Kalau kemarin saya ceritakan masa-masa saya menjauhi kopi karena memang doi adalah salah satu pemicu nyeri lambung, kali ini saya ceritakan bahwa sebenarnya ada nuansa tersendiri dalam hubungan kami saat itu. Pandangan saya terhadap kopi tidaklah hitam putih sehitam kopi seputih susu. Ada kalanya saya masih menyiasati rindu kopi, meskipun hantu “maag” masih membayangi. Oh ya, di akhir postingan ini, Anda akan tahu kenapa saya pakai tanda kutip untuk kata “maag.” Tanda kutip itu berhubungan dengan dibukanya kembali hubungan intim setengah mati antara kopi dan saya.
Baiklah, mari kembali ke masa-masa awal saya bekerja, ketika saya sudah tahu bahwa kopi bersifat kontraproduktif terhadap kemaslahatan saya. Saat itu, saya sesekali masih suka minum kopi, utamanya karena saya sudah tahu kopi itu enak. Ada beberapa pengalaman menarik yg membuat kopi terlalu menggairahkan. Salah satunya adalah pengalaman dihidangi kopi di rumah seorang penduduk di desa Dalisodo. Ketika itu saya bersama Widi. Kami ingin pergi ke Coban Glotak, yang cukup terpencil dan harus menitipkan sepeda motor di rumah penduduk di ujung kampung. Penduduk yang rumahnya kami titipi sepeda itu sedang menjemur bijih kopi saat saya kembali untuk mengambil sepeda motor, dan dia mempersilakan kami masuk sebentar dan menghidangi kopi tubruk. Saat mengkonfirmasi dengan Widi terakhir kali beberapa tahun yang lalu, kami masih sepakat bahwa pengalaman minum kopi itu mungkin pengalaman minum kopi paling nikmat dalam hidup kami. Pengalaman-pengalaman seperti inilah yang membuat saya selalu ingin kembali minum kopi, meskipun risikonya cukup serius.
Karena itulah, saya harus menyiasati masalah lambung saya: saya harus memastikan makan dengan benar, banyak karbohidrat, sebelum minum kopi. Dan satu lagi: saya harus benar-benar menghindari Nescafe Classic. Tapi ya, karena kopi cuma salah satu pemicu, tetap saja masih ada kesempatan-kesempatan tertentu ketika nyeri lambung saya datang lagi dan saya harus bersilaturahmi dengan dokter di UGD yang biasanya menemui saya sambil terkantuk-kantuk. Pernah suatu malam saya harus ke dua UGD karena di UGD pertama (Rumah Sakit Islam Malang) dokternya seperti malas menemui saya: dia sudah mengantuk dan memeriksa saya kurang dari lima menit dan kemudian meresepkan saya obat, yang ternyata tidak juga bisa menyembuhkan nyeri perut saya. Akhirnya beberapa jam kemudian saya harus ke UGD kedua (RSUD Syaiful Anwar). Itu terjadi waktu saya sudah menikah, dan saya dibonceng istri ke kedua UGD itu.
Pada tahun pertama saya di Fayetteville, Arkansas, saya sangat dekat dengan teman-teman dari Indonesia, tepatnya dari Aceh, atau bukan “Indonesia-Jawa” 😀 (btw, frase ini dimaksudkan sebagai guyonan, sebuah guyonan yang cukup miris, karena merupakan residu dari masa-masa puncak ketidakadilan pemerintah Indonesia memperlakukan orang-orang di kawasan Indonesia selain Jawa). Hampir setiap minggu pada hari Jumat hingga Minggu malam saya menginap di apartemen teman-teman dari Aceh itu, dan mendengar berbagai kisah kehidupan di Aceh yang membuat capek melongo lahir dan bathin. Salah satu elemen cerita yang terus-menerus hadir adalah tentang kedai kopi di Aceh. Dan tentunya selalu ada teman yang membuat kopi–kadang Ulee Kareng, kadang Solong; saya lupa apakah pernah kami bikin kopi Gayo.
