Categories
bahasa sastra serbasuka terjemahan

Memindai Inner Beauty Joko Pinurbo

Dengan ini saya nyatakan: saya temukan inner beauty Joko Pinurbo. Setelah beberapa saat. Sebelum terlalu jauh, perlu saya tegaskan dulu: yang saya temukan adalah inner beauty, atau kecantikan dalamiyah. Untuk lebih jelasnya, mari:

Sebelum, saya ingin bertanya: Apa yang menarik dari puisi Joko Pinurbo? Kalau Anda membaca bukunya yang berjudul Di Bawah Kibaran Sarung, dan menyempatkan diri membaca pengantar dari Ignas Kleden dan catatan penutup dari Sapardi Djoko Damono, pasti jawabannya segamblang fakta terbitnya matahari dari timur: kecanggihannya menjelajahi setiap jengkal tubuh dan wilayah domestik untuk menghasilkan gaya ungkap yang baru untuk permasalahan universal dalam hidup. Saya–mungkin seperti banyak orang yang terjerumus lainnya–punya kecenderungan terlalu percaya pada guru sastra sehingga menghentikan upaya mengenali sang penyair dan puisinya sendiri. Gampangnya: pemahaman saya atas Joko Pinurbo cenderung berhenti pada gaya ungkap dan metafor tubuh dan obyek domestik itu. Padahal, tentu saja kulkas Joko Pinurbo jauh lebih banyak isinya.

Penerjemahan mengentaskan saya dari keterjerumusan seperti itu. Penerjemahan mengingatkan saya mari mengembalikan hak asasi karya sastra: dirasa dan ditelaah. Penerjemahan membuat saya bersimpuh di hadapan karya sampai terkadang lupa para guru sastra. Penerjemahanlah yang membuat saya kembali bisa menghargai, misalnya, Joko Pinurbo, Saut Situmorang, atau Goenawan Mohamad. Sebagaimana mestinya. Meskipun terkadang upaya penerjemahan saya belum berhasil menunjukkan hasil yang maksimal, saya mendapatkan kepuasan karena berhasil menikmati puisi-puisi itu dengan sepatutnya. Sebagaimana mestinya. Penerjemahan yang membuat saya mendengar hentakan nafas Joko Pinurbo dan menemukan rimanya yang seringkali silap oleh saya yang terlalu sering mengindera puisi dengan mata (yang mudah silau), bukan dengan telinga. Di sinilah saya temukan “kecantikan dalamiyah” tersebut.

Setelah pembuka yang bertele-tele tadi–yang menurut saya sangat penting untuk presentasi saya kali ini–saya ingin menunjukkan kepada Anda sekalian hasil penginderaan yang saya maksudkan. Langsung saja kita lihat dua sajak pendek dari Joko Pinurbo, yang juga termasuk beberapa sajak terakhir yang diposting Joko Pinurbo di blognya: “Airmata” dan “Batu Hujan.” Untuk lebih gayengnya, mari kita bareng-bareng membaca kedua puisi tersebut (silakan dideklamasikan lirih-lirih atau keras-keras, atau paling tidak dideklamasikan dalam hati–jangan cuma dibaca untuk mendapatkan isinya thok).

Airmata

Biarkan hujan yang haus itu
melahap airmata
yang mendidih
di cangkirmu.

Batu Hujan

Menjelang subuh lelaki tua itu
keluar dari tidurnya, kemudian masuk
ke dalam batu besar di depan rumahnya.

Di dalam batu ia temukan
bongkahan bening dan biru:
hati hujan yang matang diperam waktu.

Sebagai pembaca yang cenderung terjerumus, tentu saja setelah membaca sajak pertama itu yang ada di pikiran saya adalah: “wah, unik ya, khas Jokpin, hujan yang haus, hmmm, melahap air mata, hmmm, yang mendidih lagi, hmmm, mungkin maksudnya orang kedua yang dituju puisi ini sedang menangis dan air mata yang cenderung panas itu sedang mengaca-ngaca di kelopak matanya dan si aku lirik menyuruhnya membiarkan hujan menggelontor air mata itu sehingga tak terlihat lagi kalau dia sedang menangis dst. dst. dst.” Kira-kira begitulah yang ada di pikiran saya saat itu. Tentu kalau dilanjutkan–dan bilamana waktu mengizinkan–pikiran monyet saya itu bisa-bisa menghasilkan saya postingan blog sendiri tentang puisi “Airmata” tersebut. Yang jelas, si pembaca terjerumus ini lebih dulu sibuk mengais-ngais mencari makna puisi tersebut. Sedikit banyak kecenderungan seperti ini disebabkan oleh promosi metafora tubuh dan obyek domestik dan lain-lain yang dicanangkan oleh Ignas Kleden dan Sapardi Djoko Damono itu. Ditambah lagi ketidakpernahan saya melihat penampilan live Joko Pinurbo menghidangkan puisinya.

