Jadi, secara konyol-konyolan, saya bisa bilang bahwa untuk mengubah sifat seseorang, hanya ada dua cara: lahirkan dia secara prematur sehingga zodiaknya berbeda (tentunya yang sifat-sifatnya sesuai keinginan bapak) dengan zodiak lahir normalnya atau tahan beberapa saat sampai dia lahir dengan zodiak yg sifat-sifatnya sesuai dengan keinginan orang tuanya).
Dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas diri dan hidup, menggunakan sifat-sifat yang disodorkan oleh astrologi tidaklah terlalu jauh dengan mempercayai ramalan bintang. Kalau pun tidak bisa disebut lagi mempercayai ramalan bintang, peningkatan kualitas diri berbasis zodiak adalah menerima postulat-postulat yang sempit (dibandingkan dengan tak terbatasnya kemungkinan kalau kita mengawali dengan menggali psikologi diri secara serius) sebagai titik berangkat proyek kita.
Kalau mempercayai ramalan bintang kita ibaratkan saja dengan berjalan merangkak, maka mempercayai sifat-sifat menurut zodiak adalah berjalan dengan tongkat wajib sebagai bantuan. Sementara yang benar-benar menggali diri sendiri, mereka berjalan dengan dua kaki. Saya sama sekali tidak mengimplikasikan bahwa tiga tahapan (merangkak, bertongkat, dan dua kaki) ini sebagai sebuah proses evolusi. Seorang perangkak bisa saja beralih mode menjadi penongkat atau pejalan semudah memencet tombol ganti mode. Tapi, karena berjalan itu lebih enak daripada bertongkat dan merangkak, maka akan lebih baik kalau mereka yang berjalan membujuk mereka yang bertongkat dan merangkak untuk ikut berjalan dengan dua kaki. Berdiri dengan dua kaki memungkinkan seseorang berlari atau bahkan melompat-lompat, dua hal yang tidak bisa dilakukan mereka yang merangkak dan bertongkat. Tapi, akan sangat jelek juga kalau mereka yang berjalan itu menghina mereka yang merangkak dan bertongkat. Menghina tetap saja menunjukkan kesombongan dan kegelapan akan potensi tersembunyi dari orang atau sesuatu yang lain.
Saya tentu saja tidak berani menyampaikan ini keras-keras kepada teman saya tersebut. Mungkin karena saya lebih muda, mungkin karena saya memang dasarnya orang yang “sungkanan.” Yang pasti, saya ingin menganjurkan kepada teman-teman semua untuk berdiri dengan dua kaki dan berjalan dan melompat-lompat kalau memang perlu.