Sesekali saja saya ikut, kalau habis makan banyak nasi. Pada suatu kesempatan saat ada acara makan-makan, saya kebagian bikin kopi. Mulailah saya siapkan kopi, tentunya dengan cara Aceh.
Menyiapkan kopi cara Aceh berbeda jauh dengan menyiapkan cara Jawa. Di Jawa cara menyiapkan kopi yang paling lazim adalah dengan “ditubrukkan”: air mendidih dituang ke cangkir yang sudah diberi bubuk kopi dan gula. Pertemuan antara kopi dan gula terjadi di gelas; perpaduan antara bubuk kopi dan air serta masa inkubasi kelezatan kopi terjadi di antara penuangan air dan penyruputan. Orang baru minum kalau kopi dan air sudah bersenyawa, yang biasanya ditandai dengan karamnya bubuk kopi–yang mendapat nama baru ampas kopi atau “lethek”–ke dasar gelas. Ada elemen “berangasan” dalam menikmati kopi cara ini. Tidak ada batas yang jelas antara lethek dan “kopi” yang bisa sruput. Dalam terminologi Saleem Iklim, batas antara kopi dan lethek adalah seperti batas antara “api dan bara, laut dan pantai.” Hanya jam terbang dan Tuhan yang bisa membuat kita minum kopi tanpa ampasnya ikut menempel di mulut kita (dan meninggalkan “kumis” atau “berengos”).
Terkait kopi tubruk ini, saya ingat sebuah perbincangan dengan dosen saya yang peminum kopi akut. Dia lahir di Damaskus dan keluarganya bermigrasi ke Amerika saat usianya baru 4 tahun. Jadi bisa dibilang dia besar di Amerika, dan karena itu kita sebut saja dia orang Amerika. Ketika mendengar penuturan saya tentang kopi tubruk, dia langsung kaget dan bilang: “No way! You’re from Java, where coffee comes from!” Maksud dari seruannya ini adalah: Masak orang Jawa, orang yang tinggal di kawasan yang kaya akan perkebunan kopi, menikmati kopi dengan tidak sepatutnya, tanpa diseduh dan diperlakukan dengan penuh hormat? Saya bilang, “Well, ya begitulah bu, hubungan orang Jawa dengan kopi lebih intim dan tanpa tedeng aling-aling.” Dalam hati saya bilang: “Mending tidak sepatutnya, daripada Njenengan, ngopi kok ngopi decaf.”
Menyiapkan kopi cara Aceh bisa dibilang membutuhkan kerja lebih. Setelah air mendidih, kita tidak boleh “mengentaskannya” dari atas kompor. Kita mulai menuangkan bubuk kopi ke air dan segera mengaduknya, sebab kalau tidak diaduk pasti air akan meluap. Setelah beberapa saat, ketika kita yakin sudah terjadi persenyawaan antara kopi dan air, baru kompor kita matikan. Setelah itu kita harus menyaring air kopi ini untuk memastikan bahwa tidak ada bubuk yang terbawa ke gelas. Itu cara sederhananya, cara rumahannya; cara kedai kopi jauh lebih rumit dan membutuhkan keahlian berakrobat, seperti biasa Anda temukan di YouTube. Saat minum kopi, orang Aceh ingin benar-benar menikmati citarasa kopi yang pamuncak. Dia tidak ingin lagi berurusan dengan ampas yang mereka anggap mengganggu kenikmatan. Di sinilah terlihat pepatah lama “bersusah-susah dahulu dan bersenang-senang kemudian” mengejawantah.
Nah, pada salah satu kesempatan nongkrong itu saya mendapat tugas menyiapkan kopi. Karena waktu itu teman-teman memasak mie Aceh (yang cenderung pedas), saya jadi agak grogi soal kopi. Akhirnya, dengan pertimbangan suka sama suka, saya pun bikin kopi encer-encer saja, dengan cara Aceh. Pikir saya, toh asal ada aroma kopi juga sudah cukup. Waktu saya mulai tuang bubuk kopi ke panci kecil yang airnya sudah mendidih, seorang kawan melihat dan berseru: “Wah, sampean ini mau buat kopi apa teh?”
Begitulah, di Fayetteville saya seolah hilang orientasi dalam urusan kopi, saking takutnya kumat nyeri perut saat jauh dari pangkuan ibu pertiwi. Dan memang saya sempat kecolongan nyeri perut juga, dua kali. Dan itulah dua kali terakhir saya mengalami nyeri perut. Yang pertama terjadi dini hari, dan untung saya teman seapartemen saya punya mobil dan saat itu belum tidur. Dia antarkan saya ke UGD Rumah Sakit Regional dan saya pun mendapatkan penanganan darurat yang lumayan menghentikan rasa sakitnya. Yang kedua, setelah satu semester berada di Fayetteville, saya mulai merasakan nyeri lambung sejak pagi dan sore harinya, saat memeriksakan diri ke klinik di kampus saya dirujuk ke UGD Rumah Sakit Regional. Kali ini dokter di kampus curiga bahwa penyebab nyeri itu adalah usus buntu. Benar juga, begitu sampai di rumah sakit, saya di CT-scan dan kemudian dokter segera memutuskan bahwa usus buntu saya harus disunat.
Demikianlah nasib nyeri perut dan usus buntu saya. Saya tak sempat mengabari istri saya yang saat itu sedang mengajar di Malang–untungnya kawan saya Masrizal, yang mengantarkan saya ke UGD waktu itu sempat menelpon istri saya bahwa saya akan operasi. Saya tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada usus buntu saya–saya tidak tahu apakah Masrizal sempat menyampaikan selamat tinggal atas nama saya. Yang pasti, saya sangat bahagia setelahnya–dan saya harap si usus buntu juga bahagia di alamnya sana. Sekitar dua minggu setelah operasi, jahitan saya pun sembuh (sebenarnya sih bukan jahitan, soalnya yang dipakai menyambung bekas sayatannya adalah lem dan staples, sampai-sampai seorang teman bilang “Hii, kayak Frankenstein!”). Radang usus buntu sudah sembuh, penyebab nyeri lambung sudah hilang, tapi entah kenapa saya masih tidak terpikir untuk mendekati kopi. Bawah sadar saya masih menganggap kopi sebagai zat musuh. Saya tetap menghindari kopi hingga beberapa saat.
Beberapa bulan kemudian, ketika akhir semester musim gugur 2009 tiba, dan teman-teman Aceh saya wisuda. Mereka pulang dengan membawa berbagai kenangan dan barang-barang berharga yang mereka panen dari eBay, Amazon, dan mal-mal. Tapi ada satu jenis barang berharga yang harus mereka tinggalkan, barang berharga dari tanah rencong: berbagai varietas kopi aceh. Kopi Solong, Ulee Kareng, dll. Siapa yang mewarisinya? Tentu saja dia yang belum mengetahui potensinya sebagai peminum kopi. Maka tampaklah pemandangan unik: resource berharga dan seorang dengan kemauan setengah hati.
Apa yang Anda lakukan jika mendapat banyak resource sementara Anda sendiri kurang minat dan tidak mengerti tentang resource tersebut? Saat itu saya membuat keputusan yang tidak akan saya sesali. Saya mengeksplorasi resource tersebut. Ingat, eksplorasi, bukan eksploitasi. Maka berakhirlah perseteruan antara saya dan kopi, dan keintiman pun terbangun sebata demi sebata.
Habis operasi, terbitlah kopi.
Dalam kesempatan selanjutnya saya akan ceritakan perjalanan saya mengarungi samudera kopi di tanah Jawa maupun di tanah Starbucks. (Berlanjut)
Wah kalau maag-nya kumah lg saya ga tanggung jawab ya mas
Btw, saya ga sempat ngucapin selamat tinggal ke asam lambungnya, pusaranya saya jg ga tau mas hehehehe