Dengan kata lain, puisi Joko Pinurbo telah saya biarkan terindera oleh mata saya, dan karena tidak ada pemandangan yang terlihat terlalu menonjol, maka puisi itu langsung dicomot otak monyet saya yang giras dan pecicilan.

Baru pada saat ingin menerjemahkan puisi itulah, ketika saya harus menjadi juru bicara penyair yang sebisa menyampaikan segala hal yang berpotensi disampaikan penyair tersebut, saya jadi harus mengerahkan segenap indera saya untuk menangkap semua potensi “Airmata.” Saya yakin, seperti Anda juga, makna bahasa–terutama puisi–bisa lebih banyak, lebih luas, dan lebih dalam daripada makna yang direncanakan penuturnya. Itu pun kalau memang penuturnya merencanakan satu makna tersendiri. Tidak sedikit juga puisi yang maknanya dicurigai ada karena pembaca sendiri yang tanpa sadar memberikan makna tersebut, sementara si penyair sendiri hanya menyediakan wadah untuk menampung makna yang bersifat hipotetis. Karena itulah, sebelum berani-beraninya menerjemahkan “Airmata,” saya ganti mengerahkan indera pendengaran untuk mengetahui wadah macam apa yang dipakai oleh Joko Pinurbo itu.

Setelah membacanya lebih dari 30 kali pada berbagai kesempatan (di depan komputer, di atas bis, di taman, di masjid, di sudut sekolah, di tempat yang kau janjikan, dll) saya akhirnya menyadari bahwa mata saya telah silau. Mata saya tertipu oleh pesona fisik pemenggalan baris-baris sajak “Airmata” tersebut. Jadi, dengan bantuan telinga, saya temukan bahwa sebenarnya puisi tersebut memiliki asonansi dan metrum yang lumayan teratur. Tentu saja metrum ini tidak bisa kita samakan dengan istilah metrum yang biasanya dipakai untuk puisi-puisi berbahasa Inggris seperti “iambic” atau “trochaic” atau lain-lainnya. Saya memilih menyebutnya metrum karena potensinya mengatur hentak nafas dan penekanan saat saya mendeklamasikannya. Beginilah kira-kira wujud fisik puisi itu kalau kita ingin lebih gampang menikmati asonansi dan metrumnya (dan tentu saja rimanya):

Airmata

Biarkan hujan yang haus itu
melahap airmata yang
mendidih di cangkirmu.

Dengan mendeklamasikannya dan mereka ulang tipografinya dan mendeklamasikannya lagi, saya jadi merasakan bahwa

  1. puisi ini akan terasa nikmat jika dideklamasikan sebagai sebuah kalimat yang–dalam kaitannya dengan pernafasan, bukan sintaksis–bisa dipotong jadi tiga bagian;
  2. tiap potongan kalimat itu diawali dengan satu kata dengan tiga suku kata yang masing-masing memiliki pola vokal 1-2-2, yang kongkritnya adalah i-a-a (biarkan), e-a-a (melahap), dan e-i-i (mendidih);
  3. kata-kata tiga suku kata itu diikuti kata yang berasonansi dengannya (biarkan hujan, melahap airmata, mendidih di)
  4. baris-baris itu memiliki metrum yang, berkat penekanan yang lebih kuat pada kata pertama di tiap barisnya, secara longgar bisa diilustrasikan begini:
    tatata dudu dudu,
    tatata dudu dudu,
    tatata dudu dudu.

