Sebut saja namanya Shanti–bukan nama sebenarnya. Dia datang ke Amerika belasan tahun yang lalu dari Thailand. Dia menikah dengan seorang lelaki Thailand yang sudah lebih lama tinggal di Amerika dan seluruh anggota keluarganya sudah menjadi orang Amerika. Nasib membawa mereka dan akhirnya hinggap di tanah Arkansas, tepatnya di Arkansas Barat Laut. Kini Shanti dan suaminya memiliki seorang putri remaja dan mereka sekeluarga hidup dari sebuah toko sembako Asia yang cukup populer di kalangan orang-orang Asia, Meksiko dan imigran dari Pulau Marshall.
Di kalangan orang-orang Indonesia, toko ini populer karena dialah penyambung lidah rakyat Indonesia dengan Indomie goreng kesayangannya. Tali silaturahmi antara seorang putra Sidoarjo dengan krupuk udang asli Sidoarjo pun tetap terjaga berkat toko ini. Ada juga Ting-ting Jahe made in Pasuruan. Begitu juga kecap manis, saus extra pedas ABC, bumbu rawon instan, dan sebagainya, dan segalanya. Selain itu, ada juga sayur-sayuran eksotis di sini, seperti pare, misalnya (hmm, pare itu masuk kategori buah apa sayur ya?). Intinya, toko sembako Asia inilah yang menjaga keterhubungan warga Asia dengan kuliner lokal. Tapi bukan itu inti dari postingan kali ini.
Dari toko sembako ini, tersempil sebuah kisah tentang kecenderungan keluarga di kampung yang menganggap sanak yang tinggal di Amerika sebagai orang yang makmur. Beberapa waktu yang lalu, Shanti tidak tampak di toko. Yang menjadi kasir waktu itu adalah seorang lelaki usia empat puluhan. Belakangan ketahuan bahwa saat itu Shanti sedang pulang kampung ke Bangkok bersama putrinya. Di Bangkok itulah terjadi kisah yang yang selanjutnya menjadi inti dari postingan ini.
Ketika berada di Bangkok, Shanti dan keluarga besarnya keluar makan di restoran beberapa kali. Dan setiap kali mereka keluar itu, Shanti selalu menjadi sponsor utama dan tunggal. Seolah ada semacam anggapan mufakat di kalangan keluarga Shanti bahwa dia yang akan membayar, karena dia tinggal dan punya usaha di Amerika. Beberapa kali juga mereka keluar dan berbelanja ke mal di kota Bangkok. Mereka membeli coklat, kaos oblong, kaos singlet, hingga kemeja. Kali itu juga Shanti yang membayar semua tagihan dari kasir. Karena apa? Karena dia tinggal dan punya usaha di Amerika.
Shanti sendiri tidak terlalu kaget dan separuh mengharap hal tersebut terjadi. Sudah menjadi semacam tradisi di tempatnya bahwasanya keluarga yang pulang dari perantauan–apalagi rantau-nya di negeri Aa’ Syam–adalah orang yang kaya, lebih makmur. Apalagi di negeri Aa’ Syam sana dia punya toko. Tidak ada alasan untuk tidak mengharap keluarganya tidak akan meminta meminta macam-macam darinya. Dua tahun yang lalu, ketika Bangkok dibekap banjir hingga bandaranya pun tidak bisa beroperasi selama beberapa waktu, Shanti juga mengirimkan banyak uang buat keluarganya. Mungkin keluarga Shanti di Bangkok memiliki anggapan Shanti punya dana yang tak terbatas. Mereka tidak tahu bahwa kucuran dana selama banjir itu sempat menciptakan ketegangan serius antara dia dan suaminya.
Kembali soal pulang kampung ke Bangkok bulan lalu, yang paling terpukul adalah anak Shanti, si remaja Amerika itu. Sebut saja nama remaja ini Nat–lagi-lagi bukan nama sebenarnya. Dia terkaget-kaget melihat ibunya membayari belanjaan keluarganya di mal dan di restoran. Baru kali itu dia melihat ibunya mengeluarkan duit sebanyak itu dalam waktu tiga minggu (ya, Shanti mudik selama tiga minggu). Nat tidak bisa mencerna bagaimana ibunya bisa membayari belanjaan keluarga dan selalu mentraktir setiap kali ke restoran. Nat sendiri tinggal di Amerika sepanjang hidupnya. Selain itu, keluarga dari pihak ayahnya, yang paling dia kenal, adalah orang-orang yang sudah lama tinggal di Amerika dan sedikit banyak sudah mengikuti adat istiadat Amerika. Pemandangan bayar sana bayar sini itu sangat ganjil baginya, seganjil bilangan satu dan tiga.
Saking terpukulnya, Nat sampai keceplosan bilang ke mamanya. “Wah, wah, wah, kenapa harus begitu ya ma? Kalau buat oma dan opa saja sih wajar. Kalau mama beli oleh-oleh dari Amerika buat keluarga besar sih mungkin masih agak-agak wajar. Tapi kalau harus sampai begini, ini luar biasa. Ternyata, papa kerja peras keringat buat keluarga mama.” Shanti terpukul juga mendengar ucapan Nat yang seperti itu. Di dalam hati dia menyadari bahwa dia telah mengucurkan sangat banyak uang untuk keluarganya selama mudik ke Bangkok. Tapi dia juga khawatir orang-orang akan menyebutnya pelit kalau dia tidak mentraktir sana traktir sini.
Seringkali, di mata orang-orang kampung halaman, tinggal di Amerika–apalagi sampai punya usaha–seringkali sama dengan menjadi orang kaya. Kerja bergaji dolar selalu terkesan menghasilkan uang yang berlimpah-limpah. Padahal, keluarga di kampung ini tidak melihat sebanyak apa keringat yang harus diperas suami Shanti setiap harinya. Tidak juga ada yang tahu sebanyak apa pajak yang harus mereka bayarkan kepada pemerintah Federal dan negara bagian setiap tahunnya. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa toko Shanti adalah juga toko sembako yang mungkin mirip dengan yang ada di Thailand, yang lantainya sudah berumur lebih dari sepuluh tahun, yang kamar mandinya belum pernah dibetulkan sejak dibangun. Dengan kata lain, keluaga mereka di kampung tidak tahu bahwa dia hidup tidak ubahnya orang Thailand yang hidup di Bangkok. Bedanya mungkin hanya karena mereka berbisnis di Amerika dan gaji mereka dalam dolar dan lebih banyak. Tapi, kalau dihitung-hitung lagi dengan tiket pesawat musim panas yang mereka beli dan traktiran yang mereka berikan selama tiga minggu itu, bisa jadi aset terakhir mereka tidak berbeda dengan pendapatan keluarga di kampung.