Nah, kan terasa. Puisi yang kalau diindera dengan mata terlihat secara fisik sangat bersahaja itu, ternyata memiliki inner beauty yang baru terasa saat diindera dengan kuping. Inilah yang saya maksudkan dengan “kecantikan dalamiyah” itu: kecantikan–bukan kepintaran–tapi yang terletak di bawah kulit. Yang lebih berharga lagi, setelah metrumnya itu didapati, saya jadi merasakan kesan nada yang sebelumnya tidak tertangkap. Derap dari kata tiga suku kata itu memberikan kesan yang positif, nada yang optimis, seolah-olah sambil mengatakan “biarkan,” “melahap,” dan “mendidih” itu si aku lirik juga mengepalkan tangan. Atau paling tidak sambil memberikan mengangkat telunju secara Bung Tomo. Apalagi, perhatikan, tiga kata itu adalah kata-kata yang cenderung aktif, mantap, tidak loyo: biarkan! melahap! mendidih! Kata-kata ini berbeda dengan kata yang mengikutinya: hujan, airmata, cangkir, yang cenderung berkesan pasif.

Saya akhiri di situ dulu upaya pemindaian “wadah” (untuk memakai istilah yang saya pakai di atas tadi) hasil kriya yang tentunya butuh pengolahan tersendiri dari Joko Pinurbo untuk puisi “Airmata” di atas. Kalau saya masih berniat menjangkau makna yang tertampung di wadah itu, mungkin bisa saja saya biarkan wadah itu tersedot oleh pikiran monyet saya. Tapi, karena saya masih ada urusan lain, saya hentikan saja mengorek-ngorek situs arkeologi “Airmata” ini.

Bagaimana dengan puisi “Batu Hujan”?

Setelah melewati pembacaan tak kalah berulang-ulangnya (di lorong gelap, di gorong-gorong, di atas bus sekolah yang kau tunggu, dll), saya juga sampai pada reka ulang bentuk fisik puisi tersebut, yaitu:

Batu Hujan

Menjelang subuh lelaki tua itu keluar dari tidurnya,
kemudian masuk ke dalam batu besar di depan rumahnya.

Di dalam batu
ia temukan bongkahan bening dan biru:

hati hujan yang matang diperam waktu.

Dalam wujud ini, ditambah dengan pendeklamasian yang sedang-sedang saja, bukankah terlihat jelas kan kalau puisi “Batu Hujan” ini sebenarnya memiliki rima, metrum dan asonansi yang tak kalah manisnya? Perhatikan bagaimana:

  1. puisi ini memiliki (selain bisa dianggap rima) asonansi desah-desah “tidurnya” dan “rumahnya” atau “batu” dan “biru” dan geletar-geletar “keluar” dan “batu besar” atau tekanan-tekanan “temukan” dan “bongkahan”
  2. ada ritme dengan asonansi yang asyik saat kita membaca:
    “Le le la lu lu la la la KELUAR la li li lu TIDURNYA,
    Le le la lu lu lu la la lu BESAR li la li RUMAHNYA
    saya sendiri sebenarnya agak kesulitan menunjukkan kecantikan yang saya rasakan di bagian ini, tapi coba Anda baca dua baris (versi reka ulang saya) itu;
  3. puisi ini terasa sederhana tapi nikmat dengan aliterasi “bongkahan bening dan biru” atau “hati hujan” atau “batu besar”

Maaf, saya  tidak akan berpanjang-panjang dengan puisi “Batu Hujan.” Silakan Anda saja melanjutkannya.

Intinya, ada beberapa hal yang saya catat dari pengalaman kembali ke jalan yang benar ini, yaitu: 1) bahwa penting bagi kita untuk melupakan sejenak ujaran guru-guru sastra yang mungkin lebih nikmat membahas hal-hal yang bisa jadi tidak kita butuhkan (tapi mereka butuhkan atau dibutuhkan murid-murid mereka), 2) bahwa penting bagi kita menggunakan lebih dari satu indera untuk menangkap puisi, 3) bahwa kita tidak perlu terburu-buru membiarkan otak kita memproses puisi sebelum kita rasakan sendiri wujud fisik sebuah puisi (yang tadi saya sebut “wadah” itu), dan 4) bahwa kewajiban untuk menerjemahkan membuat kita lebih bisa menghargai sebuah puisi secara apa adanya dan ada apanya.

Demikianlah, jangan lupa PR dari saya, melanjutkan pencarian wadah puisi “Batu Hujan” itu ya? Kalau sudah selesai, silakan dikumpulkan di note facebook atau blog masing-masing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *